Salah satu kontroversi dalam
RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Pasal 293. Berbagai
kalangan menyebut pasal itu sebagai pasal "santet". Sejatinya,
dalam rumusan pasal itu, tidak ada kata "santet" dan juga pasal
itu tidak serta-merta dapat ditafsirkan hanya sebagai kriminalisasi
terhadap tukang santet, yakni setiap orang yang menyatakan diri mempunyai
kekuatan gaib. Jadi, tidak hanya tukang santet.
Kapan orang macam itu dapat
dikenai tindak pidana dalam Pasal 293 ayat (1)? Jawabannya, ketika unsur-unsur
Pasal 293 ayat (1) terpenuhi, yakni orang itu melakukan perbuatan:
menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan
harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain dan
karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan
mental atau fisik seseorang.
Ketentuan ayat (2) Pasal 293
menyebutkan, jika tindak pidana itu dilakukan untuk mencari keuntungan
atau sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah
dengan sepertiga.
Kriminalisasi merupakan isu
signifikan dan krusial dalam kebijakan legislasi di bidang hukum pidana
karena akan menimbulkan efek-efek terhadap kebebasan, kemerdekaan warga
negara, membatasi apa yang boleh dan apa yang tidak, dan berdampak
terhadap keadilan, kesamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena
itu, dalam menanggapi kontroversi Pasal 293, parlemen tidak perlu mencari
jawabannya di negara lain atau melakukan studi banding, tetapi cukup
menguji Pasal 293 itu dengan langkah-langkah praktis.
Pertama, mengindentifikasi
apakah perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 293 merupakan perbuatan yang
salah dan merugikan sehingga patut disebut sebagai perbuatan pidana?
Jawabannya akan menentukan jenis perbuatan sebagai suatu tindak pidana
dan menyangkut soal kesalahan moral dari perbuatan itu.
Jika Pasal 293 ayat (1) kita
uji dengan langkah pertama, dapat dipastikan perbuatan yang dirumuskan
dalam Pasal 293 ayat (1) itu tidak dapat dikriminalisasi. Sebab, (1)
rumusan pasal tersebut bukan perbuatan yang salah dan merugikan siapa
pun. (2) Tidak ada hubungan sebab akibat yang mencukupi antara
"perbuatan menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan,
memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa" dengan
"timbulnya penyakit, kematian,
penderitaan mental atau fisik seseorang".
Kedua, menentukan tujuan
Pasal 293, yakni apakah kriminalisasi perbuatan yang dirumuskan dalam
Pasal 293 dapat mencapai tujuannya. Langkah kedua itu mencakup dapat
ditegakkannya Pasal 293 dan kriminalisasi yang mencukupi. Dapat
ditegakkan Pasal 293 mencakup apakah kerugian dan pelaku dapat dideteksi,
apakah pelaku dapat ditahan, apakah cukup bukti-bukti untuk penuntutan.
Sedangkan mengenai kriminalisasi yang mencukupi, apakah Pasal 293
mencegah kerugian terkait lainnya dan apa kerugian akibat Pasal 293.
Karena tidak lolos uji
langkah pertama, maka Pasal 293 sulit mencapai tujuannya. Hampir pasti
Pasal 293 sulit ditegakkan dan dapat dikriminalisasi, dengan tidak akan
mengurangi perbuatan yang dirumuskan dalam pasal itu dan tidak dapat
mencegah kerugian terkait lainnya.
Langkah ketiga dan keempat,
mencari alternatif dari kriminalisasi dan mengakses biaya dari Pasal 293.
Namun, dengan hanya menggunakan dua langkah di atas sebagai uji Pasal
293, maka perbuatan yang dirumuskan dalam pasal itu tidak dapat dan tidak
boleh dikriminalisasi. Oleh karena itu, Pasal 293 harus dicabut dari RUU
KUHP, kecuali pemerintah dan parlemen menjadikan Pasal 293 sebagai suatu
ketentuan kekuatan gaib dalam UU Hukum Pidana Nasional, yang tentu saja
tidak sesuai dengan nalar sehat bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar