Jumat, 05 April 2013

Aliran Bingung


Aliran Bingung
Setiyo Purwanto ;   Dosen Fakultas Psikologi
Universitas Muhammadiyah Surakarta (UMS)
REPUBLIKA, 04 April 2013


Eyang Subur bukanlah pembawa aliran sesat. Selama Adi Bing Slamet- atau siapa pun selebritas, pebisnis, atau politikus Indonesia-memercayai kekuatan dan "sabda-sabdanya". Sebenarnya, ia sedang bingung. Tapi, kebingungan ini bersifat massal dan merupakan problema psikososiospiritual yang tersembunyi dalam lanskap praktik beragama, berkeimanan, dan berspiritualitas dalam masyarakat Muslim di Tanah Air. 

Dari sisi antropologis, baik dari subkelas santri, priyayi, dan terutama abangan memiliki pautan dengan dunia klenik dalam taraf tertentu. Inilah potret buram, ironis, anomali dalam negeri yang sering yang dinisbatkan negeri Muslim terbesar di muka bumi. 

Peristiwa yang sedang melanda selebritas kawakan Adi Bing Slamet, atraktif dan renyah menjadi santapan publik karena menjadi bukti nyata tentang realitas "dunia hitam" yang melatari "dunia terang" industri pop. Harus diakui, alam pikir manusia Indonesia tak steril dari mitos. Adi Bing Slamet tak cuma piawai bermain peran dalam film atau bernyanyi, ia juga menjadi representasi yang baik bagi manusia Indonesia yang berada dalam kebingungan. 

Fenomena pada diri Adi Bing Slamet membuka potret kelabu individu, insan, atau hamba pemeluk agama dan pemilik Tuhan yang justru tidak pernah menjadikan agama dan Tuhannya berimanensi dalam kehidupan. Dalam konsepsi filsafat ketuhanan, Tuhan yang imanen adalah Tuhan yang berada di dalam struktur alam semesta serta turut mengambil peran dalam proses-proses kehidupan manusia atau hamba-hamba-Nya. 

Sebelum berbalik arah menyerang Eyang Subur, Adi Bing Slamet mengabaikan keyakinan kepada Tuhan dan mengabaikan Tuhan itu sendiri serta menggantinya dengan figur seorang manusia yang berdimensi fisis--berdarah dan berdaging--yang berjuluk guru spiritual. Imanensi yang semestinya ditujukan kepada sifat dan tindakan Tuhan telah ia gadai kepada seorang manusia biofisiologis yang bernama Eyang Subur itu. 

Kebingungan Iman

Fakta dan fenomena tak sejalurnya keimanan verbal dan keimanan praktis adalah sesuatu yang massal. Fakta ini tak hanya terjadi pada Adi Bing Slamet.
Pada komunitas Muslim di Tanah Air, fenomena ini masih banyak menyembul.
Pertanyaan yang penting untuk diajukan: Mengapakah ketidakselarasan iman verbal dan praktis itu terjadi?

Jawabnya singkat dan lugas: Bingung. Ini adalah sejenis kebingungan iman. Ini bukan kebingungan agama karena Adi Bing Slamet menyatakan dan telah menampilkan diri sebagai pemeluk agama, yakni Islam. Tapi, fakta religio-psikososiologis di Indonesia, kebingungan iman masih banyak melanda individu yang sudah tak bingung agama. 

Memeluk agama, tapi tak `memeluk' iman. Itulah potret buram inner world sebagian manusia-manusia beragama di Indonesia. Iman kehilangan orientasi spiritual. Pada diri Adi Bing Slamet, kita bisa menemukan kebingungan ini. Adi Bing Slamet merasa perlu untuk menjalin hubungan dan meyakini ajaran Eyang Subur karena ia merasa mendapatkan jalan gelap dari menjalankan ajaran agama doktrin yang ia terima. 

Kegerahan Adi Bing Slamet ini persis kegerahan spiritual yang dalam banyak kasus melanda sebagian masyarakat di Barat. Masyarakat Barat yang dahaga spiritual merasa sudah sampai di titik bahwa iman tak berdigdaya. Tak sedikit dari masyarakat Barat yang haus spiritualitas berlari dari imannya dan akhirnya menemukan--semisal--praktik yoga yang dirasakan indah dan lebih efektif, meski yoga tidak punya basis ketuhanan yang sahih. 

Selayaknya manusia yang waras dan sehat, Adi Bing Slamet pasti menginginkan kesuksesan hidup yang dijalani dengan cara beragama yang efektif. Tapi, tampaknya ia gagal mengaspirasikan ini semua melalui jalur agama doktrinal.  Karena alasan inilah ia pun akhirnya juga berlari dari imannya sendiri hingga akhirnya menemukan ajaran dukun Eyang Subur. 

Fenomena pada diri Adi Bing Slamet menggambarkan iman doktrinal yang tidak bekerja. Sebuah iman yang tak berkedigdayaan. Sosok Eyang Subur di mata Adi Bing Slamet tampak lebih efektif dan mampu memberi kepastian.
Merasa menemukan apa yang dicarinya, Adi Bing Slamet pun tak berat hati meyakini segala sesuatu 
dari si eyang. Pada titik ini, Adi Bing Slamet bisa dikatakan sedang mengimani Eyang Subur. Di titik ini, karena konstruksi persepsi atas kedigdayaan sang guru telah terbangun dengan kokoh, si murid pun akan dengan mudah menyingkirkan iman Islamnya yang terasa mandul dan tak efektif. 

Pada situasi seperti ini, bisa dipahami, Adi Bing Slamet terpesona dengan kekuatan seorang dukun. Adi Bing Slamet telah melalui apa yang disebut faith shifting. Iman Adi bergesar kepada manusia. Iman yang sejatinya untuk Tuhan yang bersifat supramaterial dialihkan kepada manusia yang material.
Apa yang terjadi pada Adi bisa terjadi pada siapa saja orang beragama.
Iman yang tidak efektif ingin mencari pelindung yang lebih efektif. Tuhan diduakan dengan manusia. Dalam teologi Islam, ini dikenal dengan syirik. Agama sekadar formal. 

Namun, kisah laku dan syirik Adi Bing Slamet pada akhirnya berakhir dengan dramatis. Ia berbalik menentang si dukun dengan kembali kepada iman Islam setelah menemukan "pepesan kosong" ajaran sang eyang. Dan, tidak perlu disebut keajaiban bila peperangan iman ini dimenangkan oleh Adi Bing Slamet. Adi Bing Slamet yang berada di "kekuatan putih" dengan amat mudah menaklukkan "kekuatan hitam" sang mantan guru spiritualnya itu. Pada titik ini, Adi telah kembali di jalan yang benar di mana Allah SWT berimanensi dan berperan secara riil membantu perlawanannya. 

Adi Bing Slamet telah menempuh jalan berliku untuk menjadi orang yang beriman yang sejati. Sebagai mukmin baru yang sejati, Adi Bing Slamet niscaya akan senantiasa dibela oleh kedigdayaan Allah SWT secara langsung. Kedigdayaan riil Tuhan akan selalu membantu Adi Bing Slamet memenangi peperangan iman.

Bagi siapa saja dilanda bingung dan ingin memenangi peperangan iman di dalam dirinya, perlu untuk belajar dari kasus Adi Bing Slamet ini. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar