Rabu, 10 April 2013

Menjadikan Diri sebagai Teladan


Menjadikan Diri sebagai Teladan
Dinna Wisnu  ;  Co-Founder & Direktur Pascasarjana Bidang Diplomasi, 
Universitas Paramadina
KORAN SINDO, 10 April 2013

  
Negara mana yang sangat penting untuk dikenali oleh Indonesia? Apakah negara terkaya di dunia? Negara yang terkuat militernya? Atau justru negaranegara yang kita kagumi?

Melalui pertanyaan itu, saya mengajak untuk mengubah cara pandang kita dengan tidak lagi mengarahkan pandangan ke negara-negara “besar”, tetapi justru ke negara-negara yang mau meneladani Indonesia. Kesimpulan tersebut berangkat dari kearifan lokal leluhur yang mengatakan bahwa ketika kita beranjak dewasa maka saudara kita adalah mereka yang ada di sekitar kita, termasuk para tetangga. 

Dalam kehidupan bernegara, pesan tersebut sebenarnya relevan untuk diingat. Ketika hubungan dengan negara tetangga baik, niscaya damai juga kehidupan kita. Tetapi ketika tetangga menjadi musuh, kepentingan kita pun akan tersendat. Untuk Indonesia, “saudara” terdekat kita salah satunya adalah Malaysia. Tidak hanya karena kita berbagi perbatasan darat dan laut yang cukup panjang, sebagian orang Indonesia berasal dari rumpun ras yang sama dengan penduduk Malaysia. 

Artinya kebiasaan, bahasa, kuliner, bahkan cara pikir antara kita serupa. Selain itu, sejumlah penduduk Malaysia adalah keturunan orang-orang Indonesia yang memutuskan untuk menetap di negeri jiran, artinya mereka adalah diaspora Indonesia di Malaysia. Contoh terbesarnya adalah Perdana Menteri Malaysia Najib Razak yang berkuasa saat ini. Ia memiliki darah bangsawan Makassar dari Sultan Hasanuddin, sultan Makassar terakhir di Gowa. 

Salah satu bukti kecil bahwa Nusantara jauh lebih besar wilayah Indonesia sekarang ini. Jadi, kita boleh saling berbeda pendapat, bahkan saling sakit hati, tetapi kedekatan fisik dan historis antarbangsa adalah takdir yang tak bisa dipungkiri. Lebih menarik lagi karena saat ini Malaysia sedang bergumul dengan “masalah” yang pernah ditangani Indonesia dengan baik, yakni menjalani pemilu demokratis. Pemilu secara formal-prosedur memang bukan hal asing di Malaysia. 

Mereka sudah berkali- kali melakukan pemilu. Namun, yang istimewa pada pemilu mendatang adalah karena kali ini publik dapat merasakan ketidakpastian akan siapa yang akan memenangi pemilu itu. Koalisi partai berkuasa, Barisan Nasional, ataupun koalisi partai oposisi, Pakatan Rakyat, samasama mengklaim akan menang. Desas-desus yang beredar justru bahwa Barisan Nasional yang telah berkuasa puluhan tahun merasa kurang percaya diri. 

Hal ini ditandai dengan periode parlemen sekarang ini yang berjalan 11 bulan lebih lama daripada parlemen-parlemen sebelumnya. Perbincangan yang beredar bukan lagi tentang apakah kelompok oposisi yang digawangi mantan Deputi Perdana Menteri Anwar Ibrahim akan mengalahkan popularitas kelompok berkuasa, melainkan tentang bagaimana kelompok berkuasa mau berbesar hati bila kehilangan kursi mayoritas di parlemen. 

Perlu diketahui sistem pemilu di Malaysia menganut sistem multipartai dengan prinsip first-past-the-post. Artinya partai dengan suara terbanyak akan memiliki hak istimewa untuk mencalonkan perdana menteri. Di sinilah titik kegelisahan politisi dan publik di Malaysia. Pihak oposisi memang makin keras gaungnya, tetapi mereka tidak tergabung dalam satu koalisi yang solid. Koalisi Pakatan Rakyat bersifat longgar, sekadar untuk mempersatukan suara menjelang pemilu. 

Apakah mereka akan tetap kompak pasca pemilu, itu masih tanda tanya besar. Ini mirip dengan pengalaman Indonesia membentuk Poros Tengah. Cara itu terbukti ampuh menggerakkan sejumlah partai untuk memadukan langkah dan hal ini dicontoh pula di Malaysia. Bedanya dengan Indonesia, koalisi oposisi di Malaysia terdiri atas kelompok-kelompok yang sesungguhnya sangat berseberangan dalam ideologi. 

Koalisi Pakatan Rakyat terdiri atas Partai Keadilan Rakyat yang dipimpin oleh Anwar Ibrahim, Partai Islam Pan-Malaysia, dan Partai Aksi Demokrasi yang berideologi sosialis dan didukung oleh sejumlah pemilih keturunan China. Masing- masing sebenarnya sulit disatukan misinya karena garis ideologinya jelas berbeda-beda. 

Dalam manifesto politiknya, koalisi ini menggugat model kepemimpinan Barisan Nasional yang elitis, terpaku pada kebijakan atas dasar ras, dan terpusat pada pembangunan di Semenanjung Malaya (dan melupakan wilayah Sabah dan Serawak). Bagi yang sudah pernah ke Malaysia, Anda akan bisa merasakan betul mengapa koalisi Pakatan Rakyat mengangkat fokus tersebut. 

Kebijakan apa pun cenderung dibuat hanya oleh elit politik dan melibatkan pembagian jatah antara ras Melayu, India, China. Politik segregasi yang dipelajari dari pemerintahan kolonial Kerajaan Inggris. Yang mendapatkan keutamaan selalu kelompok Melayu. Daerah Sabah dan Serawak terbilang tertinggal, baik dari segi infrastruktur, kualitas hidup, maupun akses politik. Tanpa desakan untuk berubah di bidang-bidang ini, maka kelompok oposisi akan terus kerdil. 

Di sisi lain, pihak pemerintah terus menerus menekankan pada perlunya kesinambungan dalam pemerintahan. Menghadapi kritik soal kualitas hidup, pemerintah merespons dengan janji menurunkan harga mobil, menurunkan pajak, dan meningkatkan subsidi. Menghadapi kritik seputar elitisme, pemerintah mengajak masyarakat sipil untuk ikut memantau pemilu, bahkan tak segan mengundang lima negara untuk memantau pemilu 2013 (yakni Indonesia, Thailand, Filipina, Kamboja, dan Myanmar). 

Artinya kelompok Barisan Nasional menyadari kebutuhan untuk berubah, namun lebih senang berubah dalam langkahlangkah kecil. Dalam beberapa tahun terakhir, pemerintahan dianggap lalai dalam menangani kerusuhan antaretnis dan umat beragama. Banyak pihak menduga pengabaian itu sebagai cara untuk mengambil dukungan dari kelompok mayoritas muslim dan mengurangi kekuatan partai Islam oposisi. 

Bagi Indonesia, seluruh perkembangan di Malaysia ini penting dicermati. Bila saudara serumpun kita itu mulai membuka diri untuk demokrasi seperti halnya yang terjadi di Myanmar, perubahan itu baik untuk kerja sama kawasan ke depan. Malaysia mungkin perlu menyadari bahwa demokrasi yang bebas, jujur, dan adil telah menjadi tren dan diadopsi oleh saudara-saudara lain di ASEAN meski tidak sebebas yang dibayangkan. 

Malaysia yang paham nilai-nilai demokrasi pastilah lebih baik untuk Indonesia dan ASEAN ketimbang yang tertutup dan kaku. Indikator sederhana untuk Malaysia yang lebih demokratis adalah apabila Malaysia lebih membuka diri bagi dunia pers yang lebih independen dan menjunjung kebebasan berpendapat dan berkelompok bagi warga Malaysia. Dengan pers yang independen dan kelompok-kelompok masyarakat sipil, lebih luas pula peluang mendiskusikan hal-hal seputar perlindungan hak dan kerjasama berbasis prinsip partisipasi secara terbuka dan berimbang. 

Karena prosesnya boleh gaduh dan terbuka untuk publik, mudah-mudahan sejumlah urusan kerja sama ekonomi dan sosial-budaya antarsaudara serumpun ini bisa lebih mudah mendapatkan titik temu. Apakah hal ini bisa didorong oleh Indonesia? Tentu bisa, dan mungkin tidak menggurui seperti kebiasaan negara-negara Barat. Kita dapat melakukannya dengan semakin mendewasakan diri dalam demokrasi dan hubungannya dengan pertumbuhan ekonomi kita. 

Kita dapat memberi contoh prinsip pertumbuhan ekonomi dulu, baru demokrasi, tidak lagi cocok dengan perkembangan zaman saat ini. Karena keinginan mereka untuk bersaing dengan Indonesia cukup tinggi, hal-hal yang dianggap terbukti memperkuat kinerja dan dukungan bagi Indonesia dipastikan akan diadopsi juga oleh mereka. Konfrontasi yang terjadi selama ini antara Indonesia dan Malaysia harus diletakkan dalam konteks hubungan dua negara yang memiliki toleransi demokrasi yang berbeda. 

Dengan demikian, kita dapat memahami tindakan-tindakan Malaysia yang provokatif selama ini sebagai cerminan dari dinamika politik dalam negerinya yang masih tertutup dan anti terhadap kritik. Sebaliknya, Indonesia perlu menyadari potensi Malaysia sebagai mitra strategis dalam pengembangan infrastruktur (listrik, jalan, air) dan hutan untuk kawasan Kalimantan dan Indonesia bagian timur. 

Kita berbagi sungai dan perbatasan darat yang besar di sana, dan karenanya masyarakat setempat terbilang akrab. Jika sampai pecah keributan di sana, tentu kerugiannya lebih besar daripada keuntungannya. Dari segi konektivitas, kita perlu mengembangkan kerjasama maritim yang lebih baik di Laut China Selatan dengan mengembangkan kerja sama di pantai-pantai sekitar kawasan itu. Kekayaan laut di sana perlu diarahkan sebagai perekat hubungan dan bukannya pemisah antara kedua negara serumpun ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar