Eyang
Subur bukanlah pembawa aliran sesat. Selama Adi Bing Slamet- atau
siapa pun selebritas, pebisnis, atau politikus Indonesia-memercayai
kekuatan dan "sabda-sabdanya". Sebenarnya, ia sedang bingung.
Tapi, kebingungan ini bersifat massal dan merupakan problema
psikososiospiritual yang tersembunyi dalam lanskap praktik beragama,
berkeimanan, dan berspiritualitas dalam masyarakat Muslim di Tanah
Air.
Dari
sisi antropologis, baik dari subkelas santri, priyayi, dan terutama
abangan memiliki pautan dengan dunia klenik dalam taraf tertentu. Inilah
potret buram, ironis, anomali dalam negeri yang sering yang dinisbatkan
negeri Muslim terbesar di muka bumi.
Peristiwa
yang sedang melanda selebritas kawakan Adi Bing Slamet, atraktif dan
renyah menjadi santapan publik karena menjadi bukti nyata tentang
realitas "dunia hitam" yang melatari "dunia terang"
industri pop. Harus diakui, alam pikir manusia Indonesia tak steril
dari mitos. Adi Bing Slamet tak cuma piawai bermain peran dalam film atau
bernyanyi, ia juga menjadi representasi yang baik bagi manusia Indonesia
yang berada dalam kebingungan.
Fenomena
pada diri Adi Bing Slamet membuka potret kelabu individu, insan, atau
hamba pemeluk agama dan pemilik Tuhan yang justru tidak pernah menjadikan
agama dan Tuhannya berimanensi dalam kehidupan. Dalam konsepsi filsafat
ketuhanan, Tuhan yang imanen adalah Tuhan yang berada di dalam struktur
alam semesta serta turut mengambil peran dalam proses-proses kehidupan
manusia atau hamba-hamba-Nya.
Sebelum
berbalik arah menyerang Eyang Subur, Adi Bing Slamet mengabaikan
keyakinan kepada Tuhan dan mengabaikan Tuhan itu sendiri serta
menggantinya dengan figur seorang manusia yang berdimensi fisis--berdarah
dan berdaging--yang berjuluk guru spiritual. Imanensi yang semestinya
ditujukan kepada sifat dan tindakan Tuhan telah ia gadai kepada seorang
manusia biofisiologis yang bernama Eyang Subur itu.
Kebingungan Iman
Fakta
dan fenomena tak sejalurnya keimanan verbal dan keimanan praktis adalah
sesuatu yang massal. Fakta ini tak hanya terjadi pada Adi Bing
Slamet.
Pada komunitas Muslim di Tanah Air, fenomena ini masih banyak
menyembul.
Pertanyaan yang penting untuk diajukan: Mengapakah ketidakselarasan
iman verbal dan praktis itu terjadi?
Jawabnya
singkat dan lugas: Bingung. Ini adalah sejenis kebingungan iman. Ini
bukan kebingungan agama karena Adi Bing Slamet menyatakan dan telah
menampilkan diri sebagai pemeluk agama, yakni Islam. Tapi, fakta religio-psikososiologis
di Indonesia, kebingungan iman masih banyak melanda individu yang sudah
tak bingung agama.
Memeluk
agama, tapi tak `memeluk' iman. Itulah potret buram inner world sebagian
manusia-manusia beragama di Indonesia. Iman kehilangan orientasi
spiritual. Pada diri Adi Bing Slamet, kita bisa menemukan kebingungan
ini. Adi Bing Slamet merasa perlu untuk menjalin hubungan dan meyakini
ajaran Eyang Subur karena ia merasa mendapatkan jalan gelap dari
menjalankan ajaran agama doktrin yang ia terima.
Kegerahan
Adi Bing Slamet ini persis kegerahan spiritual yang dalam banyak kasus
melanda sebagian masyarakat di Barat. Masyarakat Barat yang dahaga
spiritual merasa sudah sampai di titik bahwa iman tak berdigdaya. Tak
sedikit dari masyarakat Barat yang haus spiritualitas berlari dari
imannya dan akhirnya menemukan--semisal--praktik yoga yang dirasakan
indah dan lebih efektif, meski yoga tidak punya basis ketuhanan yang
sahih.
Selayaknya
manusia yang waras dan sehat, Adi Bing Slamet pasti menginginkan
kesuksesan hidup yang dijalani dengan cara beragama yang efektif. Tapi,
tampaknya ia gagal mengaspirasikan ini semua melalui jalur agama doktrinal.
Karena alasan inilah ia pun akhirnya juga berlari dari imannya sendiri
hingga akhirnya menemukan ajaran dukun Eyang Subur.
Fenomena
pada diri Adi Bing Slamet menggambarkan iman doktrinal yang tidak
bekerja. Sebuah iman yang tak berkedigdayaan. Sosok Eyang Subur di mata
Adi Bing Slamet tampak lebih efektif dan mampu memberi kepastian.
Merasa menemukan apa yang dicarinya, Adi Bing Slamet pun tak berat hati
meyakini segala sesuatu
dari si eyang. Pada titik ini, Adi Bing
Slamet bisa dikatakan sedang mengimani Eyang Subur. Di titik ini, karena
konstruksi persepsi atas kedigdayaan sang guru telah terbangun dengan
kokoh, si murid pun akan dengan mudah menyingkirkan iman Islamnya yang
terasa mandul dan tak efektif.
Pada
situasi seperti ini, bisa dipahami, Adi Bing Slamet terpesona dengan
kekuatan seorang dukun. Adi Bing Slamet telah melalui apa yang disebut faith shifting. Iman Adi bergesar
kepada manusia. Iman yang sejatinya untuk Tuhan yang bersifat
supramaterial dialihkan kepada manusia yang material.
Apa yang terjadi pada Adi bisa terjadi pada siapa saja orang
beragama.
Iman yang tidak efektif ingin mencari pelindung yang lebih efektif. Tuhan
diduakan dengan manusia. Dalam teologi Islam, ini dikenal dengan syirik.
Agama sekadar formal.
Namun,
kisah laku dan syirik Adi Bing Slamet pada akhirnya berakhir dengan
dramatis. Ia berbalik menentang si dukun dengan kembali kepada iman Islam
setelah menemukan "pepesan kosong" ajaran sang eyang. Dan,
tidak perlu disebut keajaiban bila peperangan iman ini dimenangkan oleh
Adi Bing Slamet. Adi Bing Slamet yang berada di "kekuatan putih"
dengan amat mudah menaklukkan "kekuatan hitam" sang mantan guru
spiritualnya itu. Pada titik ini, Adi telah kembali di jalan yang benar
di mana Allah SWT berimanensi dan berperan secara riil membantu
perlawanannya.
Adi
Bing Slamet telah menempuh jalan berliku untuk menjadi orang yang beriman
yang sejati. Sebagai mukmin baru yang sejati, Adi Bing Slamet niscaya
akan senantiasa dibela oleh kedigdayaan Allah SWT secara langsung.
Kedigdayaan riil Tuhan akan selalu membantu Adi Bing Slamet memenangi
peperangan iman.
Bagi siapa saja dilanda bingung dan
ingin memenangi peperangan iman di dalam dirinya, perlu untuk belajar
dari kasus Adi Bing Slamet ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar