Rancangan
Undang-Undang Jaminan Produk Halal (RUU JPH) yang sudah dibahas di DPR RI
sejak periode 2004-2009 belum juga disahkan sampai saat ini dan merupakan
penundaan yang kesekian kalinya. Menurut catatan penulis, RUU JPH paling
tidak pernah direncanakan akan disahkan menjadi undang-undang pada akhir
Oktober 2011.
Pernah
juga ada kabar akan disahkan pada 14 Desember 2012 yang akhirnya ditunda.
Selanjutnya, RUU JPH ini ditargetkan selesai dibahas pada Februari 2013,
tetapi juga mengalami kemandekan. Republika edisi 2 April 2013,
mengabarkan, penyebab keman dekan tersebut karena belum ada kesepakatan
tentang bentuk badan atau lembaga penjamin produk halal dan sifat pendaftaran
produk halal.
Terkait
dengan bentuk lembaga, DPR mengusulkan lembaga ini independen dan tidak
di bawah kementerian manapun, termasuk di bawah struktur Kementerian
Agama, dan langsung di bawah presiden. Sementara itu, pemerintah
menginginkan lembaga tersebut berada di bawah Kementerian Agama karena
jika lembaga tersebut independen, akan menambah beban biaya negara.
Terkait dengan sifat pendaftaran, perdebatannya adalah apakah pendaftaran
tersebut bersifat mandatory (wajib) atau bersifat voluntary (sukarela).
Tulisan
ini akan mencoba memberi pandangan terhadap dua hal tersebut di atas.
Hanya, sebelum itu akan disampaikan dulu pentingnya UU JPH dilihat dari
perspektif etika perlindungan konsumen berdasar Contract Theory dan Due
Care Theory. Contract Theory
menyatakan bahwa hubungan antara penjual dan pembeli bersifat
kontraktual. Artinya, ketika pembeli membeli sebuah produk maka
pembeli tersebut te lah menyetujui `kontrak jual beli' dengan penjual. Dengan kata lain, ketika terjadi `kontrak jual beli',
sesungguhnya penjual secara bebas dan sadar setuju untuk menyediakan
produk dengan karakteristik tertentu. Dan sebaliknya, pembeli juga bebas
dan sadar untuk membayarkan sejumlah uang untuk produk tersebut.
Menurut
teori ini, ada tiga hal penting supaya kontrak tersebut sah, pertama,
kedua belah pihak mempunyai pengetahuan lengkap tentang sifat dan jenis
kesepakatan dan bersedia menaati kontrak. Kedua, kedua belah pihak tidak
boleh ada yang menyembunyikan fakta terkait produk dan kontrak. Dan,
ketiga, kedua belah pihak harus bebas atau tidak ada paksaan untuk
melakukan kontrak.
Berdasar
teori ini, informasi tentang kehalalan produk menjadi sangat penting karena
ketiadaan informasi (sertifikat) halal bisa menyebabkan syarat kedua
tidak terpenuhi dan `kontrak penjualan' menjadi tidak sah. Due Care Theory intinya mengatakan
bahwa penjual mempunyai kewajiban untuk memperhatikan kepentingan
pembeli, sehingga kepentingan pembeli tidak tercederai.
Asumsi
dasar teori ini adalah penjual mempunyai keahlian dan pengetahuan lebih
dibanding pembeli. Karena, penjual mempunyai keahlian dan informasi
lebih, penjual bertanggung jawab dan harus memperhatikan kepentingan
pembeli, mulai dari aspek desain produk, pilihan bahan atau material
untuk produk, proses produksi, sampai pada pemberian label atas produk
tersebut-dalam hal ini label halal.
Salah
satu kepentingan pokok konsumen di Indonesia yang notabene sebagian besar
Muslim adalah kehalalan produk yang dikonsumsi. Oleh karena itu, sertifikasi/pemberian
label halal atas produk juga mendapat justifikasi Due Care Theory. Dari penjelasan tersebut, tampak jelas bahwa
pengesahan UU JPH hakikatnya adalah bagian dari upaya perlindungan
konsumen. Dengan disahkannya UU JPH, konsumen akan terlindungi dari
`kontrak jual beli' yang tidak sah (Contractual
Theory) dan akan terlindungi dari mengonsumsi produk yang tidak halal
(Due Care Theory). Oleh karena
itu, RUU JPH ini harus segera disahkan menjadi UU.
Seperti
sudah disampaikan di atas, salah satu masalah pokok yang menjadi fokus
perdebatan DPR dan pemerintah terkait dengan lembaga pemberi sertifikat
halal adalah `independensi' lembaga tersebut. Hanya, menurut hemat saya
adalah naif jika `independensi' dikaitkan dengan biaya. Menurut
saya, karena mengonsumsi produk halal adalah bagian yang tidak bisa
dipisahkan dari pengamalan agama. Dan, karena kebebasan mengamalkan agama
dijamin Undang-Undang Dasar, menjadi kewajiban negara untuk menjamin kehalalan
produk melalui sertifikasi at any
costs. Independensi semestinya lebih dikaitkan dengan independensi
lembaga ini dalam melakukan audit sebagai dasar pemberian sertifikat
halal, pelaksanaan pengawasan (monitoring)
terhadap produsen yang sudah memperoleh sertifikat halal, dan penegakan
hukum bagi produsen yang tidak mau melakukan proses penyertifikasian.
Terkait
dengan sifat sertifi kasi, saya lebih mendukung sertifikasi halal
bersifat mandatory (wajib) dan
tidak hanya voluntary (sukarela)
agar sesuai dengan tujuan dari UU JPH, yaitu memberikan jaminan kehalalan
suatu produk untuk konsumen. Selain itu, jika tidak bersifat wajib saya
khawatir akan banyak produsen yang melakukan opportunistic behavior dan moral hazard. Hanya, mungkin perlu diberikan waktu transisi
dengan batas waktu tertentu bagi para produsen untuk memperoleh sertifikasi
halal tersebut. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar