Warga merusak kantor pemerintah,
mahasiswa menyerang mahasiswa, tentara menyerang kantor polisi, polisi
menembak polisi, preman membunuh aparat TNI, anggota Kopassus menyerang
preman, dan entah berita apa lagi yang menyusul kemudian. Budaya
predator, saling memakan dan berperang antaranak bangsa, terus
menggerogoti integritas bangsa Indonesia.
Lebih menyakitkan lagi, perbuatan yang
lebih mirip dengan predator ini dilakukan oleh kelompok terpelajar dan
terhormat, seperti mahasiswa, polisi, dan tentara, yang seharusnya
memberikan contoh terbaik bagi masyarakat umum.
Meskipun pelaku aksi itu kelompok
terdidik, rentetan kejadian tersebut tampak seperti spontanitas emosi
mereka, atau tidak dilakukan secara sistematis. Artinya, pelaku tak
merencanakan secara rasional penyerangan tersebut.
Dalam kasus Cebongan misalnya,
penyerangan oleh anggota Kopassus tampak dilakukan lebih secara
emosional. Seandainya dilakukan secara rasional, sesuai dengan keahlian
dan keilmuan sebagai pasukan elite, seharusnya operasi ini berjalan lebih
rapi dan tak mudah ditebak oleh khalayak.
Logika ini sama seperti penyerangan
anggota TNI terhadap Mapolres OKU Sumsel dan penyerangan seorang anggota
polisi terhadap atasannya di kantor pada siang hari, jelas bukan aksi
rasional. Seandainya balas dendam dan pelampiasan kemarahan ini dilakukan
secara rasional, sesuai dengan keahlian mereka, tentu serangan tidak
dilakukan pada siang hari dan di kantor terbuka.
Lebih ’’menarik’’ lagi, terlepas dari
perilaku predator tersebut, nilai keadilan, hak asasi dan
integritas --sesuai dengan pemahaman masing-masing pelaku-- justru
menjadi pemicu reaksi emosi mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak
baik dan melanggar hukum.
Mengapa ini bisa terjadi? Sebagian
menganggap kekerasan ini merupakan ulah oknum, yang tidak boleh
digeneralisasi pada tingkatan institusi atau kelompok. Karena, pelaku
hanya minoritas yang sangat kecil dari kelompok tersebut.
Namun jika kekerasan tersebut dilihat
bersama, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini, baik oleh masyarakat
umum, kelompok terpelajar, atau aparat pemerintah, menunjukkan hal itu
tidak bisa sekadar dipahami dan disederhanakan dengan logika oknum
semata.
Salah satu pendekatan yang menarik untuk
menjawab persoaalan ini adalah konsep anomi (anomie) yang pernah diintroduksi ilmuwan sosial Emile
Durkheim dan Robert K Merton. Anomi dapat dimaknai sebagai ’’ketidaksesuaian’’
antara aturan/norma dan praktik, atau meminjam istilah sosiolog modern
Stjepan Mestrovic, hukum yang pada praktiknya bukan hukum. Keadaan anomi
seperti inilah yang oleh para sosiolog ditengarai sebagai sumber utama
kemerebakan penyimpangan perilaku sosial.
Penyelamatan
Situasi
Meskipun Indonesia tidak sepenuhnya bisa
disebut dalam keadaan anomi, ketidakkonsistenan penegakan hukum terus
dipertontonkan di hadapan publik. Sebut, sejak terjadi kasus Century,
Cicak Vs Buaya, Gayus Tambunan, rekening gendut polisi sampai penanganan
kasus korupsi, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum terus
dipertontonkan tiap saat.
Beberapa kasus besar, seperti Century dan
rekening gendut polisi, hilang tak terselesaikan. Koruptor, yang
merugikan negara dan rakyat, justru mendapatkan hukuman sangat.
Sementara pelaku kriminal jalanan mendapatkan hukuman jauh lebih berat
ketimbang koruptor.
Rasa keadilan masyarakat pun terus
tersakiti oleh proses hukum yang tidak jelas dan putusan pengadilan yang
tidak memenuhi harapan masyarakat. Rasa muak dan sakit terhadap penegakan
hukum terus menumpuk. Keadaan ini sama persis seperti digambarkan
Mestrovic sebagai ’’hukum
yang hakikatnya bukan hukum’’. Akibatnya, hukum tidak mendapat
legitimasi di mata masyarakat karena dianggap tidak bisa memenuhi harapan
mereka.
Keadaan inilah yang mendorong kelahiran
perilaku menyimpang di masyarakat, seperti perilaku predator tadi. Karena
itu, penegakan hukum secara baik, benar, dan tidak pandang bulu merupakan
terapi fundamental bagi permasalahan sosial di Indonesia.
Semisal penghukuman koruptor secara
berani dan benar, tentu tidak saja dipahami sebagai upaya mengembalikan
kerugian negara dan menghukum pelaku; tapi juga menjadi sarana penting
menyelamatkan situasi masyarakat dari perilaku menyimpang, terutama
kemewabahan perilaku predator.
Tanpa penanganan penegakan hukum yang
serius, baik, dan memenuhi ekspektasi publik maka perilaku predator akan
terus muncul secara episodik dengan pelaku, tempat, dan alasan
berbeda-beda. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar