Senin, 01 April 2013

Pasal Kumpul Kebo


Pasal Kumpul Kebo
Tengku Zulkarnaen ;  Wakil Sekjen MUI
REPUBLIKA, 30 Maret 2013

  
Setelah lebih enam dasawarsa negara Indonesia berdiri dengan memakai hukum pidana yang diadopsi 100 persen dari Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) penjajah Belanda, akhirnya usaha untuk memiliki KUHP buatan sendiri hampir tiba pada putik buahnya. DPR RI sekarang tengah membahas Rancangan Undang-Undang (RUU) KUHP.

Ada satu pasal yang menarik perhatian yaitu pasal kumpul kebo, yakni Pasal 485 yang menyebutkan, "Setiap orang yang melakukan hidup bersama sebagai suami istri di luar perkawinan yang sah, dipidana pidana penjara paling lama 1 (satu) tahun atau pidana denda paling banyak Kategori II" (katagori II adalah denda maksimal Rp 30 juta). Sebagian orang menolak tegas pasal ini dimasukkan KUHP baru. Alasan mereka kumpul kebo adalah masalah privasi (hak pribadi) yang tidak boleh diganggu gugat oleh pihak manapun. 

Cara berpikir segelintir kelompok ini rasanya perlu dicermati. Sebagai manusia yang mengaku makhluk ciptaan Tuhan, semestinya semua manusia tunduk pada aturan yang telah digariskan Sang Pencipta itu. Bagaimanapun yang paling tahu mengenai seluk-beluk sesuatu pastilah penciptanya. 
Fahsya' dan mungkar Alquran menjelaskan bahwa dosa besar itu dibagi dalam dua kategori, yang pertama disebut fahsya' dan yang kedua disebut mungkar. Imam al-Ghazali menjelaskan bahwa fahsya' itu adalah perbuatan keji yang merupakan perbuatan dosa besar, namun perilakunya itu tidak merugikan orang lain. Sedangkan mungkar adalah perbuatan keji yang merupakan dosa besar dan perilakunya merugikan pihak lain. Contoh perbuatan fahsya' adalah berzina, mabuk minuman keras, memakai narkoba, suap-menyuap, dan bunuh diri yang tidak merugikan orang lain. Sedangkan contoh perbuatan mungkar adalah memerkosa, memeras, korupsi, dan membunuh orang, yang merugikan pihak lain.

Berzina adalah melakukan hubungan suami istri antara pria dan wanita yang tidak diikat dengan hubungan pernikahan yang sah, dan dilakukan secara sukarela antara kedua belah pihak. Dapat dilihat bahwa tidak ada pihak yang merasa dirugikan dari perbuatan ini. Sang pria merasa senang dan begitu juga sang wanita. Keduanya mendapatkan kenikmatan syahwat tanpa merugikan pihak lain. Ternyata Alquran memasukkan perbuatan zina itu ke dalam perbuatan fahsya'. Allah berfi rman dalam surat al-Isra' ayat 32, "Dan janganlah kamu mendekati zina; Sesungguhnya zina itu adalah salah satu perbuatan fahsya' (keji) dan seburuk-buruknya jalan."

Para penentang Pasal 485 itu merasa bahwa hal-hal yang bersifat privasi dan tidak merugikan orang lain semestinya tidak boleh diancam pidana atau denda. Sayangnya kelompok yang sering menyebut diri sebagai pembela hak asasi manusia ini, terkesan tidak konsekuen dengan pola pikirnya itu. 
Jika yang menjadi acuan adalah hak pribadi yang tidak merugikan orang lain, sehingga tidak boleh dilarang, apalagi diancam pidana, maka perbuatan lain yang sejenis dengan itu harus diberi kedudukan yang sama pula. Ambil contoh, misalnya, kasus suap-menyuap. Dalam perkara suap-menyuap, pihak penyuap dan pihak yang disuap sama-sama rela dan tidak merasa dirugikan.
Keduanya sama-sama mendapatkan keuntungan dari perbuatan mereka itu.
Semestinya tidak boleh juga diancam pidana. Namun anehnya, ternyata pasal suap-menyuap dengan ancaman penjara dapat mereka terima dan tidak mereka ributkan. Mereka tidak meminta pasal suap-menyuap dalam KUHP baru itu dicabut. Bukankah ini menunjukkan sikap yang tidak konsekuen?

Perlu dicatat bahwa suap-menyuap adalah perbuatan fahsya' dan tidak merugikan orang lain. Contoh lain kasus narkoba. Mengonsumsi narkoba sampai mabuk dan hilang ingatan sama sekali tidak merugikan orang lain. Uang yang dipakainya adalah hartanya sendiri. Sedangkan tubuh yang dipakainya adalah tubuhnya sendiri juga. Maka, apabila seseorang memakai narkoba di dalam ruang privasinya dan tidak mengganggu orang lain pula, semestinya orang tersebut tidak boleh ditangkap dan dipidanakan. Namun, aneh bin ajaib, pasal narkoba ternyata tidak diributkan sama sekali. 

Jangan Menghina Adat

Seorang pakar hukum pidana Prof Dr Andi Hamzah menilai bahwa memidanakan kumpul kebo tidak selaras dengan hukum adat bangsa Indonesia. Di beberapa daerah, kumpul kebo ditoleransi dan mereka bisa memisahkan diri dari Indonesia apabila RUU KUHP disahkan.

Kami sangat meragukan ucapan profesor ini. Apa benar masyarakat Bali yang religius Hindu itu menoleransi perzinaan, sehingga sampai akan memisahkan diri dari Republik Indonesia jika berzina dilarang di tengah masyarakat Bali?
Begitu juga masyarakat Minahasa yang mayoritas religius Kristen, apa benar mereka semua juga menoleransi perzinaan dan sangat mencintai zina.
Sehingga, jika zina dipidanakan maka masyarakat Minahasa akan memisahkan diri dari NKRI? Begitu juga masyarakat Mentawai. Kami khawatir dengan mengatakan masyarakat Mentawai melegalisasi zina adalah sebuah pernyataan yang sangat menghina harga diri mereka. 

Indonesia adalah negara hukum yang ber-Pancasila. Sila pertama dari Pancasila adalah Ketuhanan 
Yang Maha Esa, yang berarti mengakui keberadaan agama di negeri ini. Perlu dicatat bahwa tidak ada satu agama pun yang resmi diakui di negara Indonesia ini yang melegalkan zina. Kumpul kebo sudah pasti perbuatan zina. 

Meskipun tergolong ke dalam perbuatan fahsya' yang tidak merugikan orang lain, namun wajib dilarang dan dikenai sanksi atas semua pelakunya tanpa pandang bulu dan alasan. Apalagi zina itu rentan penyakit kelamin dan penyakit kejiwaan. Betapa banyak sudah korban zina yang menderita penyakit kelamin, bahkan HIV/AIDS. Ujung-ujungnya, jika sudah kena penyakit ini, mereka akan masuk dalam pelaku kemungkaran, karena akan merugikan dan menularkannya pada orang-orang lain, bahkan pada orang yang tidak berdosa.

Bagi Penulis, semestinya Pasal 485 itu tidak diberi ruang celah meringankan dengan membuka alternatif denda, karena justru akan melemahkan usaha memberantas zina itu sendiri. Wallahu a'lam. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar