Dulu, ketika kurs dollar AS Rp
2.500 dan pendapatan negara dari BBM booming, kita tidak berhasil
membangun sistem angkutan umum massal di kota-kota di Tanah Air.
Kini, situasi sudah lain. Dilema
subsidi BBM membuat defisit anggaran membengkak, kapasitas fiskal untuk
belanja modal semakin terbatas. Sekalipun subsidi BBM dihapus, tanpa
inovasi kebijakan fiskal yang berpihak, sulit membayangkan bagaimana kita
dapat membangun sistem angkutan umum massal (SAUM) secara merata di
kota-kota besar di Tanah Air.
Masih Menggantung
MRT Jakarta saja masih
menggantung alias ”masih rapat terus”. Ada apa dan apa yang salah?
Monorel sama saja, masih mangkrak! Mengapa? Alasan singkatnya,
proyek-proyek itu tak disiapkan secara matang dan/atau kapasitas lembaga
eksekutornya tidak siap mengimplementasikannya.
Kegagalan pembangunan SAUM
perkotaan mencerminkan kegagalan proses demokrasi. Sebab, mekanisme
perencanaan dan pengambilan keputusan tidak memungkinkan terakomodasinya
tuntutan mayoritas penduduk kota yang mendambakan pelayanan angkutan umum
yang layak, baik sebagai pejalan kaki, pengguna angkutan umum, maupun
pengendara sepeda. Di satu sisi, para pembuat kebijakan sudah sangat
khawatir terhadap tingkat pertumbuhan kemacetan dan polusi, tetapi di
sisi lain kebijakan transportasi kota masih terus mendorong pemilikan dan
penggunaan kendaraan pribadi (mobil dan sepeda motor).
Investasi infrastruktur SAUM
sangatlah padat modal dan pada umumnya dianggap tertanam (sunk cost), tak
perlu dikembalikan. Bagi negara berkembang, investasi ini sering kali
memerlukan pinjaman luar negeri jangka panjang dengan bunga rendah.
Ketika bus atau kereta api dioperasikan, juga dibutuhkan subsidi agar
berkelanjutan.
Sebagai proyek sektor sosial,
tarif harus tetap terjangkau. Mengandalkan pendapatan dari tarif dan
properti saja tidaklah mungkin menutupi keseluruhan biaya operasi. Karena
itu, menyiapkan proposal pengoperasian SAUM yang viable dan bankable
bukanlah hal mudah jika tanpa dukungan pemerintah.
Namun, terlepas dari semua
tantangan itu, SAUM wajib dan harus tetap dibangun, khususnya di
koridor-koridor yang memiliki pergerakan orang yang tinggi dan padat
penduduk. Tak dapat dibayangkan apa yang akan terjadi nanti terkait makin
parahnya dampak urbanisasi penduduk ke perkotaan. Tanpa keberadaan SAUM
yang andal di kemudian hari, vitalitas bisnis kota dipastikan mandek dan
mati pelan-pelan. Kota dengan populasi lebih dari satu juta jiwa sudah
pantas memiliki angkutan umum massal bus, dan jika berpenduduk lebih dari
tiga juta pantaslah memiliki SAUM berbasis rel.
Realisasi SAUM perkotaan kita
sungguh sudah sangat terlambat. Masalah utamanya masih berkutat soal
pendanaan. Sebelum pemerintah pusat dan daerah bersama-sama mencurahkan
dana yang berkecukupan untuk pengembangan SAUM, pelayanan angkutan umum
akan terus penuh sesak, tidak aman, tidak andal, dan tidak nyaman.
Inovasi Kebijakan
Dengan keterbatasan anggaran
publik, sumber pendanaan tambahan harus diadakan lewat inovasi fiskal.
Sebut saja dana khusus transportasi kota. Dana khusus ini dapat dihimpun
dari beragam sumber dan pihak yang baik secara langsung maupun tidak
langsung turut menikmati manfaat adanya pelayanan angkutan umum.
Modelnya bisa diwujudkan dalam
beragam bentuk. Pemilik lahan, properti, dan bisnis serta retail di
sepanjang jalur dan stasiun SAUM dapat dikenai bea untuk menutupi
sebagian biaya operasi angkutan umum. Juga sumber lewat prinsip ”yang buat polusi bayar”, seperti fuel levy (bea lain selain pajak
BBM), jalan berbayar (road pricing),
dan pajak karbon. Semua itu memang masih terasa amat asing sehingga perlu
diatur dan disosialisasikan dalam kebijakan fiskal.
Perancis dan Jepang termasuk
negara yang berhasil memanfaatkan beragam pendanaan ini dalam
pengembangan angkutan massal mereka. Di Amerika Serikat, di tengah krisis
global saat ini, timbul kesadaran untuk mengembangkan angkutan umum
massal. Namun, upaya meniru dan mengembangkan kebijakan pendanaan SAUM
ala Perancis ini masih terus diupayakan dan berlanjut di negeri ”Paman
Sam”. Banyak negara lain di dunia telah menggunakan inovasi fiskal untuk
membiayai transportasi publik mereka. Dana disimpan ke dalam akun escrow
yang dikelola badan fiskal bersama otoritas transportasi kota.
Pendapatan dari bea-bea tersebut
akan ditujukan khusus untuk perbaikan kondisi transportasi perkotaan,
termasuk memelihara jalan, fasilitas pejalan kaki dan bersepeda, termasuk
fasilitas pelayanan bus dan angkutan umum berbasis rel. Kita semua sangat
berharap kepada Kementerian Keuangan melalui Badan Kebijakan Fiskal untuk
memulai mengagendakan secara serius upaya-upaya ekstensifikasi pajak dan
retribusi bagi pemberdayaan angkutan umum. Hanya dengan upaya itu, kita
dapat menghindari pemeo klasik bahwa MRT singkatan dari ”masih rapat terus”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar