Jumat, 05 April 2013

Potensi Energi Terbarukan


Potensi Energi Terbarukan
Refi Kunaefi  ;   Mahasiswa Master of Energy and Environment,
Ecole des Mines de Nantes, Prancis
REPUBLIKA, 04 April 2013


Pada 2013 ini pemerintah berencana untuk menaikkan tarif dasar listrik sebesar 15 persen yang akan dilakukan secara berkala. Setelah 1 Januari kenaikan pertama berlaku, per 1 April 2013 pemerintah menaikkan kembali harga listrik sesuai dengan rencana semula. Kenaikan ini tidak berlaku untuk masyarakat kelas bawah dan industri kecil dengan daya terpasang sampai 900 VA (W). 

Meskipun banyak kalangan yang menentang rencana kenaikan TDL ini, terutama sektor industri, namun keberanian pemerintah untuk mengeluarkan kebijakan yang kurang populis ini patut diacungi jempol, setidaknya oleh mereka yang memahami bahwa beban subsidi sudah kelewat besar dan cenderung salah sasaran. Sebagai pengingat, tahun ini pemerintah meng- alokasikan subsidi energi sebesar Rp 274 triliun, dan Rp 81 triliun untuk listrik. 

Keberanian untuk mengontrol beban anggaran ini mutlak diperlukan jika pemerintah serius ingin meningkatkan kesejahteraan masyarakat, dalam arti yang sebenarnya, dengan cara menyediakan akses listrik ke seluruh rakyat Indonesia. Sampai 2011, menurut PLN, rasio elektrifikasi (persentase jumlah penduduk yang mempunyai akses listrik) secara nasional adalah 71 persen.

Ironisnya, infrastruktur yang ada cenderung Jawa-sentris, sehingga jika hampir 75 persen warga di Pulau Jawa dapat menikmati listrik, maka tidak demikian ceritanya untuk Indonesia bagian timur (NTB, NTT, Maluku, Papua). Jadi, alih-alih menghabiskan dana subsidi yang tidak tepat sasaran, anggaran yang tersedia dapat dialokasikan untuk membangun pembangkit dan jaringan baru.
Kemudian, jika pemerintah mengalihkan subsidi untuk pembangunan infrastruktur kelistrikan, ada manfaat lain yang lebih besar dari `sekadar' meningkatkan rasio elektrifikasi. Keuangan negara yang lebih sehat, pendidikan kepada masyarakat untuk hemat energi dan tumbuhnya aktivitas ekonomi yang berujung peningkatan kesejahteraan. 

Selain itu, efek domino pembangunan infrastruktur kelistrikan akan lebih terasa jika pemerintah memberi perhatian lebih pada pengembangan energi terbarukan. Kebanyakan sumber energi jenis ini tidak hanya gratis sepanjang masa, tapi juga bersih dan mendukung pembangunan yang berkelanjutan.
Indonesia merupakan negara dengan sumber energi terbarukan yang melimpah. Berbagai studi dan penelitian menyebutkan bahwa Indonesia mempunyai cadangan geothermal terbesar di dunia, setara 27 gigawatt (gw). Selain itu, ada sumber air (75 gw), angin (9 gw), dan biofuel (50 gw). 

Sayangnya, sampai saat ini kapasitas terpasang pembangkit dari energi terbarukan baru disekitaran 5 gw. Padahal, jika pemerintah mampu mengeksploitasi semua sumber tersebut, dan mengasumsikan semua pembangkit mampu beroperasi 70 persen sepanjang tahun, maka total energi yang dapat dihasilkan adalah 987 tera watt hours (TWh), jauh melebihi konsumsi listrik nasional yang pada 2011 sebesar 158 TWh. 

Selain itu, masih ada energi matahari dengan potensi rata-rata nasional 1.700 kWh/m2 (per tahun). Di beberapa wilayah Indonesia, besarnya potensi ini bisa mencapai 2.000 kWh/ m2. Angka ini maksudnya, jika kita mempunyai panel surya dengan efisiensi 100 persen seluas satu meter persegi, maka dalam waktu satu tahun akan menghasilkan energi listrik sebesar 2.000 kWh (rata-rata konsumsi kelas menengah per tahun).
Namun, karena kebanyakan modul surya memiliki efisiensi tidak lebih dari 20 persen maka untuk menghasilkan energi setara 2000 kWh (per tahun), dibutuhkan modul seluas 5 m2. Ini juga berarti, hanya dibutuhkan rangkaian modul seluas 40 ha untuk menghasilkan energi listrik setara konsumsi nasional tahun 2011.

Lebih jauh tentang energi matahari, walaupun potensinya bisa dikatakan paling besar, namun kendala utama dalam pengembangannya adalah biaya produksi yang relatif lebih mahal dibandingkan pembangkit berbahan bakar batu bara atau gas. The International Renewabale Energy Agency (Irena) dalam laporannya tahun 2013 menyebutkan bahwa biaya pokok penyediaan listrik dari batu bara dan gas di negara-negara maju 0,06 dolar AS sampai 0,13 dolar AS. 

Sedangkan listrik dari energi matahari di Asia sekitar 0,3 dolar AS per kWh.
Melihat fakta ini, tidak salah rasanya bila pemerintah lebih menggenjot pengembangan PLTU (batu bara) dan PTLG (gas) dalam rencana jangka pendek dan menengah kebutuhan listrik nasional. 

Namun, yang tidak boleh dilupakan adalah fleksibilitas Pembangkit Listrik Tenaga Matahari (PLTM) yang dapat dibangun mulai dari skala kecil sampai skala besar. Sifat fleksibilitas PLTM ini sangat cocok untuk diaplikasikan ke daerah-daerah kepulauan di Indonesia bagian timur, atau daerah lainnya yang masih banyak menggunakan Pembangkit Listrik Tenaga Diesel (PLTD). 

Sayangnya, sampai sampai saat ini baru sektor geothermal dan hydro (air) yang didukung oleh kebijakan pemerintah dalam pengembangannya. Di lain pihak, meskipun memiliki banyak keunggulan, belum ada payung hukum untuk menstimulasi pengembangan PLTM di Tanah Air. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar