Kamis, 11 April 2013

Menguji Filantropi Politik Gubsu


Menguji Filantropi Politik Gubsu
Janpatar Simamora  ;  Pengajar di Fakultas Hukum Universitas HKBP Nommensen, Dewan Pendiri Lembaga Pemberdayaan Media dan Komunikasi (LAPiK) 
KORAN SINDO, 11 April 2013
  

Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam setiap perhelatan demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional, termasuk pesta demokrasi lokal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumut pada 7 Maret 2013 lalu, sikap filantropi atau cinta kasih maupun kedermawanan terhadap sesama para kandidat mengalami peningkatan tajam. 

Para kandidat yang bertarung dalam perhelatan politik selalu berupaya menelusuri berbagai strategi untuk dapat bersinggungan secara langsung dengan rakyat sebagai pemilik hak suara. Sikap filantropi atau cinta kasih maupun kedermawanan para kandidat terhadap sesama umumnya mencapai puncak eskalasi, khususnya menjelang detik-detik terakhir pemungutan suara. Ada banyak cara dan strategi para kandidat menggaet simpati dan dukungan konstituen. Ada yang menyiapkan tim dalam mencari segala informasi persoalan yang dihadapi masyarakat. 

Ada juga yang rajin dan sigap mengunjungi berbagai acara, baik acara adat, acara serikat tolong menolong, acara berbagai klan atau marga, termasuk mengunjungi warga yang sedang sakit, kemalangan, bahkan yang sedang menjalani proses hukuman di lembaga pemasyarakatan. Semua kegiatan itu dikemas begitu rapi seakan para kandidat memberikan pesan ke hadapan publik bahwa mereka adalah orangorang dermawan yang dekat dengan rakyat dan selalu stand by untuk kepentingan rakyat. Hal sama terjadi pada pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara. 

Para calon gubernur dan wakil gubernur berlomba menjemput berbagai persoalan aktual melanda publik. Tingkat keramahan pada kandidat menjelang pemilihan juga terasa meningkat signifikan. Para kandidat selalu berusaha mendekati masyarakat tanpa memandang sekatsekat perbedaan di dalamnya. Apakah itu seorang pengusaha, petani, nelayan, pedagang, pemulung, pengamen, tukang becak, dan berbagai profesi lainnya. Hal yang pasti, sepanjang dianggap berkontribusi dalam proses pemilihan, maka sikap filantropi yang terkesan instan itu diluncurkan seketika juga. Mungkin banyak di antara pembaca sekalian yang mengalami hal ini. 

Bahkan, tidak sedikit masyarakat yang merasa aneh dan janggal dengan berbagai peristiwa politik semacam ini. Pasalnya, banyak warga yang selama ini bukan merupakan bagian penting dalam berbagai hal, bukan pengurus parpol, bukan kalangan birokrat, dan bukan pula pemimpin suatu organisasi kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga lainnya, namun justru mendapat sambutan hangat dari orang-orang sekelas kandidat kepala daerah. 

Mendulang Simpati 

Berbagai strategi yang dilakukan masing-masing kandidat pada intinya dimaksudkan dalam mendulang simpati masyarakat Sumut. Kita bisa menyaksikan bagaimana para kandidat selalu berupaya memanfaatkan segala sarana yang ada guna mempromosikan diri kepada publik. Ada yang mempromosikan diri melalui media cetak dengan memanfaatkan iklan sejumlah media terbitan medan dan media lokal lainnya. 

Ada juga yang memperkenalkan diri dengan melakukan berbagai bentuk kegiatan sosial atau dengan menghadiri sejumlah acara, baik acara adat, acara kumpulan marga, acara STM (serikat tolong menolong), dan masih banyak lagi strategi masing-masing calon. Seiring berbagai aktivitas politik itu, publik kian menyadari bahwa aroma politik pada pelaksanaan pilgubsu sangat menyengat hidung para konstituen. Para calon berlomba untuk meraih simpati dan perhatian masyarakat. 

Semua itu semakin terasa dari semakin tinggi tingkat intensitas para calon untuk berpartisipasi dalam berbagai kegiatan sosial. Berbagai isu sentral yang sebelumnya luput dari perhatian pemerintah dapat dipastikan diungkit para calon. Kalau selama ini, publik harus bersusah payah untuk menyampaikan aspirasinya pada pemerintah, maka pada saat menjelang pesta demokrasi, semua aspirasi itu dengan gampang dapat diangkat ke permukaan. Janji-janji politik pun bermunculan, di mana muaranya selalu mengatasnamakan keadilan dan untuk kesejahteraan rakyat. 

Namun, masalah realisasi nanti dulu aliasnomor sekian, yang paling utama adalah bagaimana cara untuk mendapatkan simpati masyarakat Sumut. Karena tanpa dukungan publik, impian meraih kursi kekuasaan bagi para kandidat hanya akan menjadi angan-angan belaka. 

Filantropi Instan 

Sikap paling menonjol selama ini dari calon pemimpin Sumut adalah meningkatnya rasa kedermawanan sosial (filantropi). Rasa kedermawanan itu bukan hanya ditunjukkan dengan memberi pesan-pesan moral, baik melalui spanduk, media cetak, maupun elektronik, melainkan dengan memberi berbagai bentuk bantuan, termasuk uang tunai kepada masyarakat. 

Lihat saja misalnya, bagaimana para tukang becak bermotor mendapatkan fasilitas tenda plus biaya pasang untuk kendaraannya dari para kandidat. Semua ini sudah biasa menjelang pelaksanaan pemilukada, khususnya sejak diterapkannya sistem demokrasi langsung di Tanah Air. Namun, kondisi ini tetap terasa aneh dan fenomenal serta perlu diwaspadai. Membaca sikap filantropi instan semacam itu, tampaknya aktivitas yang satu ini lebih disandarkan pada kepentingan politik semata. Artinya, apa yang mereka berikan bukan semata- mata ingin membantu meringankan beban orang lain dan juga bukan karena dorongan hati nurani tulus tanpa mengharapkan imbalan atau balasan, melainkan sebaliknya. 

Orang Batak biasa menyebutnya dengan istilah “holong marpambuat” yang artinya suatu cinta kasih yang diberikan dengan mengharapkan imbalan. Bahkan, cinta kasih seperti ini umumnya justru mengharapkan imbalan atau balasan lebih besar dari apa yang diberikan. Di sinilah kalangan publik sebagai konstituen dan penentu akan siapa pemimpin negeri ini, khususnya pemimpin Sumut di masa yang akan datang dituntut selalu waspada dan jeli serta cermat melihat situasi. 

Dengan demikian, segala bentuk filantropi politik tidak akan mampu menjebak masyarakat Sumut dalam giuran sikap dan perilaku dermawan sesaat. Sangat diyakini bahwa berbagai bentuk sikap filantropi yang ditonjolkan para kandidat hanya bersifat instan dan mengandung unsur kepentingan politik. Sebab, kalau memang memiliki sikap filantropi sejati, mengapa baru sekarang dimunculkan? Mengapa tidak dari dulu sejak yang bersangkutan merasa mampu menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan banyak orang? 

Kini publik menanti dan menguji eksistensi filantropi politik gubernur dan wakil gubernur terpilih. Pasangan Gatot Pujo Nugroho dan HT Erry Nuradi yang berhasil memenangi pilgubsu benar-benar akan diuji filantropi politiknya, sebagaimana mengemuka pada saat menjelang pelaksanaan pesta demokrasi Maret lalu.

Kalau pada akhirnya, sikap kedermawanan dan cinta kasih yang menonjol pada saat menjelang pilgubsu tidak dapat dilanjutkan, setelah yang bersangkutan berhasil meraih tahta kekuasaan di Sumut, maka sikap filantropi yang demikian tidak lebih dari sebuah filantropi instan dengan agenda politik pragmatis.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar