Jumat, 19 April 2013

Rasa Aman sebagai Ibadah


Rasa Aman sebagai Ibadah
Yoyok Sri Nurcahyo Komisaris Besar Polisi
JAWA POS, 19 April 2013

  
Pasca penyerbuan LP Cebongan, Sleman, Jogjakarta, oleh kelompok bersenjata, hujatan terhadap para pelaku maupun ketidakmampuan institusi pemerintah dalam memberikan perlindungan terhadap masyarakat menjadi komoditas berita di seluruh media massa. Ada situasi yang menarik bila memperhatikan respons masyarakat pasca penangkapan pelaku. Dari berbagai diskusi di media massa, terbangun opini yang bertolak belakang.

Dari sisi lain, polemik sengit ini membuktikan bahwa keamanan menjadi faktor yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai unsur utama dalam menunjang keberhasilan aktivitas sehari-hari masyarakat, sepantasnya perwujudan rasa aman menjadi prioritas setiap orang. Tetapi, anehnya, perilaku masyarakat sering melupakan sisi keamanan sebagai pertimbangan.

Secara konstitusional, menurut UUD 1945 pasal 30 ayat 1, tiap-tiap warga negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan negara. Jadi, keikutsertaan warga negara dalam mewujudkan keamanan negara merupakan keniscayaan.

Apalagi, Indonesia sebagai negara terbesar di dunia dari sisi penduduk yang beragama Islam tidak asing lagi dengan tuntunan dan ajakan untuk berperan aktif dalam mewujudkan rasa aman. Rasulullah SAW menggarisbawahi bahwa memberantas kemungkaran (baca: kejahatan) merupakan kewajiban setiap orang sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.

Dengan spirit agama, adanya kebersamaan untuk menggabungkan kemampuan dan kekuatan setiap orang dalam mewujudkan keamanan, sebetulnya tidak ada alasan bagi kita untuk ''dikalahkan'' premanisme yang kini jadi kerisauan bersama. Sikap kita jelas, yaitu memberantas kemungkaran (baca: kejahatan) itu menjadi ibadah bagi umat Islam. Seharusnya umat mengambil peran aktif dalam mewujudkan rasa aman sesuai dengan tingkat kemampuan dan kekuatannya dari lingkungan yang paling kecil. 

Misalnya, orang yang akan berkendara sepeda motor menggunakan helm standar dan mematuhi peraturan lalu lintas, perempuan tidak mengenakan perhiasan yang berlebihan, berani menegur/mengingatkan orang-orang di sekitar yang berbuat kesalahan. Intinya, jangan biarkan anggota Polri "merampas" pahala yang seharusnya menjadi hak kita sebagai manusia mulia di depan Sang Khalik dengan berperan secara aktif dalam membangun rasa aman.

Memang, dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 4, secara formal Polri diberi kepercayaan oleh negara sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani, serta menegakkan hukum. Tetapi, menyerahkan sepenuhnya upaya mewujudkan keamanan kepada Polri merupakan hal yang mustahil. Tidak mungkin Polri menjangkau setiap titik kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, sikap dan perilaku pribadi dan lingkungan harus memperhatikan keamanan diri. 

Memang bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan nilai-nilai agama dalam perilaku dan budaya seseorang. Ada fenomena yang menarik di sekitar kita, seolah-olah ibadah yang penting itu semata-mata hubungan tiap individu dengan Tuhannya. Dengan begitu, ajaran agama yang mendapat nilai khusus adalah ritual ibadah yang berkaitan dengan Tuhan. Padahal, dalam dimensi lain, Tuhan lebih menghargai ibadah yang bersifat horizontal kepada sesama manusia karena mempunyai nilai untuk mengangkat derajat maupun menyejahterakan orang lain.

Apabila kita perhatikan, khususnya umat Islam ketika akan melaksanakan salat, ketika ada jamaah yang datang belakangan dengan tidak membawa sajadah, maka dengan ringan jamaah yang membawa sajadah mengubah posisi sajadahnya menjadi melintang untuk berbagi tempat sujud dan salat. Indah nian.

Tetapi, ternyata, semangat berbagi itu tidak dibawa dalam antrean mengambil sandal ketika akan keluar dari masjid. Apalagi bila dilihat dalam antrean mobil yang akan keluar dari tempat parkir. Semakin jauh dari masjid, yakni di jalan-jalan, semangat berbagi dalam berkendara akan semakin menghilang.

Sebenarnya, untuk memahami keganjilan tersebut bukanlah hal yang sulit. Bahkan, dalam era transparansi sekarang ini, kita dapat dengan mudah belajar dari sajian media massa, walau nuansa sekuler, sangat terasa. Yang sulit adalah menemukan solusinya.

Mengutip tip yang dipopulerkan dai kondang Aa Gym, perubahan perilaku dan lingkungan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari hal yang paling kecil, dan tidak perlu menunggu besok, tapi sekarang kita berubah. Dilihat sepintas, itu memang klise. Tetapi, tip Aa Gym tersebut sangat substansial.

Bahkan, dapat dikatakan kegagalan mewujudkan rasa aman masyarakat dan negara itu disebabkan kebiasaan kita yang suka menunjuk orang lain dan menunda waktu untuk melakukan sesuatu. Keamanan diri dan keamanan keluarga menjadi embrio terwujudnya keamanan masyarakat dan keamanan negara. 

Di akhir tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk berani memulai mewujudkan rasa aman itu dari diri dan keluarga kita dengan nilai-nilai spiritual yang menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar