Animo
masyarakat Indonesia (baca: politikus) untuk berpolitik tampaknya selalu tinggi.
Setiap lima tahun sekali, ribuan orang mendaftar menjadi calon anggota
legislatif (caleg) DPR, DPRD, dan DPD. Sebenarnya, bukan hanya menjadi
caleg, animo politikus memasuki arena politik dan menduduki jabatan
politis lainnya juga tidak pernah surut.
Sebut
saja misalnya `lowongan' posisi presiden/wakil presiden dan kepala
daerah, peminatnya tidak pernah sepi. Tetapi sayangnya, animo berpolitik
yang tinggi itu tidak dibarengi dengan modal yang cukup. Kebanyakan di
antara mereka malah cuma bermodal nekat saja. Padahal, untuk
berpolitik, seorang politikus wajib menyediakan modal besar. Dengan modal
besar itulah politikus mendedikasikan hidupnya buat kepentingan rakyat.
Politikus harus mengeluarkan modal untuk politik, bukannya mencari modal
dalam politik. Celakanya, politisi kita kerap menjadikan politik sebagai
lahan pekerjaan. Mereka berpolitik seperti melamar pekerjaan. Motif utamanya adalah
ekonomi, mencari modal hidup.
Politikus Juragan
Modal
berpolitik setidaknya ada lima. Pertama adalah uang. Mengapa demikian?
Biaya politik di negeri ini sangatlah mahal. Untuk menjangkau para
pemilih tentu memerlukan transportasi. Transportasi butuh uang.
Rapat-rapat dengan konstituen dan menyampaikan gagasan di depan mereka
tentu pakai suguhan makan dan minum. Kesemuanya perlu uang. Belum lagi
untuk membeli pelbagai atribut kampanye.
Sistem
pemilihan yang berlaku di republik ini pun makin memperketat persaingan
internal di dalam partai dan persaingan antarpartai. Konsekuensinya,
biaya yang harus dipersiapkan politikus untuk memenangi pertarungan kian
besar. Fenomena pasar politik inilah yang juga membuat ideologi
partai acap kali "tunduk" pada kekuatan uang. Politikus dengan
ideologi partai yang jelas bisa kalah bersaing dengan politikus yang
bermodalkan uang besar.
Kedua,
jaringan sosial yang luas dan terlembagakan. Kalau jaringan itu mampu
berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal
balik, pada gilirannya akan mem berikan dukungan kolektif kepada
politikus bersangkutan. Kebersamaan politikus dan konstituen dalam
membangun program dan kesejahteraan, seraya menumbuhkan ikatan emosional
tentu menjadi faktor determinan dalam mengumpulkan suara pemilih.
Ketiga,
integritas. Modal integritas merujuk pada mutu dan sifat pribadi
politikus yang menunjukkan kesatuan yang utuh. Sehingga, sang politikus
memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Kesatuan dalam hal ini berarti
adanya konsistensi dan keselarasan antara apa yang ia katakan dan apa
yang diperbuat. Malangnya, banyak politikus kita tidak seperti
itu--berintegritas rendah. Kelakuan mereka tidak sesuai dengan yang
dikampanyekan. Mereka malah terjebak dalam kubangan korupsi. Realitas
terjerembabnya sejumlah politikus dalam kubangan korupsi menunjukkan
tidak memadainya cadangan integritas mereka untuk menghadapi godaan
materi yang sangat menggiurkan.
Parahnya
lagi, rakyat sebagai basis legitimasi para politisi tidak mampu
menyemaikan kesadaran bahwa seorang calon pemimpin yang paling layak
dipilih adalah orang yang integritasnya jelas dan terukur. Akhirnya, yang
muncul adalah politikus juragan yang memahami politik sebagai investasi
material, atau politikus iklan yang hanya bermodalkan citra hasil kemasan
media.
Ketangguhan Politikus
Keempat,
pendidikan. Memperjuangkan kepentingan rakyat dengan predikat politikus
perlu sedikit melebihkan usaha dari orang kebanyakan. Terutama dalam
kualifikasi pendidikan. Pendidikan memang bukanlah jaminan seseorang akan
memiliki kompetensi yang mumpuni dan amanah. Namun, pendidikan adalah
modal penting. Politikus harus mampu menyelaraskan pendidikan yang diperolehnya
dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai politikus. Bagaimana mungkin ia
mampu membuat undang-undang atau peraturan daerah kalau tidak mengetahui
seluk-beluk legal drafting?
Politikus
juga harus memiliki communication
skill, budgeting skill, dan teknik lobbying. Kesemuanya tentu diperoleh melalui pendidikan, baik
itu formal, informal, maupun nonformal.
Kelima,
mental. Dalam politik dikenal ungkapan "tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan."
Guna menggapai kepentingan itu kerap segala cara dihalalkan. Dunia
politik dikenal sarat dengan trik, tipu muslihat, dan saling
menghabisi. Politisi juga acap dikesankan sebagai sosok yang kotor,
penipu, egois, dan kesan negatif lainnya. Untuk itu, politikus harus siap
mental atas semua cap yang diberikan. Politikus juga wajib tahan mental
untuk tidak menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Etika politik tetap
dikedepankan.
Memang,
jalan meraih ke kuasaan melalui permainan politik tidaklah gampang.
Politikus juga harus siap kalah, sakit, dan menderita. Dalam konteks ini,
modal mental yang tangguh sangatlah dibutuhkan. Jika mental tidak
tangguh, dijamin politikus bakal stres berat, bahkan gila! Yuli Nursanto
adalah contoh nyata politikus yang masuk rumah sakit jiwa akibat tidak
siap mental ketika kalah dalam pemilukada 2008 di Ponorogo. Jadi,
peringatan buat para politikus yang ingin berpolitik. Jika Anda tidak
punya lima modal di atas, jangan coba-coba berpolitik. Sebaiknya urungkan
niat berpolitik. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar