Rabu, 03 April 2013

Provokasi Perang Korut


Provokasi Perang Korut
Andi Purwono ;   Guru Besar Fakultas Hukum UNS Surakarta
SUARA MERDEKA, 02 April 2013



KOREA Utara (Korut) kembali memprovokasi, dengan memperingatkan Korea Selatan (Korsel) bahwa Semenanjung Korea dalam keadaan perang. Ia juga mengancam menutup zona industri Kaesong yang dikelola bersama. Sekutu Korsel, Amerika Serikat menganggap serius ancaman Korut (SM, 1/4/13).

Apakah ancaman itu hanya gertakan, dan tepatkah serius menanggapi? Realitasnya, kendati sejumlah analis meragukan keberanian Korut menggelar perang, terutama dengan mendasarkan probabilitas kemenangan, tanggapan serius Korsel dan sekutunya merupakan langkah strategis. Ada sejumlah alasan yang menjadi dasar.

Pertama; Korut-Korsel masih dalam kondisi perang karena Perang 1950-1953 belum berakhir secara permanen, hanya dihentikan dengan gencatan senjata dan solusi komprehensif penghentian perang belum dirumuskan dan disepakati. Artinya, sewaktu-waktu salah satu atau kedua pihak bisa saja menyatakan keluar dari kesepakatan gencatan senjata tersebut, sehingga kaidah peranglah yang berlaku.

Kedua; retorika permusuhan secara verbal oleh Korut dilakukan terus-menerus dan simultan. Sesuatu yang berulang bisa jadi kehilangan gereget, namun dalam kasus Korut, ini tidak bisa dianggap semata-mata gertak sambal atau diplomasi tekanan tanpa bobot. Pengulangan justru mengindikasikan provokasi terencana sekaligus permusuhan nyata.

Sejak Maret, selama latihan rutin perang gabungan militer AS-Korsel, Korut selalu mengancam menyerang pangkalan militer AS dan Korsel. Pada pertengahan Maret, Kim Jong-un bahkan mengidentifikasi sejumlah pulau di Korsel sebagai sasaran serangan.  

Perang Nuklir

Ketiga; retorika verbal dibarengi langkah agresif provokatif dalam bidang militer. Kita melihat angka cukup besar untuk anggaran belanja militer, yakni 8,2 miliar dolar AS atau 22-25% PDB negara itu. Korut juga memiliki 1,08 juta personel militer atau sekitar 44% dari total populasi, belum termasuk komponen rakyat yang bisa cepat dimobilisasi untuk perang.

Langkah agresif juga terlihat nyata dari kunjungan Kim Jong-un ke lokasi latihan militer di kawasan perbatasan. Ia memberi perintah memutus sambungan komunikasi hotline militer sebagai pengendali pekerja dan kendaraan ke zona demiliterisasi.

Selain itu, memerintah unit-unit rudal bersiaga penuh untuk menggempur pangkalan militer AS di Korsel dan Pasifik setelah AS menerbangkan pembom nuklir B-2 di Semenanjung Korea. Tahun 2010 Korut membom Pulau Yeonpyeong dengan meriam hingga menewaskan empat orang.

Deret panjang daftar langkah agresif itu akan makin panjang jika kita memasukkan berbagai uji coba nuklir dan rudal. Uji coba nuklir tahun 2006, 2009, dan 2013 menggemparkan dunia demikian juga uji coba rudal/ roket seperti pada April- Mei 2009, 12 dan 16 April 2012, dan Desember 2012.

Keempat; yang dihadapi adalah negara nuklir yang pernah disebut Amerika sebagai Axis of Evil (Poros Kejahatan) sehingga jika tidak hati-hati bisa berakibat fatal. Terlebih jika memasukkan dukungan sekutu Korut, yaitu China dan Rusia dalam kalkulasi itu. Konflik Semenanjung Korea sebagai warisan Perang Dingin bukan tidak mustahil bisa menyulut perang nuklir. Dengan memperhatikan banyak pihak lain yang mungkin terlibat bisa juga ini menyeret Perang Dunia III.

Terakhir; dampak negatif bidang ekonomi yang serius. Studi Markus Noland dalam The Economic Implications of a North Korea Nuclear Test (Asian Policy, Washington DC, 2006, hal 25-39) menyebut bahwa pengembangan senjata nuklir Korut  memberikan efek negatif pada kepentingan ekonomi negara-negara, seperti Amerika, Jepang, China, dan bahkan Korsel.

Hal ini karena banyak pelaku usaha membatalkan investasi di Asia Timur dengan alasan keamanan. Artinya, selama konflik berlarut-larut, geliat ekonomi Korsel sebagai salah satu kekuatan ekonomi dunia akan terganggu.

Sikap Amerika dan negara-negara sekutu di Asia Timur selama ini berada dalam dua ranah. Pertama; pada aras hubungan kekuasaan secara langsung, Amerika getol membantu kemampuan militer sekutunya dengan persenjataan mutakhir. Selain itu, secara rutin menggelar latihan militer bersama. Namun Korut memersepsikan langkah ini sebagai ancaman dan provokasi.

Kedua; pada aras structural power, adalah dengan meminta PBB untuk menjatuhkan sanksi terhadap Pyongyang. Bagi Amerika dan sekutunya, Korut secara nyata telah melanggar Bab VII Piagam PBB, yang mengatur antara lain perihal ancaman terhadap ketenteraman dan tindakan untuk melakukan agresi. Adapun sanksi yang dijatuhkan terhadap Korut berupa embargo ekonomi dan militer.

Sayang, kedua sikap ini terbukti belum mampu mengubah langkah Korut. Karena itu, langkah akomodatif dengan terus merangkul Korut dalam pembicaraan politik diplomatik bisa menjadi solusi terbaik. Tindakan internasional terhadap Korut juga harus dipikirkan secara matang supaya tidak meningkatkan ketegangan yang memicu tindakan nekat yang mengancam perdamaian dunia. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar