Pada 2013 ini pemerintah berencana untuk menaikkan
tarif dasar listrik sebesar 15 persen yang akan dilakukan secara berkala.
Setelah 1 Januari kenaikan pertama berlaku, per 1 April 2013 pemerintah
menaikkan kembali harga listrik sesuai dengan rencana semula. Kenaikan
ini tidak berlaku untuk masyarakat kelas bawah dan industri kecil dengan
daya terpasang sampai 900 VA (W).
Meskipun banyak kalangan yang menentang rencana
kenaikan TDL ini, terutama sektor industri, namun keberanian pemerintah
untuk mengeluarkan kebijakan yang kurang populis ini patut diacungi
jempol, setidaknya oleh mereka yang memahami bahwa beban subsidi sudah
kelewat besar dan cenderung salah sasaran. Sebagai pengingat, tahun ini
pemerintah meng- alokasikan subsidi energi sebesar Rp 274 triliun, dan Rp
81 triliun untuk listrik.
Keberanian untuk mengontrol beban anggaran ini mutlak
diperlukan jika pemerintah serius ingin meningkatkan kesejahteraan
masyarakat, dalam arti yang sebenarnya, dengan cara menyediakan akses
listrik ke seluruh rakyat Indonesia. Sampai 2011, menurut PLN, rasio
elektrifikasi (persentase jumlah penduduk yang mempunyai akses
listrik) secara nasional adalah 71 persen.
Ironisnya, infrastruktur yang ada cenderung
Jawa-sentris, sehingga jika hampir 75 persen warga di Pulau Jawa dapat
menikmati listrik, maka tidak demikian ceritanya untuk Indonesia bagian
timur (NTB, NTT, Maluku, Papua). Jadi, alih-alih menghabiskan dana
subsidi yang tidak tepat sasaran, anggaran yang tersedia dapat
dialokasikan untuk membangun pembangkit dan jaringan baru.
Kemudian, jika pemerintah mengalihkan subsidi untuk pembangunan
infrastruktur kelistrikan, ada manfaat lain yang lebih besar dari
`sekadar' meningkatkan rasio elektrifikasi. Keuangan negara yang lebih
sehat, pendidikan kepada masyarakat untuk hemat energi dan tumbuhnya aktivitas
ekonomi yang berujung peningkatan kesejahteraan.
Selain itu, efek domino pembangunan infrastruktur
kelistrikan akan lebih terasa jika pemerintah memberi perhatian lebih
pada pengembangan energi terbarukan. Kebanyakan sumber energi jenis ini
tidak hanya gratis sepanjang masa, tapi juga bersih dan mendukung
pembangunan yang berkelanjutan.
Indonesia merupakan negara dengan sumber energi terbarukan yang melimpah.
Berbagai studi dan penelitian menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai
cadangan geothermal terbesar di dunia, setara 27 gigawatt (gw). Selain
itu, ada sumber air (75 gw), angin (9 gw), dan biofuel (50 gw).
Sayangnya, sampai saat ini kapasitas terpasang
pembangkit dari energi terbarukan baru disekitaran 5 gw. Padahal, jika
pemerintah mampu mengeksploitasi semua sumber tersebut, dan mengasumsikan
semua pembangkit mampu beroperasi 70 persen sepanjang tahun, maka total
energi yang dapat dihasilkan adalah 987 tera watt hours (TWh), jauh
melebihi konsumsi listrik nasional yang pada 2011 sebesar 158 TWh.
Selain itu, masih ada energi matahari dengan potensi
rata-rata nasional 1.700 kWh/m2 (per tahun). Di beberapa wilayah
Indonesia, besarnya potensi ini bisa mencapai 2.000 kWh/ m2. Angka ini
maksudnya, jika kita mempunyai panel surya dengan efisiensi 100 persen
seluas satu meter persegi, maka dalam waktu satu tahun akan menghasilkan
energi listrik sebesar 2.000 kWh (rata-rata konsumsi kelas menengah per
tahun).
Namun, karena kebanyakan modul surya memiliki efisiensi tidak lebih dari
20 persen maka untuk menghasilkan energi setara 2000 kWh (per tahun),
dibutuhkan modul seluas 5 m2. Ini juga berarti, hanya dibutuhkan
rangkaian modul seluas 40 ha untuk menghasilkan energi listrik setara
konsumsi nasional tahun 2011.
Lebih jauh tentang energi matahari, walaupun potensinya
bisa dikatakan paling besar, namun kendala utama dalam pengembangannya
adalah biaya produksi yang relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit
berbahan bakar batu bara atau gas. The
International Renewabale Energy Agency (Irena) dalam laporannya tahun
2013 menyebutkan bahwa biaya pokok penyediaan listrik dari batu bara dan
gas di negara-negara maju 0,06 dolar AS sampai 0,13 dolar AS.
Sedangkan listrik dari energi matahari di Asia
sekitar 0,3 dolar AS per kWh.
Melihat fakta ini, tidak salah rasanya bila pemerintah lebih menggenjot
pengembangan PLTU (batu bara) dan PTLG (gas) dalam rencana jangka pendek
dan menengah kebutuhan listrik nasional.
Namun, yang tidak boleh
dilupakan adalah fleksibilitas Pembangkit Listrik Tenaga Matahari (PLTM)
yang dapat dibangun mulai dari skala kecil sampai skala besar. Sifat fleksibilitas
PLTM ini sangat cocok untuk diaplikasikan ke daerah-daerah kepulauan di
Indonesia bagian timur, atau daerah lainnya yang masih banyak menggunakan
Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD).
Sayangnya, sampai sampai saat ini baru sektor geothermal dan hydro (air) yang didukung oleh
kebijakan pemerintah dalam pengembangannya. Di lain pihak, meskipun
memiliki banyak keunggulan, belum ada payung hukum untuk menstimulasi
pengembangan PLTM di Tanah Air. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar