Pemberlakuan
Hukum Pidana ke Dalam dan Luar RI
Romli Atmasasmita ;
Guru Besar
Emeritus Universitas Padjadjaran
|
|
KORAN
SINDO, 03 April 2013
Era
globalisasi sering disebut era tanpa batas wilayah negara karena
perkembangan teknologi informasi, komunikasi, dan transportasi yang
sangat pesat dan modern.
Satu-satunya
pembatas era tersebut adalah hukum nasional masing-masing negara baik
dalam bentuk “hard law” maupun “soft law”. Pembatas ini sangat berarti di
bidang perdagangan transnasional dan internasional. Apalagi Indonesia
termasuk negara peratifikasi Perjanjian Perdagangan Bebas (GATTWTO)
sehingga di dalam bidang tersebut hampir pasti sebutan “tanpa batas
wilayah negara” telah menjadi kenyataan sejarah.
Di dalam
bidang hukum pidana dan penegakan hukum pidana, era tanpa batas wilayah
negara kurang diketahui atau dikenal masyarakat luas termasuk kebanyakan
para ahli hukum. Padahal perkembangan kejahatan di masa kini telah
memasuki era tersebut terutama kejahatan yang terorganisasi. ***
Konvensi PBB
Menentang Kejahatan Transnasional Terorganisasi Tahun 2000 telah
diratifikasi Indonesia dengan UU RI Nomor 5 Tahun 2009. Tujuan utamanya
adalah meningkatkan kerja sama antarnegara dalam mencegah dan memberantas
kejahatan transnasional. Hambatan mencapai tujuan konvensi tersebut tentu
ketentuan perundang-undangan pidana masing-masing negara yang masih
mengakui asas teritorial sebagai asas universal.
Salah satu
ciri tegaknya kedaulatan hukum adalah jika peraturan perundang-undangan
pidana nasional masih dapat diberlakukan mutlak dalam batas wilayah suatu
negara. Konsep kerja sama di dalam konvensi tersebut masih dibatasi oleh
ketentuan hukum nasional sesuai dengan bunyi kalimat dalam konvensi,
“according to the principle of domestic law” sehingga menjadi sangat
penting untuk membedakan antara prinsip hukum nasional (domestik) dan
prinsip hukum pidana internasional.
Sejalan
dengan prinsipprinsip tersebut seharusnya asas teritorial (Pasal 2 KUHP)
tidak dipertentangkan dengan asas hukum pidana internasional yaitu “aut
dedere aut punere” yang menegaskan bahwa setiap negara wajib menuntut dan
menghukum setiap kejahatan yang terjadi di dalam batas wilayah negara
yang bersangkutan.
Kendati
demikian, sejalan dengan upaya meningkatkan kerja sama antarnegara dalam
mencegah dan memberantas kejahatan transnasional, sangat relevan bagi
setiap negara untuk melaksanakan asas hukum pidana internasional, asas
“aut dedere aut judicare” yaitu jika negara yang memiliki yurisdiksi
tidak mau melakukan penuntutan, negara tersebut wajib menyerahkan
penuntutan terhadap pelaku kejahatan transnasional kepada negara yang
berkepentingan atas pelaku kejahatan transnasional tersebut. ***
Prosedur
kerja sama antarnegara diatur di dalam berbagai perjanjian kerja sama
penegakan hukum yaitu melalui ekstradisi dan mutual assistance in
criminal matters (MLAT’s) atau melalui kerja sama Kepolisian
Internasional (Interpol). Namun, persoalan hukum kerja sama ini bukan
pada masalah prosedur belaka, melainkan pada masalah sejauh mana hukum
pidana nasional dapat diberlakukan terhadap peristiwa kejahatan di negara
lain atau sebaliknya.
Persoalan
hukum ini sangat penting dan relevan dipelajari sungguh-sungguh oleh
aparatur penegak hukum termasuk para advokat karena sering terjadi dalam
praktik asas-asas hukum pidana internasional yang telah diakui universal
dan asas-asas pemberlakuan KUHP diabaikan. Kunci masalah penegakan hukum
pidana terhadap kejahatan transnasional adalah selain asas nasional aktif
dan pasif juga wajib diketahui dan dipahami ketentuan asas “dual
criminality principle” (asas kesamaan tindak pidana) antara sistem hukum
dua negara yang berkepentingan.
Asas hukum
ini telah dicantumkan dalam Pasal 5 ayat (2) sub ke-2 KUHP yang berbunyi:
”Ketentuan pidana dalam perundang- undangan Indonesia diterapkan bagi
warga negara yang di luar Indonesia melakukan –(sub ke-2) salah satu
perbuatan yang oleh suatu ketentuan pidana dalam perundangundangan
Indonesia dipandang sebagai kejahatan, sedangkan menurut
perundangundangan negara di mana perbuatan dilakukan diancam dengan
pidana”.
Ketentuan ini
pertama, mensyaratkan bahwa perbuatan yang terjadi di negara yang diminta
harus merupakan tindak pidana yang menurut UU Pidana yang berlaku di
negara diminta dan merupakan tindak pidana yang sama dan diancam pidana
di negara peminta. Kedua, kerja sama hukum tersebut tidak mempersoalkan
perbedaan gradual tentang nomenklatur yang dipergunakan di dalam dua
sistem hukum negara yang bersangkutan atau ancaman hukuman yang sama
kecuali hukuman mati.
Berdasarkan
ketentuan Pasal 5ayat (1) subke-2 KUHP dan asas “kesamaan tindak pidana”
jika dalam praktik hukum di Indonesia menghadapi suatu perkara perdata
dari negara lain dan terlibat seorang WNI dan diajukan sebagai perkara
pidana di Indonesia, seharusnya aparatur hukum di Indonesia tidak
melakukan penuntutan secara pidana.
Jika hal itu
tetap dilakukan, perkara tersebut batal demi hukum. Jika perkara perdata
di negara lain akan diajukan kembali di Indonesia, seharusnya dilakukan
dengan gugatan keperdataan kecuali perkara tersebut telah memperoleh
kekuatan hukum tetap di negara lain.
Namun, sampai
saat ini Indonesia belum terikat pada perjanjian pengakuan putusan
pengadilan negara asing (the
recognition of the validity of foreign judgement) dengan negara lain
sehingga kemungkinan celah hukum untuk mengajukan gugatan atas pokok
perkara yang sama masih terbuka lebar. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar