Senin, 01 April 2013

Partai Islam dalam Survei


Partai Islam dalam Survei
Ahmad Yani ;  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI
REPUBLIKA, 30 Maret 2013

  
Hasil survei beberapa lembaga menyiratkan partai-partai berasas Islam dan berbasis Muslim, serta para tokohnya dalam bursa capres, akan meraih suara kurang dari lima persen, patut dikritisi. Tanggapan kritis terhadap suatu survei bukan untuk mempertanyakan integritas penyelenggara survei atau menjadi manuver defensif partai-partai Islam karena hasilnya tidak menggembirakan.
Kritik konstruktif diperlukan untuk mendudukkan posisi survei pada maqamnya, sebagai suatu potret sesaat sehingga bukan menunjukkan tren, apalagi dapat menggambarkan hasil pemilu. Akan tetapi, pertimbangan terpenting dalam menanggapi survei adalah agar semua survei tetap terjaga kredibilitas ilmiahnya. 

Dalam survei LSI, Partai Persatuan Pembangunan (PPP), misalnya, diindikasikan meraih empat persen suara. Sementara Ketua Umum DPP PPP Suryadharma Ali akan dipilih 2,9 persen responden sebagai calon wakil presiden. Jumlah respondennya 1.200 orang. Sebelumnya, pada 6-20 Desember 2012 SMRC mengadakan survei serupa dengan responden 1.220 orang dan memperoleh hasil yang tidak berbeda signifikan. Akan tetapi, benarkah semua survei politik telah memenuhi syarat ilmiah? 

Secara umum, ukuran sampel bukan segalanya ketika populasi yang disurvei bersifat seragam atau menyebar random sempurna. Ukuran sampel yang kecil tetap dapat mewakili populasi. Masalahnya, bangsa Indonesia bukanlah bangsa yang seragam. Keragamannya sangat besar. Keragaman tersebut bertambah karena beberapa fenomena, antara lain, (1) peningkatan interaksi antarelemen, seperti pernikahan antaretnis, (2) mobilitas vertikal, seperti peningkatan pendapatan karena pendidikan, dan (3) mobilitas horizontal. 

Selain itu, transmigrasi dan perpindahan tempat karena faktor pendidikan juga meningkatkan heterogenitas karena menciptakan kombinasi antarelemen.
Oleh karena populasi Indonesia sangat beragam, selayaknya setiap survei mempertimbangkan keragaman tersebut dalam penentuan sampel. Caranya adalah membaginya dulu ke dalam strata atau klaster tertentu. Selain itu, dengan meningkatkan intensitas sampel.

Selama ini survei parpol dan capres umumnya mengambil sampel seribu orang lebih. Sekalipun jumlah sampel seribu orang mungkin memadai pada populasi seragam, tetapi dalam kasus PPP, ukuran sampel tersebut tidak memadai .
Sebagai contoh, semua lembaga survei sepanjang 2007-2009 sebelum Pemilu 2009 memprediksi perolehan suara PPP hanya dua koma sekian persen. Nyatanya, perolehan suara PPP mencapai 5,3 persen atau sama dengan angka prediksi lembaga survei ditambah besar marjin kesalahan. Keadaan serupa juga terjadi pada Pemilu 1999 dan 2004. 

Keadaan ini tentu kurang baik untuk dibiarkan. Melesetnya survei politik di Indonesia tampaknya karena ukuran sampel terlalu kecil, atau metode penarikan contoh yang tidak mempertimbangkan keragaman latar belakang pemilih. Bila ukuran sampel hanya seribu orang maka itu terbukti gagal merepresentasikan 171 juta orang. 

Hasil survei nasional biasanya berbeda jika dibandingkan dengan survei pilkada. Survei-survei sebelum pemilihan kepala daerah umumnya lebih tepat, meskipun hasil survei pilkada DKI Jakarta meleset jauh dari realitasnya. Oleh karena itu, perlu penelitian tentang hasil-hasil survei dengan keadaan yang sebenarnya sehingga kita dapat mengetahui seberapa jauh akurasi survei- survei politik selama ini. 

Lebih baik lagi jika lembaga-lembaga survei tersebut melakukan apa yang disebut sebagai meta-analisis tersebut terhadap hasil survei mereka sendiri, sehingga mereka dapat introspeksi diri. Dengan demikian, survei dapat menjadi bagian dari pendidikan politik. 

Selain itu, partai politik Islam dan politisi Muslim pun harus berbenah diri, antara lain, dengan memperbaiki komunikasi publik dan komunikasi strategis dengan para tokoh masyarakat dan umat. Komunikasi publik dilakukan secara langsung, tetapi membutuhkan waktu dan sumber daya sangat besar. Sementara komunikasi melalui media massa memerlukan dana untuk iklan, tetapi yang terpenting adalah kemampuan memenuhi kebutuhan media dan publik akan informasi yang akurat dan jujur. 

Komunikasi strategis akan menjadi kunci hubungan kemitraan antara partai Islam dan ormas Islam, pesantren, organisasi kepemudaan dan kemahasiswaan. Bahkan, komunikasi adalah kunci sukses memimpin para pemimpin (Salacuse, 2006, Leading Leaders: How to Manage Smart, Talented, Rich, and Powerful People). Sementara berbagai ormas dan organisasi lain itu juga dipimpin oleh para pemimpin dan partai Islam tidak mungkin dapat menarik para anggota dan simpatisan organisasi kemasyarakatan tersebut tanpa menjalin hubungan baik dengan para pemimpin mereka. 

Komunikasi yang baik akan menciptakan kepercayaan. Dalam politik, kepercayaan adalah mata uangnya. Logikanya, jika kepercayaan timbal balik antara partai Islam dan ormas juga umat Islam meningkat maka survei politik yang jujur akan dapat membacanya. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar