Seolah terpengaruh karut
marut persoalan politik dan hukum di negeri ini, sektor ekonomi juga
sedikit meredup. Bank Dunia memprediksi pertumbuhan ekonomi Indonesia
akan mengalami tekanan pada 2013 dan berada pada kisaran 6,2 persen atau
diperkirakan meleset dari target pemerintah (6,8 persen). Target
penerimaan pajak pun meleset dan turut berkontribusi dalam perlambatan
ekonomi. Padahal, pajak adalah sumber utama pendapatan negara sebagaimana
termaktub dalam APBN. Tahun ini pemerintah menargetkan penerimaan dari sektor
pajak sebesar Rp 1.192.9 atau 78,01 persen dari keseluruhan target
pendapatan negara.
Jika tidak ingin terjebak
oleh utang yang kian menggunung sebagai jalan terakhir menutup defisit
APBN, optimalisasi penerimaan pajak harus dilakukan. Sebaliknya, bila
defisit APBN kian membengkak, tak ada pilihan lain kecuali menambah utang
untuk menambal APBN. Tapi, dengan berbagai gejolak internal dan
eksternal, naga-naganya, pemerintah bakal kedodoran mengelola APBN jika
tanpa utang tambahan. Defisit anggaran pada 2013 yang ditetapkan 153,3
triliun rupiah atau 1,65 persen dari PDB bisa jadi melebar.
Tahun ini pemerintah
menargetkan utang baru melalui penerbitan surat berharga negara (SBN)
sebesar 172,8 triliun rupiah dan pembiayaan luar negeri negatif 19,5
triliun rupiah. Total utang outstanding pemerintah Indonesia sampai
Januari 2013 naik Rp 4,33 triliun menjadi Rp 1,979 triliun. Utang
Indonesia meningkat lebih dari 40 persen dalam enam tahun terakhir ini.
Setiap bangsa yang berutang
pasti akan menghadapi masalah, hal ini ditegaskan oleh Thomas Sargent
(2011). Ungkapan peraih nobel ekonomi saat berkunjung ke Indonesia itu
memang terbukti. Utang telah menceburkan Indonesia ke dalam kubangan
masalah. Tak hanya beban moral dan hilang kedaulatan karena harus
mengikuti resep penyembuhan dari si pendonor yang biasanya berupa
kompensasi. Saban tahun, APBN juga tersedot untuk membayar bunga dan
cicilan pokok utang.
APBN seharusnya berorientasi
pada kesejahteraan rakyat, namun karena beban tagihan pokok dan bunga
utang hingga 15 persen, kepentingan rakyat terabaikan. Seperti termaktub
dalam APBN 2013 yang telah disahkan oleh DPR, cicilan bunga dan pokok
utang diperkirakan mencapai Rp 171,7 triliun, atau 15 persen terhadap
belanja pemerintah pusat.
Rinciannya untuk pembayaran bunga
Rp 113,24 triliun dan pokok utang luar negeri sebesar Rp 58,4 triliun.
Lebih besar untuk membayar bunga ketimbang pokok utang. Bahkan, jika
pemerintah berhenti menambah utang mulai tahun ini, kita masih butuh
waktu sekitar 40 tahun untuk melunasi semua utang. Utang telah menyedot
kedaulatan APBN.
Ironisnya, walaupun APBN
terbebani utang namun masih inefisiensi dalam alokasi anggaran. Belanja
pegawai, misalnya, dengan pelayanan lamban dan masih jauh dari kata
memuaskan ekspektasi publik, dalam APBN 2013 justru memperoleh kenaikan
anggaran dua kali lipat menjadi RP 28 triliun. Pembengkakan belanja
pegawai disebabkan oleh skema pensiun PNS yang menjadi tanggungan negara
sejak 2009, bahkan jumlahnya mencapai Rp 74 triliun atau mencapai 35
persen belanja pegawai, ditambah tambahan remunerasi yang diterapkan pada
seluruh K/L di tahun 2013 serta lembaga non struktural yang semakin
menjamur.
Demikian pula kebijakan
subsidi energi yang hari-hari ini membuat pemerintah galau, ternyata juga
salah sasaran. Subsidi BBM, misalnya, lebih kental unsur populis-politis
menyedot APBN hingga Rp 193,8 triliun. Padahal, menurut PT Pertamina
Persero, 74 persen subsidi energi, khsususnya BBM salah sasaran.
Inefisiensi anggaran juga terjadi karena lambannya penyerapan. Mengaca pada
data tahun anggaran 2012, hingga sebulan sebelum pergantian tahun, APBN
baru terserap 70,8 persen.
Seperti yang sudah-sudah, realisasi penyerapan
biasanya terkesan dipaksakan dengan membuat proyek-proyek sistem kebut
semalam dan bahkan rawan korupsi melalui proyek-proyek fiktif.
Bila hal-hal seperti ini
bisa dihilangkan, tentu saja oleh seorang strong leader, maka tak
perlulah kita berutang. Tak harus kita menunda-nunda proyek pembangunan
dengan alasan keterbatasan APBN. Sebab, pada kenyataannya memang banyak
anggaran yang menganggur, tidak tepat sasaran dan lebih mengedepankan
popularitas. Yang paling pelik saat ini adalah soal pembengkakan subsidi
BBM.
Menurut data pemerintah, 74 persen BBM bersubsidi dinikmati oleh
para pengguna mobil pribadi dari orang-orang kaya. Namun, kenyataan
tersebut belum juga membut pemerintah mengambil sikap rasional mengurangi
atau membatasi subsidi. Anggaran subsidi BBM yang mencapai Rp 193,8
triliun sebagaimana ditetapkan dalam APBN, akhirnya menguap percuma. APBN
salah kelola dan malah menjauh dari spirit konstitusi.
Anggaran negara sangat besar
dan terus meningkat dari tahun ke tahun, misalnya, tahun 2013 mencapai Rp
1.683 triliun, dialokasikan hanya untuk pos-pos yang bisa mengungkit
popularitas pemerintah nir kekuatan stimulan ekonomi. Padahal, sejatinya
APBN adalah stimulan fiskal untuk menggerakkan sektor-sektor ekonomi
rakyat. Fungsionalisasi sebagaimana spirit konstitusi hanya bisa tercapai
bila sejak awal APBN didisain tidak defisit demi menghindari jebakan
utang.
Proyek-proyek negara yang
dibangun dengan utang tak ubahnya perangkap gali lubang tutup lubang.
Konsekuensinya, perlahan-lahan sumber daya dalam negeri dikeruk sebagai
bagian dari konsesi utang tersebut. Inilah satu asal muasal petaka yang
disebut mantan Wakil Ketua Senior Ekonom Kepala Bank Dunia Joseph E
Stiglitz (2006) sebagai "Kutukan Sumber Daya Alam". Padahal,
anggaran semestinya diprioritaskan untuk mendorong sektor-sektor hajat
hidup rakyat banyak. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar