Rabu, 03 April 2013

Kudeta Komisi Pemberantasan Korupsi


Kudeta Komisi Pemberantasan Korupsi
Bambang Satriya  ;   Guru Besar Ilmu Hukum di Stiekma,
Dosen Luar Biasa Universitas Ma Chung
MEDIA INDONESIA, 03 April 2013

  
ADA ancaman serius yang wajib menjadi perhatian utama seluruh elemen bangsa ini seiring dengan konflik internal di tubuh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Ancaman serius ini bernama ‘kudeta’ Ketua KPK Abraham Samad. Salah satu apologi yang digunakan oleh kelompok pengudeta ialah kegagalan Samad yang direlasikan dengan keluarnya surat perintah penyidikan (sprindik) palsu.
Kalau isu April Mop yang dikaitkan dengan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) ditempatkan oleh publik sebagai proyek politik halusinasi atau isapan jempol, ancaman kudeta Samad barangkali tidak demikian. Samad memang bisa saja terguling dari jabatannya bilamana elemen KPK sendiri tergiring oleh kekuatan eksternal untuk memanaskan suhu konflik internalnya dan ‘menikmati’ kekacauan.

Diingatkan oleh Marthin Luther bahwa di tengah kekacauan (chaos) hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan. Atas dasar itu, para koruptor yang merupakan ‘selebritasnya’ komunitas bajinganlah yang menuai keuntungan berlipat, saat KPK fokus mengurus dirinya atau terseret dalam kekacauan peran.

Kondisi internal KPK seperti itu sangat logis jika mengundang pertanyaan, berapa besar kadar perbedaan di tubuh pimpinan KPK dalam ‘menafsirkan’ kasus korupsi kakap? Masihkah KPK berkomitmen memberantas korupsi? Tidakkah KPK sedang terjebak dalam politik tebang pilih yang sistemik?

Pertanyaan itu merupakan bacaan dan tafsir dari sikap dan ucapan pimpinan KPK yang beberapa kali kurang tegas dan ‘kurang cerdas’ dalam menentukan status tersangka elitis. Masyarakat butuh kepastian hukum, apalagi norma yuridisnya sudah tersedia.

Jika fakta hukum memang memosisikan seseorang terindikasi korupsi kakap, berarti KPK tinggal menetapkannya sebagai tersangka. Sebaliknya, jika KPK masih tidak memiliki legal fact, tidak perlu memaksa kan menetapkan statusnya.

Sikap KPK itu dikonklusi oleh publik sebagai sikap yang mendistorsi dan cenderung mendegradasi prinsip egalitarianisme yuridis. Sikap publik itu tak bisa dianggap sebagai sikap praduga bersalah (presumption of guilt), tetapi merupakan wujud sikap kritis normal masyarakat yang membaca atmosfer jagat hukum internal KPK yang sedang mempertontonkan ambiguitas dan anomalitas.
Sebut saja ada tahanan elitis koruptor menjalani proses penyidikan dan ditahan, faktanya bisa rekreasi ke mana-mana.

Jangan Diistimewakan

Itu jelas suatu paradox bahwa di satu sisi ada proses hukum yang sedang berjalan, tapi di sisi lain proses itu diinjak-injak atau ditelikung sendiri oleh aparat penegak hukum. Sudah beberapa kali publik meminta pada KPK supaya setiap penjahat atau terduga korupsi tidak ada yang diperlakukan istimewa.

Permintaan itu sejalan dengan prinsip penegakan asas persamaan derajat di depan hukum (equality before the law). Selama ini, jagat yuridis kita menjadi sangat buram lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan dalam menerapkan norma egalitarian. Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip egalitarian telah membuat karut-marutnya jagat hukum.

Di tangan penegak hukum, negara sudah memercayakan bagaimana seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan menjadi `hak milik' seseorang, masyarakat, atau negara (rakyat) yang memang seharusnya berhak menerimanya.

Menurut pakar hukum Purbacaraka, bahwa dalam negara hukum tidak bisa dilepaskan dari esensi negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang demokratis, hukum diangkat, dan merupakan respons dari aspirasi rakyat sehingga hukum haruslah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.

Untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau bermanfaat, KPK diberi amanat untuk mewujudkannya. KPK bukan lembaga tong kosong nyaring bunyinya. KPK ini idealnya bisa menjadi penyejarah norma hukum bisa bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan.
Pakar hukum lain, Joeniarto, pun membenarkan negara yang berasaskan the rule of law mengandung konsekuensi bahwa tindakan penguasa dan masyarakat negara harus berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.

Dikorbankan

Ketidakadilan atau diskriminasi bisa dengan mudah diproduksi oleh elite penegak hukum (KPK). Pasalnya, mereka itulah yang dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi generator peradilan, berperan sebagai eksekutor, atau distigma oleh regulasi untuk menjalankan mandat yuridis. Sehingga ketika mandat itu ‘dibengkokkan’, ada banyak sektor yang dikorbankan, di antaranya pencari keadilan dan keuangan negara.

Dalam tubuh KPK juga berisi manusia-manusia biasa yang bisa saja tergelincir dalam pergulatan politik. Jika penyimpangan kode etik profesi itu dilakukan oknum KPK atau ada di antara elemen KPK yang terjerumus melakukan rekayasa hukum (legal engineering) dengan cara menciptakan chaos di internal KPK sehingga egalitarianisme dan prinsip keadilan teramputasi, oknum itu ‘berjasa’ membuat norma yuridis ini terpuruk dalam. Meminjam istilah Kazuo Shimogagi adalah nihilisme total.

Dalam ranah ‘nihilisme total’ itu, apa yang semula sebagai norma yang sepatutnya dijadikan fondasi berperilaku atau panduan kehidupan masyarakat beradab, akhirnya sekadar dikenal. Selain itu, sekadar dibaca sebagai kompilasi ide-ide atau kumpulan citacita masyarakat dan bangsa yang bisa ditemukan dalam buku, piagam, sketsa ideologi bangsa, kitab-kitab suci, dan tidak bisa lagi ditemukan dalam kehidupan masyarakat akibat dilindas oleh perilaku segelintir oknum elite menoleransi timbulnya dan akar lestarinya kekacauan, termasuk ‘kudeta’.

Bagi masyarakat yang masih berfikir normal dan bening nurani, tentulah tidak menginginkan negeri yang berkonstitusikan egalitarianisme ini terjangkit penyakit yang membuat atau konstruksi kehidupannya sarat dengan tumor yang membusukkan KPK.

Sayangnya, dunia peradilan kita masih saja akrab oleh sepak terjang manusia-manusia yang sibuk mengemas dirinya menjadi oportunis. Mereka tidak malu melakukan sesuatu perbuatan yang paradoksal dengan norma yang seharusnya ditegakkan.

Kasus isu kudeta Samad wajib dikembalikan pada koridor peradilan egaliter atau peradilan yang berlaku secara terbuka. Tanpa membedakan, tanpa mendiskriminasikan, tanpa dibentengi sekat-sekat politik, atau tanpa memilah dan memilih siapa yang sedang tersangkut perkara hukum.

Dalam konstitusi kita sudah dijelaskan bahwa setiap orang punya kedudukan secara demokratis dalam hukum dan pemerintahan. Yang ini menuntut konsekuensi bahwa siapa pun yang terlibat dalam perkara hukum, wajib diperlakukan secara egaliter atau sederajat. Dalam Pasal 4 ayat (1) UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM ditegaskan bahwa setiap orang diakui sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di depan hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar