Selasa, 02 April 2013

Rangkap Jabatan ala SBY


Rangkap Jabatan ala SBY
Jamal Wiwoho ;   Guru Besar Fakultas Hukum UNS Surakarta
SUARA KARYA, 02 April 2013


Kesediaan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) menjabat Ketua Umum Partai Demokrat (PD) memicu pro dan kontra. Yang jelas, terpilihnya SBY sebagai Ketua Umum Partai Demokrat menggantikan Anas Urbaningrum memiliki plus-minus atau dapat ditilik sisi positif dan negatifnya, terutama bagi Partai Demokrat (PD) sendiri.

Dari sisi positifnya, pertama, sebagai sosok dan ikon bagi PD, SBY akan dapat melakukan konsolidasi partainya secara cepat. Ini berbeda dengan era kepemimpinan Anas manakala faksi-faksi menggelayuti tubuh PD karena kerasnya persaingan di internal partai. Anas sendiri akhirnya kesulitan melakukan konsolidasi menyusul permasalahan hukum yang menderanya.

Kedua, terpilihnya SBY memberikan harapan kepada semua komponen PD untuk meningkatkan elektabilitas partai di mata publik. Masih ingat, hasil survei Saiful Munjani Research and Institute menunjukkan elektabilitas PD sempat terjun bebas tinggal 8 persen dari posisi sebelumnya, 20 persen. Ini sempat membuat gerah sebagian besar elite dan pengurus PD, termasuk SBY sendiri. Dengan meng-handle jabatan strategis ketum sekaligus, SBY diharapkan dapat mendongkrak elektabilitas partai hingga kembali memenangi Pilpres 2014.

Ketiga, dengan konsolidasi secara cepat, PD dapat menyelesaikan kesulitan-kesulitan yang dihadapinya secara bersama-sama. Hal ini karena ketokohan dan karisma SBY di semua lapisan anggota dan pengurus PD di seluruh Indonesia, tidak perlu diragukan lagi.
Sementara itu, dilihat sisi negatifnya, pertama, kaderisasi partai tidak berjalan alias mandek dan demokratisasi di tubuh PD tidak seperti yang diharapkan. Bandingkan dengan Kongres PD 2010 yang memunculkan tiga calon ketum (Andi Mallarangeng, Marzuki Alie, dan Anas Urbaningrum). Kongres itu sendiri akhirnya memunculkan nama Anas Urbaningrun sebagai Ketum PD setelah melalui pemilihan dua putaran. Sebagai sosok anak muda, Anas adalah simbol kaderisasi partai pemenang pemilu sekaligus partai pemerintah.

Kedua, secara de facto dan de jure, jabatan SBY bertambah, baik di dalam maupun di luar partai. Di dalam partai, SBY sebagai Ketua Dewan Pembina, Ketua Majelis Tinggi, Ketua Dewan Kehormatan dan ditambah lagi sebagai Ketua Umum PD. Rangkap empat jabatan itu di PD tentunya tidak akan baik dalam mendinamisasikan partai karena sulit dibatasi pada area apa SBY bekerja.

Sedangkan di luar partai, sebagai Presiden RI, SBY adalah kepala negara dan kepala pemerintahan. Ia juga memiliki jabatan-jabatan strategis lainnya, baik di kancah nasional maupun internasional (misalnya, ketua bersama sebuah badan di PBB). Tentu, hal ini akan kian menambah bebannya. Dengan demikian, akan sulit bagi SBY untuk berkonsentrasi dan fokus pada masalah yang dihadapi. Apalagi, kalau sampai terjadi konflik antara kepentingan partai dan kepentingan bangsa/negara.

Kedua, masyarakat tentu masih ingat ketika Presiden SBY meminta kepada para menterinya yang berasal dari partai-partai agar di tahun politik 2013 tetap fokus dan mengedepankan kepentingan negara dan bangsa. Bagaimana dengan status SBY yang kini juga menjabat Ketum PD? Mau tak mau, SBY juga dituntut aktif mengurus partainya. Apalagi, langkah pertama dan utama sebagai Ketum PD adalah menandatangani daftar calon anggota DPR dari PD yang harus diserahkan ke KPU. Ini tentu akan menyita waktunya.

Ketiga, sebagai Ketum PD, maka SBY sudah turun kelas status kerjanya. Dengan mengemban sederet jabatan tinggi partai, SBY tidak selayaknya lagi turun langsung menjalankan roda partai. Ibarat sebuah unit usaha perseroan terbatas (PT), sang pemegang saham utama atau pemegang saham mayoritas tidak pantas lagi masih menjabat direktur.

Akhirnya, mungkin benar komentar Edy Bhaskoro Yudhoyono yang menyatakan bahwa mungkin hanya Tuhan dan SBY yang tahu segalanya tentang Partai Demokrat dan nasib partai pemerintah itu selanjutnya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar