Pasca penyerbuan LP Cebongan, Sleman,
Jogjakarta, oleh kelompok bersenjata, hujatan terhadap para pelaku
maupun ketidakmampuan institusi pemerintah dalam memberikan perlindungan
terhadap masyarakat menjadi komoditas berita di seluruh media massa. Ada
situasi yang menarik bila memperhatikan respons masyarakat pasca
penangkapan pelaku. Dari berbagai diskusi di media massa, terbangun opini
yang bertolak belakang.
Dari sisi lain, polemik sengit ini membuktikan bahwa keamanan menjadi
faktor yang sangat penting dalam kehidupan sehari-hari. Sebagai unsur
utama dalam menunjang keberhasilan aktivitas sehari-hari masyarakat,
sepantasnya perwujudan rasa aman menjadi prioritas setiap orang. Tetapi,
anehnya, perilaku masyarakat sering melupakan sisi keamanan sebagai
pertimbangan.
Secara konstitusional, menurut UUD 1945 pasal 30 ayat 1, tiap-tiap warga
negara berhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara. Jadi, keikutsertaan warga negara dalam mewujudkan keamanan negara
merupakan keniscayaan.
Apalagi, Indonesia sebagai negara terbesar di dunia dari sisi penduduk
yang beragama Islam tidak asing lagi dengan tuntunan dan ajakan untuk
berperan aktif dalam mewujudkan rasa aman. Rasulullah SAW menggarisbawahi
bahwa memberantas kemungkaran (baca: kejahatan) merupakan kewajiban
setiap orang sesuai dengan kemampuan dan kekuatan yang dimilikinya.
Dengan spirit agama, adanya kebersamaan untuk menggabungkan kemampuan dan
kekuatan setiap orang dalam mewujudkan keamanan, sebetulnya tidak ada
alasan bagi kita untuk ''dikalahkan'' premanisme yang kini jadi kerisauan
bersama. Sikap kita jelas, yaitu memberantas kemungkaran (baca:
kejahatan) itu menjadi ibadah bagi umat Islam. Seharusnya umat mengambil
peran aktif dalam mewujudkan rasa aman sesuai dengan tingkat kemampuan
dan kekuatannya dari lingkungan yang paling kecil.
Misalnya, orang yang akan berkendara sepeda motor menggunakan helm
standar dan mematuhi peraturan lalu lintas, perempuan tidak mengenakan
perhiasan yang berlebihan, berani menegur/mengingatkan orang-orang di
sekitar yang berbuat kesalahan. Intinya, jangan biarkan anggota Polri
"merampas" pahala yang seharusnya menjadi hak kita sebagai
manusia mulia di depan Sang Khalik dengan berperan secara aktif dalam
membangun rasa aman.
Memang, dalam UUD 1945 pasal 30 ayat 4, secara formal Polri diberi
kepercayaan oleh negara sebagai alat negara yang menjaga keamanan dan
ketertiban masyarakat bertugas melindungi, mengayomi, melayani, serta
menegakkan hukum. Tetapi, menyerahkan sepenuhnya upaya mewujudkan
keamanan kepada Polri merupakan hal yang mustahil. Tidak mungkin Polri
menjangkau setiap titik kegiatan masyarakat. Oleh karena itu, sikap dan
perilaku pribadi dan lingkungan harus memperhatikan keamanan diri.
Memang bukan hal yang mudah untuk menumbuhkan nilai-nilai agama dalam
perilaku dan budaya seseorang. Ada fenomena yang menarik di sekitar kita,
seolah-olah ibadah yang penting itu semata-mata hubungan tiap individu
dengan Tuhannya. Dengan begitu, ajaran agama yang mendapat nilai khusus
adalah ritual ibadah yang berkaitan dengan Tuhan. Padahal, dalam dimensi
lain, Tuhan lebih menghargai ibadah yang bersifat horizontal kepada
sesama manusia karena mempunyai nilai untuk mengangkat derajat maupun
menyejahterakan orang lain.
Apabila kita perhatikan, khususnya umat Islam ketika akan melaksanakan
salat, ketika ada jamaah yang datang belakangan dengan tidak membawa
sajadah, maka dengan ringan jamaah yang membawa sajadah mengubah posisi
sajadahnya menjadi melintang untuk berbagi tempat sujud dan salat. Indah
nian.
Tetapi, ternyata, semangat berbagi itu tidak dibawa dalam antrean
mengambil sandal ketika akan keluar dari masjid. Apalagi bila dilihat
dalam antrean mobil yang akan keluar dari tempat parkir. Semakin jauh
dari masjid, yakni di jalan-jalan, semangat berbagi dalam berkendara akan
semakin menghilang.
Sebenarnya, untuk memahami keganjilan tersebut bukanlah hal yang sulit.
Bahkan, dalam era transparansi sekarang ini, kita dapat dengan mudah
belajar dari sajian media massa, walau nuansa sekuler, sangat terasa.
Yang sulit adalah menemukan solusinya.
Mengutip tip yang dipopulerkan dai kondang Aa Gym, perubahan perilaku dan
lingkungan itu harus dimulai dari diri sendiri, dari hal yang paling
kecil, dan tidak perlu menunggu besok, tapi sekarang kita berubah.
Dilihat sepintas, itu memang klise. Tetapi, tip Aa Gym tersebut sangat
substansial.
Bahkan, dapat dikatakan kegagalan mewujudkan rasa aman masyarakat dan
negara itu disebabkan kebiasaan kita yang suka menunjuk orang lain dan
menunda waktu untuk melakukan sesuatu. Keamanan diri dan keamanan
keluarga menjadi embrio terwujudnya keamanan masyarakat dan keamanan
negara.
Di akhir tulisan ini, penulis mengajak pembaca untuk berani memulai
mewujudkan rasa aman itu dari diri dan keluarga kita dengan nilai-nilai
spiritual yang menjadi bagian hidup yang tidak terpisahkan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar