Betul-betul ironi, mungkin inilah kata yang paling
tepat kita ungkapkan melihat kondisi negara kita yang saat ini sedang
akut-akutnya dihimpit krisis multiaspek. Belum selesai perihal masalah
kebangsaan yang menerpa saudara-saudara kita, seperti banjir, longsor,
dan kemiskinan. Muncul lagi problem lain yang tak kalah parah perihal
amburadulnya sistem kenegaraan yang dari hari ke hari kian tambah kacau
balau.
Padahal jika dipikir-pikir, bangsa kita saat ini sudah menginjak usia 67
tahun. Usia yang tak lagi muda, bisa dikatakan mulai memasuki masa-masa
udzur. tapi entah mengapa semakin negeri ini tambah umur semakin pula
para “wayangnya” tambah makmur. Buktinya, kualitas para aparat pemerintah
kian wah. mobil mewah, rumah megah, dan kekayaan mereka pun tambah
melimpah. Tengok saja gaya hidup para pejabat, mayoritas berada di atas
kelas rata-rata. Bukan tidak mungkin jika pada suatu saat pejabat kita
akan tercantum sebagai orang terkaya sedunia. Hebat!
Banyak yang bilang negeri ini adalah surga. Surga bagi koruptor dan surga
bagi kaum berduit. Asalkan punya kekuasaan dan wewenang apapun bisa
dilakukan sesuka hati. Entah itu mau memanipulasi, kolusi, korupsi.
Buktinya, banyak pejabat nakal berkeliaran. Hebatnya, tahanan koruptor
pun bisa jalan-jalan. Entah itu melancong keluar negeri atau sekedar
hanya belanja diberbagai tempat wisata. Akibatnya, kekayaan negara raib,
hak rakyat pun jadi ghaib. Anehnya meski sudah jelas-jelas terbukti,
masih saja bisa dipelintirkan. Seabrekan kasus dan kriminalitas hilang.
Dinegeri yang (katanya) demokratis, rakyat adalah prioritas utama yang
harus lebih dulu diperhatikan. Apapun yang terjadi tetap rakyat yang
diutamakan. Menjamin keselamatan, memberi standart pendidikan bermutu,
serta pula memperlakukan mereka seadil mungkin. Namun jika belajar dari
realitas yang ada, benarkah seperti itu kenyatannya?
Hukum yang Mandul
Masih segar dalam ingatan kita tentang peristiwa Cebongan yang
minggu-minggu kemarin sempat membuat heboh publik dan media. Peristiwa
yang popular disebut sebagai Operasi Ninja tersebut melibatkan anggota
Koapassus yang melakukan aksi “premanisme” dengan menimbaki empat tahanan
LP Cebongan. Penembakan tersebut merupakan bentuk aksi balasan atas
terbunuhnya Sertu Santoso, anggota Grup 2 Komando Pasukan Khusus (Kopassus),
Kandang Menjangan, Kartasura, Jawa Tengah, yang tewas akibat penusukan di
Hugo's Cafe, Sleman, pada 19 Maret.
Banyak pihak menilai, peristiwa penembakan yang terjadi di Cebongan
merupakan satu bukti nyata bagaimana kondisi negeri kita saat ini sedang
dihadapkan pada persoalan akut. Asumsi demikian setidaknya bisa kita
lihat dari kian merebaknya aksi premanisme yang mengguncang penjuru
negeri kita. Menimbulkan keresahan di kalangan masyarakat, dan melahirkan
konfrontasi sosial yang seakan tak pernah absen dari pertentangan dan
pergolakan.
Demikian mengindikasikan ada yang pasif dengan sistem kenegaraan kita,
khususnya perihal penegakan hukum yang sejauh masih bisa dikatakan
mandul. Akibat supremasi hukum yang lemah, masyarakat cenderung bermain
hakim sendiri. Kriminalitas dan aksi premanisme seakan menjadi satu
aktivitas yang biasa-biasa saja.
Mahalnya keselamatan
Belum usai berita hangat terkait pristiwa Cebongan, muncul lagi masalah
lain yang tak kalah menarik. Jika sebelumnya datang dari merebaknya aksi
premanisme, sekarang muncul dari arah lain perihal sistem jaminan
keselamatan transportasi massal. Pasalmya, pada hari sabtu (13/04/2013)
kamaren Pesawat Boeing 737 800 NG milikLion Air yang membawa 101
penumpang nyemplung di laut Bali. Meski tidak menimbulkan korban, namun
hemat penulis kecelakaan tersebut sudah lebih dari cukup membuat publik
panik dan merasa keselamatan tranpotasi mereka belum sepenuhnya terjamin.
Dan yang paling menggemparkan adalah tenggelamnya KM Karya Indah di
Sungai Mahakam, Samarinda, Kalimantan Timur, Rabu (17/4). 19 nyawa
melayang, sementara 40 orang lainnya ditemukan dalam keadaan selamat.
Sebagaimana diberitakan media, KM Kaya Indah diperkirakan mengangkut
sekitar 68 karyawan borongan PT Kalimur, sebuah perusahaan pengolahan
kayu, tenggelam di Sungai Mahakam, tepatnya sekitar 50 meter dari Dermaga
Loa Janan, Kelurahan Harapan Baru, Kecamatan Loa Janan, Samarinda
(Republika, 19/04/2013).
Nampaknya, negeri ini belum cukup jera belajar dari sekian kecelakaan
yang dulu-dulunya sudah banyak memakan korban. Pantas saja banyak rakyat
kecewa melihati jaminan keselamatan yang masih rendah dan terkesan tidak
begitu diperhatikan. Sungguh merupakan tontonan lucu, hidup dinegeri yang
begitu luas dengan kekayaan SDA yang melimpah, namun entah mengapa
keberadaannya tetap saja seperti anak kecil. Suka bermain-main dengan Api
dan tidak sepenuhnya memperhatikan keselamatan rakyatnya. Akibat
kecelakaan tersebut, tak sedikit masyarakat merasa enggan dan mengalami
trauma mendalam.
Pendidikan yang Amburadul
Tontonan lucu lainnya datang dari penerapan system pendidikan
kita, ujian nasional (UN). UN untuk tingkat sekolah menengah atas (SMA)
yang mestinya dilaksanakan serentak pada tanggal 15 April kemaren harus
rela molor, dikarenakan terdapat problem dengan pencetakan dan
pendistribusian soal. Terhitung sebelas provensi dipastikan
molor melaksanakan ujian nasional, lantaran lembar soal ujian belum
sampai pada daerah terkait.
Kisruhnya penerapan UN yang terjadi tahun ini memang sangat disayangkan.
Apalagi untuk tahun-tahun sebelumnya, fenomena semacam ini sama sekali
belum pernah ditemui. Banyak pihak mempertanyakan kinerja pemerintah,
dalam hal ini adalah Mendikbud beserta jajarannya. Bahkan ada pula yang
mengklaim, bahwa M. Nuh selaku Mendikbud tidak sungguh-sungguh
menjalankan tugasnya sehingga mengakibatkan pelaksanaan UN tidak
terlaksana secara baik dan efektif.
Carut-marutnya pelaksanaan UN menjadi tamparan telak bagi segenab elemen
masyarakat, sekaligus sebagai bukti nyata bagaimana sistem pendidikan
yang selama ini dibangga-banggakan ternyata tidak berbanding lurus
berdasarkan fungsi dan tujuan dilaksanakannya pendidikan, sebagaimana
tertuang dalam amanat UU No. 20 Tahun 2003. Dengan kondisi demikian, maka
sudah seharusnya pemerintah, dalam hal ini Menteri Budaya dan Pendidikan
(Mendikbud), M. Nuh mempertimbangkan sedalam mungkin perihal UN yang
penuh spekulatif ini. Agar untuk selanjutnya pendidikan kita tidak
dipandang sebelah mata, apalagi dihujat bobrok.
Sampai di sini, dengan berbagai macam persoalan di atas, maka sudah
selayaknya bagi pemerintah untuk bersikap tegas melakukan perbaikan di
segala lini. Menguatkan sistem serta lebih tegas lagi mengeksekusi sistem
yang sudah ada. Jika perlu ciptakanlah sebuah perubahan, sepanjang itu
menyangkut kemashlahatan negara-bangsa, maka rakyat akan selalu
mendukung. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar