Kamis, 25 April 2013

Modal Berpolitik


Modal Berpolitik
Moh Ilham A Hamudy ;  Peneliti di BPP Kementerian Dalam Negeri
REPUBLIKA, 24 April 2013


Animo masyarakat Indonesia (baca: politikus) untuk berpolitik tampaknya selalu tinggi. Setiap lima tahun sekali, ribuan orang mendaftar menjadi calon anggota legislatif (caleg) DPR, DPRD, dan DPD. Sebenarnya, bukan hanya menjadi caleg, animo politikus memasuki arena politik dan menduduki jabatan politis lainnya juga tidak pernah surut.

Sebut saja misalnya `lowongan' posisi presiden/wakil presiden dan kepala daerah, peminatnya tidak pernah sepi. Tetapi sayangnya, animo berpolitik yang tinggi itu tidak dibarengi dengan modal yang cukup. Kebanyakan di antara mereka malah cuma bermodal nekat saja. Padahal, untuk berpolitik, seorang politikus wajib menyediakan modal besar. Dengan modal besar itulah politikus mendedikasikan hidupnya buat kepentingan rakyat. Politikus harus mengeluarkan modal untuk politik, bukannya mencari modal dalam politik. Celakanya, politisi kita kerap menjadikan politik sebagai lahan pekerjaan. Mereka berpolitik seperti melamar pekerjaan. Motif utamanya adalah ekonomi, mencari modal hidup.

Politikus Juragan

Modal berpolitik setidaknya ada lima. Pertama adalah uang. Mengapa demikian? Biaya politik di negeri ini sangatlah mahal. Untuk menjangkau para pemilih tentu memerlukan transportasi. Transportasi butuh uang. Rapat-rapat dengan konstituen dan menyampaikan gagasan di depan mereka tentu pakai suguhan makan dan minum. Kesemuanya perlu uang. Belum lagi untuk membeli pelbagai atribut kampanye.

Sistem pemilihan yang berlaku di republik ini pun makin memperketat persaingan internal di dalam partai dan persaingan antarpartai. Konsekuensinya, biaya yang harus dipersiapkan politikus untuk memenangi pertarungan kian besar. Fenomena pasar politik inilah yang juga membuat ideologi partai acap kali "tunduk" pada kekuatan uang. Politikus dengan ideologi partai yang jelas bisa kalah bersaing dengan politikus yang bermodalkan uang besar.

Kedua, jaringan sosial yang luas dan terlembagakan. Kalau jaringan itu mampu berlangsung terus-menerus dalam bentuk pengakuan dan perkenalan timbal balik, pada gilirannya akan mem berikan dukungan kolektif kepada politikus bersangkutan. Kebersamaan politikus dan konstituen dalam membangun program dan kesejahteraan, seraya menumbuhkan ikatan emosional tentu menjadi faktor determinan dalam mengumpulkan suara pemilih.

Ketiga, integritas. Modal integritas merujuk pada mutu dan sifat pribadi politikus yang menunjukkan kesatuan yang utuh. Sehingga, sang politikus memancarkan kewibawaan dan kejujuran. Kesatuan dalam hal ini berarti adanya konsistensi dan keselarasan antara apa yang ia katakan dan apa yang diperbuat. Malangnya, banyak politikus kita tidak seperti itu--berintegritas rendah. Kelakuan mereka tidak sesuai dengan yang dikampanyekan. Mereka malah terjebak dalam kubangan korupsi. Realitas terjerembabnya sejumlah politikus dalam kubangan korupsi menunjukkan tidak memadainya cadangan integritas mereka untuk menghadapi godaan materi yang sangat menggiurkan.

Parahnya lagi, rakyat sebagai basis legitimasi para politisi tidak mampu menyemaikan kesadaran bahwa seorang calon pemimpin yang paling layak dipilih adalah orang yang integritasnya jelas dan terukur. Akhirnya, yang muncul adalah politikus juragan yang memahami politik sebagai investasi material, atau politikus iklan yang hanya bermodalkan citra hasil kemasan media.

Ketangguhan Politikus

Keempat, pendidikan. Memperjuangkan kepentingan rakyat dengan predikat politikus perlu sedikit melebihkan usaha dari orang kebanyakan. Terutama dalam kualifikasi pendidikan. Pendidikan memang bukanlah jaminan seseorang akan memiliki kompetensi yang mumpuni dan amanah. Namun, pendidikan adalah modal penting. Politikus harus mampu menyelaraskan pendidikan yang diperolehnya dengan tugas pokok dan fungsinya sebagai politikus. Bagaimana mungkin ia mampu membuat undang-undang atau peraturan daerah kalau tidak mengetahui seluk-beluk legal drafting
Politikus juga harus memiliki communication skill, budgeting skill, dan teknik lobbying. Kesemuanya tentu diperoleh melalui pendidikan, baik itu formal, informal, maupun nonformal.

Kelima, mental. Dalam politik dikenal ungkapan "tidak ada kawan dan lawan abadi, yang abadi hanyalah kepentingan." Guna menggapai kepentingan itu kerap segala cara dihalalkan. Dunia politik dikenal sarat dengan trik, tipu muslihat, dan saling menghabisi. Politisi juga acap dikesankan sebagai sosok yang kotor, penipu, egois, dan kesan negatif lainnya. Untuk itu, politikus harus siap mental atas semua cap yang diberikan. Politikus juga wajib tahan mental untuk tidak menghalalkan segala cara demi kekuasaan. Etika politik tetap dikedepankan.

Memang, jalan meraih ke kuasaan melalui permainan politik tidaklah gampang. Politikus juga harus siap kalah, sakit, dan menderita. Dalam konteks ini, modal mental yang tangguh sangatlah dibutuhkan. Jika mental tidak tangguh, dijamin politikus bakal stres berat, bahkan gila! Yuli Nursanto adalah contoh nyata politikus yang masuk rumah sakit jiwa akibat tidak siap mental ketika kalah dalam pemilukada 2008 di Ponorogo. Jadi, peringatan buat para politikus yang ingin berpolitik. Jika Anda tidak punya lima modal di atas, jangan coba-coba berpolitik. Sebaiknya urungkan niat berpolitik.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar