Jumat, 19 April 2013

Konsep Anomi Predator


Konsep Anomi Predator
Munajat  ;  Dosen STAIN Salatiga, Alumnus S-2 Universiteit Leiden Belanda,
Alumnus S-3 Texas A&M University Texas Amerika Serikat
SUARA MERDEKA, 18 April 2013

  
Warga merusak kantor pemerintah, mahasiswa menyerang mahasiswa, tentara menyerang kantor polisi, polisi menembak polisi, preman membunuh aparat TNI, anggota Kopassus menyerang preman, dan entah berita apa lagi yang menyusul kemudian. Budaya predator, saling memakan dan berperang antaranak bangsa, terus menggerogoti  integritas bangsa Indonesia.   

Lebih menyakitkan lagi, perbuatan yang lebih mirip dengan predator ini dilakukan oleh kelompok terpelajar dan terhormat, seperti mahasiswa, polisi, dan tentara, yang seharusnya memberikan contoh terbaik bagi masyarakat umum.

Meskipun pelaku aksi itu kelompok terdidik, rentetan kejadian tersebut tampak seperti spontanitas emosi mereka, atau tidak dilakukan secara sistematis. Artinya, pelaku tak merencanakan secara rasional penyerangan tersebut.

Dalam kasus Cebongan misalnya, penyerangan oleh anggota Kopassus tampak dilakukan lebih secara emosional. Seandainya dilakukan secara rasional, sesuai dengan keahlian dan keilmuan sebagai pasukan elite, seharusnya operasi ini berjalan lebih rapi dan tak mudah ditebak oleh khalayak.

Logika ini sama seperti penyerangan anggota TNI terhadap Mapolres OKU Sumsel dan penyerangan seorang anggota polisi terhadap atasannya di kantor pada siang hari, jelas bukan aksi rasional. Seandainya balas dendam dan pelampiasan kemarahan ini dilakukan secara rasional, sesuai dengan keahlian mereka, tentu serangan tidak dilakukan pada siang hari dan di kantor terbuka.

Lebih ’’menarik’’ lagi, terlepas dari perilaku predator tersebut,  nilai keadilan, hak asasi dan integritas --sesuai dengan pemahaman masing-masing pelaku-- justru menjadi pemicu reaksi emosi mereka untuk melakukan perbuatan yang tidak baik dan melanggar hukum.

Mengapa  ini bisa terjadi? Sebagian menganggap kekerasan ini merupakan ulah oknum, yang tidak boleh digeneralisasi pada tingkatan institusi atau kelompok. Karena, pelaku hanya minoritas yang sangat kecil dari kelompok tersebut.

Namun jika kekerasan tersebut dilihat bersama, khususnya yang terjadi akhir-akhir ini, baik oleh masyarakat umum, kelompok terpelajar, atau aparat pemerintah, menunjukkan hal itu tidak bisa sekadar dipahami dan disederhanakan dengan logika oknum semata.

Salah satu pendekatan yang menarik untuk menjawab persoaalan ini adalah konsep anomi (anomie) yang pernah diintroduksi ilmuwan sosial Emile Durkheim dan Robert K Merton. Anomi dapat dimaknai sebagai ’’ketidaksesuaian’’ antara aturan/norma dan praktik, atau meminjam istilah sosiolog modern Stjepan Mestrovic, hukum yang pada praktiknya bukan hukum. Keadaan anomi seperti inilah yang oleh para sosiolog ditengarai sebagai sumber utama kemerebakan penyimpangan perilaku sosial.

Penyelamatan Situasi

Meskipun Indonesia tidak sepenuhnya bisa disebut dalam keadaan anomi, ketidakkonsistenan penegakan hukum terus dipertontonkan di hadapan publik. Sebut, sejak terjadi kasus Century, Cicak Vs Buaya, Gayus Tambunan, rekening gendut polisi sampai penanganan kasus korupsi, ketidakpastian dan ketidakadilan hukum terus dipertontonkan  tiap saat.

Beberapa kasus besar, seperti Century dan rekening gendut polisi, hilang tak terselesaikan. Koruptor, yang merugikan negara dan rakyat, justru mendapatkan hukuman sangat.  Sementara pelaku kriminal jalanan mendapatkan hukuman jauh lebih berat ketimbang koruptor.

Rasa keadilan masyarakat pun terus tersakiti oleh proses hukum yang tidak jelas dan putusan pengadilan yang tidak memenuhi harapan masyarakat. Rasa muak dan sakit terhadap penegakan hukum terus menumpuk. Keadaan ini sama persis seperti digambarkan Mestrovic  sebagai ’’hukum yang hakikatnya bukan hukum’’. Akibatnya, hukum tidak mendapat legitimasi di mata masyarakat karena dianggap tidak bisa memenuhi harapan mereka.

Keadaan inilah yang mendorong kelahiran perilaku menyimpang di masyarakat, seperti perilaku predator tadi. Karena itu, penegakan hukum secara baik, benar, dan tidak pandang bulu merupakan terapi fundamental bagi permasalahan sosial di Indonesia.

Semisal penghukuman koruptor secara berani dan benar, tentu tidak saja dipahami sebagai upaya mengembalikan kerugian negara dan menghukum pelaku; tapi juga menjadi sarana penting menyelamatkan situasi masyarakat dari perilaku menyimpang, terutama kemewabahan perilaku predator.

Tanpa penanganan penegakan hukum yang serius, baik, dan memenuhi ekspektasi publik maka perilaku predator akan terus muncul secara episodik dengan pelaku, tempat, dan alasan berbeda-beda.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar