Sudah menjadi rahasia umum bahwa dalam
setiap perhelatan demokrasi, baik di tingkat lokal maupun nasional,
termasuk pesta demokrasi lokal pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur
Sumut pada 7 Maret 2013 lalu, sikap filantropi atau cinta kasih maupun
kedermawanan terhadap sesama para kandidat mengalami peningkatan tajam.
Para kandidat
yang bertarung dalam perhelatan politik selalu berupaya menelusuri
berbagai strategi untuk dapat bersinggungan secara langsung dengan rakyat
sebagai pemilik hak suara. Sikap filantropi atau cinta kasih maupun
kedermawanan para kandidat terhadap sesama umumnya mencapai puncak eskalasi,
khususnya menjelang detik-detik terakhir pemungutan suara. Ada banyak
cara dan strategi para kandidat menggaet simpati dan dukungan konstituen.
Ada yang menyiapkan tim dalam mencari segala informasi persoalan yang
dihadapi masyarakat.
Ada juga yang
rajin dan sigap mengunjungi berbagai acara, baik acara adat, acara
serikat tolong menolong, acara berbagai klan atau marga, termasuk
mengunjungi warga yang sedang sakit, kemalangan, bahkan yang sedang
menjalani proses hukuman di lembaga pemasyarakatan. Semua kegiatan itu
dikemas begitu rapi seakan para kandidat memberikan pesan ke hadapan
publik bahwa mereka adalah orangorang dermawan yang dekat dengan rakyat
dan selalu stand by untuk kepentingan rakyat. Hal sama terjadi pada
pelaksanaan pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur Sumatera Utara.
Para calon
gubernur dan wakil gubernur berlomba menjemput berbagai persoalan aktual
melanda publik. Tingkat keramahan pada kandidat menjelang pemilihan juga
terasa meningkat signifikan. Para kandidat selalu berusaha mendekati
masyarakat tanpa memandang sekatsekat perbedaan di dalamnya. Apakah itu
seorang pengusaha, petani, nelayan, pedagang, pemulung, pengamen, tukang
becak, dan berbagai profesi lainnya. Hal yang pasti, sepanjang dianggap
berkontribusi dalam proses pemilihan, maka sikap filantropi yang terkesan
instan itu diluncurkan seketika juga. Mungkin banyak di antara pembaca
sekalian yang mengalami hal ini.
Bahkan, tidak
sedikit masyarakat yang merasa aneh dan janggal dengan berbagai peristiwa
politik semacam ini. Pasalnya, banyak warga yang selama ini bukan
merupakan bagian penting dalam berbagai hal, bukan pengurus parpol, bukan
kalangan birokrat, dan bukan pula pemimpin suatu organisasi
kemasyarakatan, dan lembaga-lembaga lainnya, namun justru mendapat sambutan
hangat dari orang-orang sekelas kandidat kepala daerah.
Mendulang Simpati
Berbagai
strategi yang dilakukan masing-masing kandidat pada intinya dimaksudkan
dalam mendulang simpati masyarakat Sumut. Kita bisa menyaksikan bagaimana
para kandidat selalu berupaya memanfaatkan segala sarana yang ada guna
mempromosikan diri kepada publik. Ada yang mempromosikan diri melalui
media cetak dengan memanfaatkan iklan sejumlah media terbitan medan dan
media lokal lainnya.
Ada juga yang
memperkenalkan diri dengan melakukan berbagai bentuk kegiatan sosial atau
dengan menghadiri sejumlah acara, baik acara adat, acara kumpulan marga,
acara STM (serikat tolong menolong), dan masih banyak lagi strategi
masing-masing calon. Seiring berbagai aktivitas politik itu, publik kian
menyadari bahwa aroma politik pada pelaksanaan pilgubsu sangat menyengat
hidung para konstituen. Para calon berlomba untuk meraih simpati dan
perhatian masyarakat.
Semua itu
semakin terasa dari semakin tinggi tingkat intensitas para calon untuk berpartisipasi
dalam berbagai kegiatan sosial. Berbagai isu sentral yang sebelumnya
luput dari perhatian pemerintah dapat dipastikan diungkit para calon.
Kalau selama ini, publik harus bersusah payah untuk menyampaikan
aspirasinya pada pemerintah, maka pada saat menjelang pesta demokrasi,
semua aspirasi itu dengan gampang dapat diangkat ke permukaan.
Janji-janji politik pun bermunculan, di mana muaranya selalu
mengatasnamakan keadilan dan untuk kesejahteraan rakyat.
Namun,
masalah realisasi nanti dulu aliasnomor sekian, yang paling utama adalah
bagaimana cara untuk mendapatkan simpati masyarakat Sumut. Karena tanpa
dukungan publik, impian meraih kursi kekuasaan bagi para kandidat hanya
akan menjadi angan-angan belaka.
Filantropi Instan
Sikap paling
menonjol selama ini dari calon pemimpin Sumut adalah meningkatnya rasa
kedermawanan sosial (filantropi). Rasa kedermawanan itu bukan hanya
ditunjukkan dengan memberi pesan-pesan moral, baik melalui spanduk, media
cetak, maupun elektronik, melainkan dengan memberi berbagai bentuk
bantuan, termasuk uang tunai kepada masyarakat.
Lihat saja
misalnya, bagaimana para tukang becak bermotor mendapatkan fasilitas
tenda plus biaya pasang untuk kendaraannya dari para kandidat. Semua ini
sudah biasa menjelang pelaksanaan pemilukada, khususnya sejak
diterapkannya sistem demokrasi langsung di Tanah Air. Namun, kondisi ini
tetap terasa aneh dan fenomenal serta perlu diwaspadai. Membaca sikap
filantropi instan semacam itu, tampaknya aktivitas yang satu ini lebih
disandarkan pada kepentingan politik semata. Artinya, apa yang mereka
berikan bukan semata- mata ingin membantu meringankan beban orang lain
dan juga bukan karena dorongan hati nurani tulus tanpa mengharapkan
imbalan atau balasan, melainkan sebaliknya.
Orang Batak
biasa menyebutnya dengan istilah “holong
marpambuat” yang artinya suatu cinta kasih yang diberikan dengan
mengharapkan imbalan. Bahkan, cinta kasih seperti ini umumnya justru
mengharapkan imbalan atau balasan lebih besar dari apa yang diberikan. Di
sinilah kalangan publik sebagai konstituen dan penentu akan siapa
pemimpin negeri ini, khususnya pemimpin Sumut di masa yang akan datang
dituntut selalu waspada dan jeli serta cermat melihat situasi.
Dengan
demikian, segala bentuk filantropi politik tidak akan mampu menjebak
masyarakat Sumut dalam giuran sikap dan perilaku dermawan sesaat. Sangat
diyakini bahwa berbagai bentuk sikap filantropi yang ditonjolkan para
kandidat hanya bersifat instan dan mengandung unsur kepentingan politik.
Sebab, kalau memang memiliki sikap filantropi sejati, mengapa baru
sekarang dimunculkan? Mengapa tidak dari dulu sejak yang bersangkutan
merasa mampu menyisihkan sebagian rezekinya untuk kepentingan banyak
orang?
Kini publik
menanti dan menguji eksistensi filantropi politik gubernur dan wakil
gubernur terpilih. Pasangan Gatot Pujo Nugroho dan HT Erry Nuradi yang
berhasil memenangi pilgubsu benar-benar akan diuji filantropi politiknya,
sebagaimana mengemuka pada saat menjelang pelaksanaan pesta demokrasi
Maret lalu.
Kalau pada
akhirnya, sikap kedermawanan dan cinta kasih yang menonjol pada saat
menjelang pilgubsu tidak dapat dilanjutkan, setelah yang bersangkutan
berhasil meraih tahta kekuasaan di Sumut, maka sikap filantropi yang
demikian tidak lebih dari sebuah filantropi instan dengan agenda politik
pragmatis. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar