Rabu, 03 April 2013

Moralitas Politikus dalam Perangkap Kleptokrasi


Moralitas Politikus dalam Perangkap Kleptokrasi
Thomas Koten  ;   Direktur Social Development Center
SINAR HARAPAN, 02 April 2013
  

Kasus Korupsi yang melibatkan para politikus, baik di partai politik maupun lembaga legislatif yang terkuak belakangan ini, hakikatnya telah mencerminkan betapa kinerja politik yang dijalankan para politikus kita lebih bermuara pada uang, bukan kepentingan rakyat, juga bukan untuk kemuliaan politik itu sendiri.

Kesejahteraan rakyat yang diharapkan dapat tercipta dari kerja politik, akhirnya hanyalah terpahat di dinding kosong tanpa makna.

Oleh karena itu, politik yang awalnya bersosok suci, agung dan mulia ala filsuf Yunani Aristoteles dan Plato pun terjerembab dalam lumpur kenistaan oleh ulah para politikus yang berhamba pada uang. Politik akhirnya dinilai kotor dan menjijikan.

Selanjutnya, politikus yang semestinya berhati emas dan bermartabat untuk menata kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan, akhirnya hanya dinilai tidak ubahnya manusia-manusia yang tidak bermartabat lantaran banyak berbuat dosa dan nista.

Padahal, semua politikus sudah tahu betul tugas mereka sesungguhnya menata kekuasaan demi kesejahteraan rakyat. Itu juga merupakan etika politik yang sejatinya.

Dalam bingkai ini, etika politik tidak lain berarti moralitas yang berorientasi pada pelayanan dan kesejahteraan masyarakat luas, sekaligus pengabdian dan usaha untuk mengantarkan rakyat kepada kesejehteraan, lewat perjuangan di ranah kekuasaan agar kekuasaan dapat menelurkan kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang pro kesejahteraan rakyat.

Terperangkap Kleptomania

Dengan begitu banyaknya politikus terjerembab dalam perilaku penuh nista korupsi, kita pun bertanya, apakah para politikus telah terjangkiti penyakit psikosomatik atau kleptomania? Penyakit kleptomania adalah kelainan jiwa yang menyebabkan seorang suka mengambil barang milik orang lain atau keinginan mencuri barang orang lain yang tidak dapat ditahan-tahan.

Jika dikonversikan dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain, menyitir Ansel Alaman (2013), di satu sisi tampak sebagai perilaku yang haus kekuasaan (power syndrome), dan di sisi lain perilaku hedonisme yang memandang kekuasaan ekonomi dan politik sebagai subyek kenikmatan belaka.

Dengan melihat begitu banyaknya politikus yang terjebak atau terjangkiti penyakit korupsi, tidak aneh jika dikatakan para politikus kita sudah benar-benar menderita penyakit kleptomania atau psikosomatik. Selain itu, dengan merebaknya budaya instan di tengah masyarakat, bukan tidak mungkin akan terus mendorong para politikus semakin terjerembab ke dalam penyakit kleptomania.

Dikhawatirkan mentalitas politikus yang gemar korupsi alias sudah terjangkiti penyakit kleptomania tertular secara mengerikan kepada masyarakat mengingat kultur kita yang sangat paternalistik. Perilaku pemimpin atau kaum elite sangat gampang menular, memengaruhi dan mengarahkan nilai-nilai, perilaku-perilaku dan kesejahteraan masyarakat.

Jangan-jangan dengan merebaknya penyakit korupsi hingga ke seluruh sendi dan aspek kehidupan masyarakat, tetap membuat bangsa ini menjadi bangsa psikosomatik atau bangsa kleptomania.

Kita juga memang tidak bisa secara tegas mengatakan politikus kita atau bangsa ini sudah mengindap penyakit kleptomania. Kita juga tidak bisa bertanya lagi, mengapa bangsa ini gemar korupsi alias senang mengambil jalan pintas untuk menjadi kaya.

Bahkan, perilaku ini oleh Mochtar Lubis, telah menjadi salah satu ciri manusia Indonesia. Tetapi, fenomena merebaknya korupsi di partai politik dan masyarakat semestinya menggiring kita menggeledah kembali struktur-struktur psikososial politik ekonomi dan kebudayaan kita.

Artinya, secara jelas dikatakan ada sesuatu yang telah dan mungkin akan terus menggerogoti tubuh bangsa ini, atau sedang dan mungkin akan terus terjadi dalam metabolisme kebangsaan. Sebuah patologi yang sedang menggerogoti norma dan nilai-nilai luhur ke-Indonesiaan kita, terutama telah menghancurkan nilai-nilai luhur politik dan merusak akhlak politikus kita.

Ini yang membuat energi bangsa ini hanya diarahkan untuk tujuan-tujuan kontraproduktif yang picik, artifisial, antara menaikkan citra politik dan menjatuhkan citra lawan-lawan politik, bukan tujuan-tujuan yang dibimbing untuk kemajuan kehidupan bangsa terutama kehidupan politik negeri.

Jangan-jangan para politikus negeri ini tidak lagi memiliki niat baik untuk memajukan bangsa lewat karya-karya politik yang agung. Ini sangat dikhawatirkan. Ingat nasib bangsa ini sebagian dipertaruhkan di pundak mereka.

Sulit dibayangkan jika kemajuan bangsa yang diharapkan diletakkan di pundak para politikus yang tidak memiliki moral baik dan tidak menjalankan politik secara beretika. Begitu malanglah nasib negeri ini jika memiliki politikus yang minim moral dan sudah terjangkiti penyakit kleptomania.

Politikus yang minus moral adalah yang tidak jujur, kurang santun, dan tidak memiliki integritas, mengabaikan tugas menyejahterakan rakyat, dan hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok. Jadi, politikus yang bermoral adalah yang menjalankan politik dengan mengedepankan etika politik dalam perjuangan politiknya. Polilikus yang mengedepankan etika politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.

Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai sebagai model yang memiliku kejujuran, kesantunan, dan integritas. Kejujuran, kesantunan, dan integritas politik diukur dari keutamaan moral. Lalu, apakah di tengah semakin terjangkitinya penyakit korupsi atau penyakit kleptomania, masa depan bangsa ini masih bisa dipertaruhkan di pundak mereka?

Hati Nurani dan Etika Politik

Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, nasib bangsa tidak bisa diletakkan di pundak politikus yang moralitasnya sudah dihancurkan ganasnya penyakit kleptomania, yang menggerogoti nalar dan menghancurkan hati nurani dan kepekaan sosial dan politik etis para politikus. Maka, kontrol dan desakan publik agar para politikus kembali ke jalur etika politik dan menguatkan moralitasnya dalam berpolitik, menjadi sangat penting.

Sudah ada berbagai upaya perbaikan terhadap partai politik dan institusi legislatif. Komisi-komisi dibentuk, banyak politikus dijebloskan dalam penjara. Aksi demonstrasi untuk mendorong pemberantasan korupsi juga sudah banyak digelar, tetapi korupsi politik terus berjalan, setali tiga uang dengan politikus terus tererosi moralitasnya. Kesalahannya ada pada sistem organisasi politik dan mentalitas para politikus yang hati nuraninya sudah keropos.

Oleh karena itu, hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem parpol yang tidak memungkinkan tumbuhnya korupsi. Adalah sistem organisasi politik yang mengintegrasikan etika publik ke dalam karya pelayanan publik dan yang bisa mengubah wajah kekuasaan yang ramah terhadap nasib dan kesejahteraan rakyat.

Kemudian, perlu mendorong para politikus untuk mempertajam hati nurani baik lewat kontrol publik maupun penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam hal ini, hukum tidak boleh lagi tampil sekadar ritual formal yang tidak memiliki roh keadilan dan kebenaran. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar