Rabu, 10 April 2013

Pasal Santet


Pasal Santet
OC Kaligis  ;  Guru Besar Hukum Pidana Universitas Negeri Manado
SUARA KARYA, 10 April 2013


Salah satu kontroversi dalam RUU Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) adalah Pasal 293. Berbagai kalangan menyebut pasal itu sebagai pasal "santet". Sejatinya, dalam rumusan pasal itu, tidak ada kata "santet" dan juga pasal itu tidak serta-merta dapat ditafsirkan hanya sebagai kriminalisasi terhadap tukang santet, yakni setiap orang yang menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib. Jadi, tidak hanya tukang santet.

Kapan orang macam itu dapat dikenai tindak pidana dalam Pasal 293 ayat (1)? Jawabannya, ketika unsur-unsur Pasal 293 ayat (1) terpenuhi, yakni orang itu melakukan perbuatan: menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa kepada orang lain dan karena perbuatannya dapat menimbulkan penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang.

Ketentuan ayat (2) Pasal 293 menyebutkan, jika tindak pidana itu dilakukan untuk mencari keuntungan atau sebagai mata pencaharian atau kebiasaan, maka pidananya ditambah dengan sepertiga.

Kriminalisasi merupakan isu signifikan dan krusial dalam kebijakan legislasi di bidang hukum pidana karena akan menimbulkan efek-efek terhadap kebebasan, kemerdekaan warga negara, membatasi apa yang boleh dan apa yang tidak, dan berdampak terhadap keadilan, kesamaan, dan nilai-nilai kemanusiaan. Oleh karena itu, dalam menanggapi kontroversi Pasal 293, parlemen tidak perlu mencari jawabannya di negara lain atau melakukan studi banding, tetapi cukup menguji Pasal 293 itu dengan langkah-langkah praktis.

Pertama, mengindentifikasi apakah perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 293 merupakan perbuatan yang salah dan merugikan sehingga patut disebut sebagai perbuatan pidana? Jawabannya akan menentukan jenis perbuatan sebagai suatu tindak pidana dan menyangkut soal kesalahan moral dari perbuatan itu.

Jika Pasal 293 ayat (1) kita uji dengan langkah pertama, dapat dipastikan perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 293 ayat (1) itu tidak dapat dikriminalisasi. Sebab, (1) rumusan pasal tersebut bukan perbuatan yang salah dan merugikan siapa pun. (2) Tidak ada hubungan sebab akibat yang mencukupi antara "perbuatan menyatakan diri mempunyai kekuatan gaib, memberitahukan, memberikan harapan, menawarkan, atau memberikan bantuan jasa" dengan "timbulnya penyakit, kematian, penderitaan mental atau fisik seseorang".

Kedua, menentukan tujuan Pasal 293, yakni apakah kriminalisasi perbuatan yang dirumuskan dalam Pasal 293 dapat mencapai tujuannya. Langkah kedua itu mencakup dapat ditegakkannya Pasal 293 dan kriminalisasi yang mencukupi. Dapat ditegakkan Pasal 293 mencakup apakah kerugian dan pelaku dapat dideteksi, apakah pelaku dapat ditahan, apakah cukup bukti-bukti untuk penuntutan. Sedangkan mengenai kriminalisasi yang mencukupi, apakah Pasal 293 mencegah kerugian terkait lainnya dan apa kerugian akibat Pasal 293.

Karena tidak lolos uji langkah pertama, maka Pasal 293 sulit mencapai tujuannya. Hampir pasti Pasal 293 sulit ditegakkan dan dapat dikriminalisasi, dengan tidak akan mengurangi perbuatan yang dirumuskan dalam pasal itu dan tidak dapat mencegah kerugian terkait lainnya.

Langkah ketiga dan keempat, mencari alternatif dari kriminalisasi dan mengakses biaya dari Pasal 293. Namun, dengan hanya menggunakan dua langkah di atas sebagai uji Pasal 293, maka perbuatan yang dirumuskan dalam pasal itu tidak dapat dan tidak boleh dikriminalisasi. Oleh karena itu, Pasal 293 harus dicabut dari RUU KUHP, kecuali pemerintah dan parlemen menjadikan Pasal 293 sebagai suatu ketentuan kekuatan gaib dalam UU Hukum Pidana Nasional, yang tentu saja tidak sesuai dengan nalar sehat bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar