Negara
mana yang sangat penting untuk dikenali oleh Indonesia? Apakah negara
terkaya di dunia? Negara yang terkuat militernya? Atau justru
negaranegara yang kita kagumi?
Melalui
pertanyaan itu, saya mengajak untuk mengubah cara pandang kita dengan
tidak lagi mengarahkan pandangan ke negara-negara “besar”, tetapi justru
ke negara-negara yang mau meneladani Indonesia. Kesimpulan tersebut
berangkat dari kearifan lokal leluhur yang mengatakan bahwa ketika kita
beranjak dewasa maka saudara kita adalah mereka yang ada di sekitar kita,
termasuk para tetangga.
Dalam
kehidupan bernegara, pesan tersebut sebenarnya relevan untuk diingat.
Ketika hubungan dengan negara tetangga baik, niscaya damai juga kehidupan
kita. Tetapi ketika tetangga menjadi musuh, kepentingan kita pun akan
tersendat. Untuk Indonesia, “saudara” terdekat kita salah satunya adalah
Malaysia. Tidak hanya karena kita berbagi perbatasan darat dan laut yang
cukup panjang, sebagian orang Indonesia berasal dari rumpun ras yang sama
dengan penduduk Malaysia.
Artinya
kebiasaan, bahasa, kuliner, bahkan cara pikir antara kita serupa. Selain
itu, sejumlah penduduk Malaysia adalah keturunan orang-orang Indonesia
yang memutuskan untuk menetap di negeri jiran, artinya mereka adalah
diaspora Indonesia di Malaysia. Contoh terbesarnya adalah Perdana Menteri
Malaysia Najib Razak yang berkuasa saat ini. Ia memiliki darah bangsawan Makassar
dari Sultan Hasanuddin, sultan Makassar terakhir di Gowa.
Salah satu
bukti kecil bahwa Nusantara jauh lebih besar wilayah Indonesia sekarang
ini. Jadi, kita boleh saling berbeda pendapat, bahkan saling sakit hati,
tetapi kedekatan fisik dan historis antarbangsa adalah takdir yang tak
bisa dipungkiri. Lebih menarik lagi karena saat ini Malaysia sedang
bergumul dengan “masalah” yang pernah ditangani Indonesia dengan baik,
yakni menjalani pemilu demokratis. Pemilu secara formal-prosedur memang
bukan hal asing di Malaysia.
Mereka sudah
berkali- kali melakukan pemilu. Namun, yang istimewa pada pemilu
mendatang adalah karena kali ini publik dapat merasakan ketidakpastian
akan siapa yang akan memenangi pemilu itu. Koalisi partai berkuasa,
Barisan Nasional, ataupun koalisi partai oposisi, Pakatan Rakyat,
samasama mengklaim akan menang. Desas-desus yang beredar justru bahwa
Barisan Nasional yang telah berkuasa puluhan tahun merasa kurang percaya
diri.
Hal ini
ditandai dengan periode parlemen sekarang ini yang berjalan 11 bulan
lebih lama daripada parlemen-parlemen sebelumnya. Perbincangan yang
beredar bukan lagi tentang apakah kelompok oposisi yang digawangi mantan
Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim akan mengalahkan popularitas
kelompok berkuasa, melainkan tentang bagaimana kelompok berkuasa mau
berbesar hati bila kehilangan kursi mayoritas di parlemen.
Perlu
diketahui sistem pemilu di Malaysia menganut sistem multipartai dengan
prinsip first-past-the-post.
Artinya partai dengan suara terbanyak akan memiliki hak istimewa untuk
mencalonkan perdana menteri. Di sinilah titik kegelisahan politisi dan
publik di Malaysia. Pihak oposisi memang makin keras gaungnya, tetapi
mereka tidak tergabung dalam satu koalisi yang solid. Koalisi Pakatan
Rakyat bersifat longgar, sekadar untuk mempersatukan suara menjelang
pemilu.
Apakah mereka
akan tetap kompak pasca pemilu, itu masih tanda tanya besar. Ini mirip
dengan pengalaman Indonesia membentuk Poros Tengah. Cara itu terbukti
ampuh menggerakkan sejumlah partai untuk memadukan langkah dan hal ini
dicontoh pula di Malaysia. Bedanya dengan Indonesia, koalisi oposisi di
Malaysia terdiri atas kelompok-kelompok yang sesungguhnya sangat
berseberangan dalam ideologi.
Koalisi
Pakatan Rakyat terdiri atas Partai Keadilan Rakyat yang dipimpin oleh
Anwar Ibrahim, Partai Islam Pan-Malaysia, dan Partai Aksi Demokrasi yang
berideologi sosialis dan didukung oleh sejumlah pemilih keturunan China.
Masing- masing sebenarnya sulit disatukan misinya karena garis
ideologinya jelas berbeda-beda.
Dalam
manifesto politiknya, koalisi ini menggugat model kepemimpinan Barisan
Nasional yang elitis, terpaku pada kebijakan atas dasar ras, dan terpusat
pada pembangunan di Semenanjung Malaya (dan melupakan wilayah Sabah dan
Serawak). Bagi yang sudah pernah ke Malaysia, Anda akan bisa merasakan
betul mengapa koalisi Pakatan Rakyat mengangkat fokus tersebut.
Kebijakan apa
pun cenderung dibuat hanya oleh elit politik dan melibatkan pembagian
jatah antara ras Melayu, India, China. Politik segregasi yang dipelajari
dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris. Yang mendapatkan keutamaan
selalu kelompok Melayu. Daerah Sabah dan Serawak terbilang tertinggal,
baik dari segi infrastruktur, kualitas hidup, maupun akses politik. Tanpa
desakan untuk berubah di bidang-bidang ini, maka kelompok oposisi akan
terus kerdil.
Di sisi lain,
pihak pemerintah terus menerus menekankan pada perlunya kesinambungan
dalam pemerintahan. Menghadapi kritik soal kualitas hidup, pemerintah
merespons dengan janji menurunkan harga mobil, menurunkan pajak, dan
meningkatkan subsidi. Menghadapi kritik seputar elitisme, pemerintah
mengajak masyarakat sipil untuk ikut memantau pemilu, bahkan tak segan
mengundang lima negara untuk memantau pemilu 2013 (yakni Indonesia,
Thailand, Filipina, Kamboja, dan Myanmar).
Artinya
kelompok Barisan Nasional menyadari kebutuhan untuk berubah, namun lebih
senang berubah dalam langkahlangkah kecil. Dalam beberapa tahun terakhir,
pemerintahan dianggap lalai dalam menangani kerusuhan antaretnis dan umat
beragama. Banyak pihak menduga pengabaian itu sebagai cara untuk mengambil
dukungan dari kelompok mayoritas muslim dan mengurangi kekuatan partai
Islam oposisi.
Bagi
Indonesia, seluruh perkembangan di Malaysia ini penting dicermati. Bila
saudara serumpun kita itu mulai membuka diri untuk demokrasi seperti
halnya yang terjadi di Myanmar, perubahan itu baik untuk kerja sama
kawasan ke depan. Malaysia mungkin perlu menyadari bahwa demokrasi yang
bebas, jujur, dan adil telah menjadi tren dan diadopsi oleh
saudara-saudara lain di ASEAN meski tidak sebebas yang dibayangkan.
Malaysia yang
paham nilai-nilai demokrasi pastilah lebih baik untuk Indonesia dan ASEAN
ketimbang yang tertutup dan kaku. Indikator sederhana untuk Malaysia yang
lebih demokratis adalah apabila Malaysia lebih membuka diri bagi dunia
pers yang lebih independen dan menjunjung kebebasan berpendapat dan
berkelompok bagi warga Malaysia. Dengan pers yang independen dan
kelompok-kelompok masyarakat sipil, lebih luas pula peluang mendiskusikan
hal-hal seputar perlindungan hak dan kerjasama berbasis prinsip partisipasi
secara terbuka dan berimbang.
Karena
prosesnya boleh gaduh dan terbuka untuk publik, mudah-mudahan sejumlah
urusan kerja sama ekonomi dan sosial-budaya antarsaudara serumpun ini
bisa lebih mudah mendapatkan titik temu. Apakah hal ini bisa didorong
oleh Indonesia? Tentu bisa, dan mungkin tidak menggurui seperti kebiasaan
negara-negara Barat. Kita dapat melakukannya dengan semakin mendewasakan
diri dalam demokrasi dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi kita.
Kita dapat
memberi contoh prinsip pertumbuhan ekonomi dulu, baru demokrasi, tidak
lagi cocok dengan perkembangan zaman saat ini. Karena keinginan mereka
untuk bersaing dengan Indonesia cukup tinggi, hal-hal yang dianggap
terbukti memperkuat kinerja dan dukungan bagi Indonesia dipastikan akan
diadopsi juga oleh mereka. Konfrontasi yang terjadi selama ini antara
Indonesia dan Malaysia harus diletakkan dalam konteks hubungan dua negara
yang memiliki toleransi demokrasi yang berbeda.
Dengan
demikian, kita dapat memahami tindakan-tindakan Malaysia yang provokatif
selama ini sebagai cerminan dari dinamika politik dalam negerinya yang
masih tertutup dan anti terhadap kritik. Sebaliknya, Indonesia perlu
menyadari potensi Malaysia sebagai mitra strategis dalam pengembangan
infrastruktur (listrik, jalan, air) dan hutan untuk kawasan Kalimantan
dan Indonesia bagian timur.
Kita berbagi
sungai dan perbatasan darat yang besar di sana, dan karenanya masyarakat
setempat terbilang akrab. Jika sampai pecah keributan di sana, tentu
kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya. Dari segi konektivitas,
kita perlu mengembangkan kerjasama maritim yang lebih baik di Laut China
Selatan dengan mengembangkan kerja sama di pantai-pantai sekitar kawasan
itu. Kekayaan laut di sana perlu diarahkan sebagai perekat hubungan dan
bukannya pemisah antara kedua negara serumpun ini. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar