Kasus
Korupsi yang melibatkan para politikus, baik di partai politik maupun
lembaga legislatif yang terkuak belakangan ini, hakikatnya telah
mencerminkan betapa kinerja politik yang dijalankan para politikus kita
lebih bermuara pada uang, bukan kepentingan rakyat, juga bukan untuk
kemuliaan politik itu sendiri.
Kesejahteraan
rakyat yang diharapkan dapat tercipta dari kerja politik, akhirnya
hanyalah terpahat di dinding kosong tanpa makna.
Oleh karena itu, politik yang awalnya bersosok suci, agung dan mulia ala
filsuf Yunani Aristoteles dan Plato pun terjerembab dalam lumpur
kenistaan oleh ulah para politikus yang berhamba pada uang. Politik
akhirnya dinilai kotor dan menjijikan.
Selanjutnya,
politikus yang semestinya berhati emas dan bermartabat untuk menata
kehidupan masyarakat menuju kesejahteraan, akhirnya hanya dinilai tidak
ubahnya manusia-manusia yang tidak bermartabat lantaran banyak berbuat
dosa dan nista.
Padahal, semua politikus sudah tahu betul tugas mereka sesungguhnya
menata kekuasaan demi kesejahteraan rakyat. Itu juga merupakan etika
politik yang sejatinya.
Dalam
bingkai ini, etika politik tidak lain berarti moralitas yang berorientasi
pada pelayanan dan kesejahteraan masyarakat luas, sekaligus pengabdian
dan usaha untuk mengantarkan rakyat kepada kesejehteraan, lewat
perjuangan di ranah kekuasaan agar kekuasaan dapat menelurkan
kebijakan-kebijakan politik dan ekonomi yang pro kesejahteraan rakyat.
Terperangkap Kleptomania
Dengan begitu banyaknya politikus terjerembab dalam perilaku penuh nista
korupsi, kita pun bertanya, apakah para politikus telah terjangkiti
penyakit psikosomatik atau kleptomania? Penyakit kleptomania adalah
kelainan jiwa yang menyebabkan seorang suka mengambil barang milik orang
lain atau keinginan mencuri barang orang lain yang tidak dapat
ditahan-tahan.
Jika dikonversikan dalam bidang politik, ekonomi, dan lain-lain, menyitir
Ansel Alaman (2013), di satu sisi tampak sebagai perilaku yang haus
kekuasaan (power syndrome), dan di sisi lain perilaku hedonisme yang
memandang kekuasaan ekonomi dan politik sebagai subyek kenikmatan belaka.
Dengan melihat begitu banyaknya politikus yang terjebak atau terjangkiti
penyakit korupsi, tidak aneh jika dikatakan para politikus kita sudah
benar-benar menderita penyakit kleptomania atau psikosomatik. Selain itu,
dengan merebaknya budaya instan di tengah masyarakat, bukan tidak mungkin
akan terus mendorong para politikus semakin terjerembab ke dalam penyakit
kleptomania.
Dikhawatirkan mentalitas politikus yang gemar korupsi alias sudah
terjangkiti penyakit kleptomania tertular secara mengerikan kepada
masyarakat mengingat kultur kita yang sangat paternalistik. Perilaku
pemimpin atau kaum elite sangat gampang menular, memengaruhi dan
mengarahkan nilai-nilai, perilaku-perilaku dan kesejahteraan masyarakat.
Jangan-jangan
dengan merebaknya penyakit korupsi hingga ke seluruh sendi dan aspek
kehidupan masyarakat, tetap membuat bangsa ini menjadi bangsa
psikosomatik atau bangsa kleptomania.
Kita juga memang tidak bisa secara tegas mengatakan politikus kita atau
bangsa ini sudah mengindap penyakit kleptomania. Kita juga tidak bisa
bertanya lagi, mengapa bangsa ini gemar korupsi alias senang mengambil
jalan pintas untuk menjadi kaya.
Bahkan,
perilaku ini oleh Mochtar Lubis, telah menjadi salah satu ciri manusia
Indonesia. Tetapi, fenomena merebaknya korupsi di partai politik dan
masyarakat semestinya menggiring kita menggeledah kembali
struktur-struktur psikososial politik ekonomi dan kebudayaan kita.
Artinya, secara jelas dikatakan ada sesuatu yang telah dan mungkin akan
terus menggerogoti tubuh bangsa ini, atau sedang dan mungkin akan terus
terjadi dalam metabolisme kebangsaan. Sebuah patologi yang sedang
menggerogoti norma dan nilai-nilai luhur ke-Indonesiaan kita, terutama
telah menghancurkan nilai-nilai luhur politik dan merusak akhlak
politikus kita.
Ini
yang membuat energi bangsa ini hanya diarahkan untuk tujuan-tujuan
kontraproduktif yang picik, artifisial, antara menaikkan citra politik
dan menjatuhkan citra lawan-lawan politik, bukan tujuan-tujuan yang
dibimbing untuk kemajuan kehidupan bangsa terutama kehidupan politik
negeri.
Jangan-jangan para politikus negeri ini tidak lagi memiliki niat baik
untuk memajukan bangsa lewat karya-karya politik yang agung. Ini sangat
dikhawatirkan. Ingat nasib bangsa ini sebagian dipertaruhkan di pundak
mereka.
Sulit
dibayangkan jika kemajuan bangsa yang diharapkan diletakkan di pundak
para politikus yang tidak memiliki moral baik dan tidak menjalankan
politik secara beretika. Begitu malanglah nasib negeri ini jika memiliki
politikus yang minim moral dan sudah terjangkiti penyakit kleptomania.
Politikus yang minus moral adalah yang tidak jujur, kurang santun, dan
tidak memiliki integritas, mengabaikan tugas menyejahterakan rakyat, dan
hanya mementingkan diri sendiri dan kelompok. Jadi, politikus yang
bermoral adalah yang menjalankan politik dengan mengedepankan etika
politik dalam perjuangan politiknya. Polilikus yang mengedepankan etika
politik adalah negarawan yang mempunyai keutamaan-keutamaan moral.
Dalam sejarah filsafat politik, filsuf seperti Socrates sering dipakai
sebagai model yang memiliku kejujuran, kesantunan, dan integritas.
Kejujuran, kesantunan, dan integritas politik diukur dari keutamaan
moral. Lalu, apakah di tengah semakin terjangkitinya penyakit korupsi
atau penyakit kleptomania, masa depan bangsa ini masih bisa dipertaruhkan
di pundak mereka?
Hati Nurani dan Etika Politik
Jawaban atas pertanyaan tersebut adalah, nasib bangsa tidak bisa
diletakkan di pundak politikus yang moralitasnya sudah dihancurkan
ganasnya penyakit kleptomania, yang menggerogoti nalar dan menghancurkan
hati nurani dan kepekaan sosial dan politik etis para politikus. Maka,
kontrol dan desakan publik agar para politikus kembali ke jalur etika
politik dan menguatkan moralitasnya dalam berpolitik, menjadi sangat
penting.
Sudah ada berbagai upaya perbaikan terhadap partai politik dan institusi
legislatif. Komisi-komisi dibentuk, banyak politikus dijebloskan dalam
penjara. Aksi demonstrasi untuk mendorong pemberantasan korupsi juga
sudah banyak digelar, tetapi korupsi politik terus berjalan, setali tiga
uang dengan politikus terus tererosi moralitasnya. Kesalahannya ada pada
sistem organisasi politik dan mentalitas para politikus yang hati
nuraninya sudah keropos.
Oleh karena itu, hal krusial yang perlu dilakukan adalah mengubah sistem
parpol yang tidak memungkinkan tumbuhnya korupsi. Adalah sistem
organisasi politik yang mengintegrasikan etika publik ke dalam karya
pelayanan publik dan yang bisa mengubah wajah kekuasaan yang ramah
terhadap nasib dan kesejahteraan rakyat.
Kemudian,
perlu mendorong para politikus untuk mempertajam hati nurani baik lewat
kontrol publik maupun penegakan hukum yang berkeadilan. Dalam hal ini,
hukum tidak boleh lagi tampil sekadar ritual formal yang tidak memiliki
roh keadilan dan kebenaran. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar