Munculnya
berbagai kasus pidana terhadap hubungan dan transaksi bisnis akhir-akhir
ini seperti pada kasus Indosat-IM2, Merpati, dan bioremediasi menimbulkan
polemik di antara pakar dan pemerhati hukum tentang bagaimana penerapan
hukum acara pidana dalam suatu hubungan bisnis yang bersifat perdata.
Itu dalam kaitannya
dengan kasus cost recovery dari
sebuah proyek yang dijalankan oleh kontraktor kontrak kerja sama (KKKS)
sebagai pelaksanaan kontrak kerja sama (production sharing contract/PSC) yang telah disepakati dengan
SKK Migas, yang diduga terjadi penyimpangan seperti proyek fiktif atau
tidak ada pelaksanaannya. Atau pelaksanaannya yang hanya pura-pura yang
dianggap merugikan keuangan negara sehingga dikenai tindak pidana korupsi
telah menimbulkan permasalahan hukum pidana, yakni:
a.
Apakah
permasalahan hukum yang ditimbulkan oleh kontrak kerja sama (KKS) dengan
SKK Migas, termasuk cost recovery,
masuk ke ranah hukum kontrak dan diselesaikan sesuai dengan kontrak atau
masuk ranah hukum pidana tanpa mem pertimbangkan hukum kon trak yang
telah ditandata ngani di antara keduanya?
b.
Apakah dalam UU
No 22/2001 tentang Minyak dan Gas Bumi terdapat ketentuan sebagaimana
dimaksud da lam Pasal 14 UU No 31/1999 yang telah diubah dengan UU No
20/2001 tentang Pem berantasan Tindak Pidana Korupsi, sehingga pelanggar
an atau tindak pidana ter hadap UU 22/2001 tersebut dapat dikenai tindak
pidana korupsi?
Hubungan
Hukum Pidana dan Perdata
Penyelesaian
perselisihan di antara kedua belah pihak yang terkait dengan pelaksanaan
suatu kontrak adalah tunduk kepada hukum kontrak atau hukum perdata.
Maka, hal itu diselesaikan melalui mekanisme yang berlaku dalam hukum
kontrak yang telah disepakati sebelumnya.
Jadi, perbuatan
melawan hukum di bidang keperdataan tersebut sebagai perbuatan persiapan
untuk melaksanakan niat jahat atau niat untuk melakukan tindak pidana
yang dituju. Harus ada dan jelas niat jahat atau niat untuk melakukan
perbuatan pidana yang dituju, yang ditentukan atau dinilai/disimpulkan
berdasarkan serangkaian perbuatan lahir yang dilakukan.
Tindak Pidana Korupsi
Dalam UU Migas
UU No 22/2001 tidak memuat
ketentuan sebagaimana dimuat dalam Pasal 14 UU No 31/1999 yang telah
diubah dengan UU No 20/2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi
yang menyatakan ‘Setiap orang yang melanggar ketentuan UU yang secara
tegas menyatakan bahwa pelanggaran terhadap ketentuan UU tersebut sebagai
tindak pidana korupsi berlaku ketentuan yang diatur dalam UU ini’.
Pelanggaran terhadap UU No
22/2001 yang termasuk kualifikasi tindak pidana dapat dikenai tindak pidana
korupsi apabila dalam UU tersebut secara eksplisit mencantumkan ketentuan
pasal 14. Secara a contrario diartikan bahwa jika tidak mencantumkan isi
ketentuan pasal 14, tindak pidana dalam UU tersebut tidak dapat
dikualifikasikan sebagai tindak pidana korupsi.
Terhadap permasalahan
hukum mengenai penerapan tindak pidana korupsi dalam transaksi bisnis
berupa cost recovery suatu
proyek antara KKKS dan SKK Migas menjadi tidak mungkin dikenakan dengan
alasan:
1. Kontrak tersebut
dilaksanakan dalam rangka melaksanakan UU No 22/2001 dan jika terjadi
pelanggaran yang termasuk kualifi kasi pelanggaran pidana, termasuk tindak
pidana di bidang hukum administrasi sebagaimana diatur dalam pasal 51
sampai dengan pasal 56, bukan tindak pidana korupsi.
2. Jika transaksi
bisnis cost recovery antara KKKS dan SKK Migas dipandang sebagai murni
independen di antara dua rekanan pengusaha yang tidak ada kaitannya/
tidak terkait dengan atau dikaitkan dengan UU No 22/2001, pelanggaran
terhadap kontrak tersebut murni masuk ke ranah hukum perdata, dan
perselisihan dalam bidang hukum perdata yang diselesaikan berdasarkan
hukum kontrak, yakni mekanisme penyelesaian yang telah disepakati dalam
kontrak di antara dua pihak/ pihak-pihak yang menandatangani kontrak
tersebut.
Berdasarkan ketentuan
tersebut, jika pelanggaran UU No 22/2001 yang termasuk kategori
pelanggaran pidana (pasal 51 sampai dengan pasal 56) karena tidak ada
ketentuan Pasal 14 UU tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi dan
pelanggaran KKKS dengan SKK Migas yang termasuk kategori pelanggaran
hukum perdata mengenai kontrak, tidak ada pertimbangan dan alasan hukum
untuk membenarkan pengenaan tindak pidana korupsi dalam pelaksanaan
kontrak di antara dua perusahaan tersebut. Padahal kontrak tersebut sah
dan berlaku mengikat kepada kedua belah pihak, dan memiliki kekuatan
seperti UU bagi yang menandatanganinya.
Jika pihak pertama
dalam suatu kontrak adalah negara atau pemerintah yang bertindak mewakili
atau atas nama negara, sedangkan pihak kedua adalah swasta murni, kemudian
terjadi sengketa pihak pertama dengan pihak kedua. Lalu pihak pertama
menggunakan kekuasaannya dalam bidang penegakan hukum pidana, dalam hal
ini polisi dan/ atau jaksa untuk memproses persengketaan mengenai
pelaksanaan kontrak tersebut dengan pihak kedua, dengan cara menyatakan
terjadinya tindak pidana, menahannya, kemudian mengajukan ke pengadilan
pidana atau pengadilan tindak pidana korupsi. Itu adalah tindakan
sewenang-wenang yang bertentangan dengan prinsip penyelesaian sengketa
atau perselisihan dalam bidang hukum keperdataan, meskipun pihak pertama
adalah negara atau pemerintah. Perbuatan tersebut termasuk sebagai
perbuatan menyalahgunakan wewenang dalam bidang penegakan hukum pidana.
Permasalahan hukum
yang muncul yang bersumber dari pelaksanaan kontrak diselesaikan melalui
mekanisme yang telah disepakati dalam kontrak. Permasalahan hukum
tersebut tidak dapat dikualifi kasikan sebagai tindak pidana, atau dikenai
tindak pidana korupsi.
Pelanggaran UU No
22/2001 yang termasuk kategori pelanggaran pidana (pasal 51 sampai dengan
pasal 56) karena tidak ada ketentuan Pasal 14 UU tentang Pemberantasan
Tindak Pidana Korupsi dan pelanggaran terhadap isi kontrak PSC dengan SKK
Migas yang termasuk kategori hukum perdata mengenai kontrak. Tidak ada
pertimbangan dan alasan hukum untuk membenarkan pengenaan tindak pidana
korupsi dalam pelaksanaan kontrak di antara dua pihak tersebut, padahal
kontrak tersebut sah dan berlaku mengikat kepada kedua belah pihak dan
memiliki kekuatan seperti UU bagi yang menandatanganinya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar