ADA ancaman serius yang wajib menjadi perhatian utama
seluruh elemen bangsa ini seiring dengan konflik internal di tubuh Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK). Ancaman serius ini bernama ‘kudeta’ Ketua
KPK Abraham Samad. Salah satu apologi yang digunakan oleh kelompok
pengudeta ialah kegagalan Samad yang direlasikan dengan keluarnya surat
perintah penyidikan (sprindik) palsu.
Kalau isu April Mop yang dikaitkan dengan Presiden Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) ditempatkan oleh publik sebagai proyek politik halusinasi
atau isapan jempol, ancaman kudeta Samad barangkali tidak demikian. Samad
memang bisa saja terguling dari jabatannya bilamana elemen KPK sendiri
tergiring oleh kekuatan eksternal untuk memanaskan suhu konflik
internalnya dan ‘menikmati’ kekacauan.
Diingatkan oleh Marthin Luther bahwa di tengah kekacauan (chaos)
hanya kaum bajinganlah yang mendapatkan keuntungan. Atas dasar itu, para
koruptor yang merupakan ‘selebritasnya’ komunitas bajinganlah yang menuai
keuntungan berlipat, saat KPK fokus mengurus dirinya atau terseret dalam
kekacauan peran.
Kondisi internal KPK seperti itu sangat logis jika mengundang
pertanyaan, berapa besar kadar perbedaan di tubuh pimpinan KPK dalam
‘menafsirkan’ kasus korupsi kakap? Masihkah KPK berkomitmen memberantas
korupsi? Tidakkah KPK sedang terjebak dalam politik tebang pilih yang
sistemik?
Pertanyaan itu merupakan bacaan dan tafsir dari sikap dan ucapan
pimpinan KPK yang beberapa kali kurang tegas dan ‘kurang cerdas’ dalam
menentukan status tersangka elitis. Masyarakat butuh kepastian hukum, apalagi
norma yuridisnya sudah tersedia.
Jika fakta hukum memang memosisikan seseorang terindikasi korupsi
kakap, berarti KPK tinggal menetapkannya sebagai tersangka. Sebaliknya,
jika KPK masih tidak memiliki legal fact, tidak perlu memaksa kan
menetapkan statusnya.
Sikap KPK itu dikonklusi oleh publik sebagai sikap yang mendistorsi
dan cenderung mendegradasi prinsip egalitarianisme yuridis. Sikap publik
itu tak bisa dianggap sebagai sikap praduga bersalah (presumption of
guilt), tetapi merupakan wujud sikap kritis normal masyarakat yang
membaca atmosfer jagat hukum internal KPK yang sedang mempertontonkan
ambiguitas dan anomalitas.
Sebut saja ada tahanan elitis koruptor menjalani proses penyidikan
dan ditahan, faktanya bisa rekreasi ke mana-mana.
Jangan
Diistimewakan
Itu
jelas suatu paradox bahwa di satu sisi ada proses hukum yang sedang
berjalan, tapi di sisi lain proses itu diinjak-injak atau ditelikung
sendiri oleh aparat penegak hukum. Sudah beberapa kali publik meminta pada
KPK supaya setiap penjahat atau terduga korupsi tidak ada yang
diperlakukan istimewa.
Permintaan
itu sejalan dengan prinsip penegakan asas persamaan derajat di depan hukum
(equality before the law). Selama ini, jagat yuridis kita menjadi
sangat buram lebih disebabkan oleh ketidakberdayaan dalam
menerapkan norma egalitarian. Elemen peradilan yang mengkhianati prinsip
egalitarian telah membuat karut-marutnya jagat hukum.
Di tangan penegak hukum, negara sudah memercayakan bagaimana
seharusnya idealisme yuridis benar-benar menjadi empiris, atau bagaimana keadilan
menjadi `hak milik' seseorang, masyarakat, atau negara (rakyat) yang
memang seharusnya berhak menerimanya.
Menurut pakar hukum Purbacaraka, bahwa dalam negara hukum tidak
bisa dilepaskan dari esensi negara demokrasi. Hukum yang adil hanya ada
dan bisa ditegakkan di negara yang demokratis. Dalam negara yang
demokratis, hukum diangkat, dan merupakan respons dari aspirasi rakyat
sehingga hukum haruslah dari rakyat, oleh rakyat, dan untuk rakyat.
Untuk bisa menjadi hukum yang demokratis atau bermanfaat, KPK
diberi amanat untuk mewujudkannya. KPK bukan lembaga tong kosong nyaring
bunyinya. KPK ini idealnya bisa menjadi penyejarah norma hukum bisa
bekerja seperti melindungi, memenuhi, dan memberdayakan.
Pakar hukum lain, Joeniarto, pun membenarkan negara yang berasaskan
the rule of law mengandung
konsekuensi bahwa tindakan penguasa dan masyarakat negara harus
berdasarkan atas hukum dan bukan berdasarkan atas kekuasaan belaka.
Dikorbankan
Ketidakadilan
atau diskriminasi bisa dengan mudah diproduksi oleh elite penegak hukum (KPK).
Pasalnya, mereka itulah yang dipercaya mengenakan baju hukum, menjadi
generator peradilan, berperan sebagai eksekutor, atau distigma oleh regulasi
untuk menjalankan mandat yuridis. Sehingga ketika mandat itu ‘dibengkokkan’,
ada banyak sektor yang dikorbankan, di antaranya pencari keadilan
dan keuangan negara.
Dalam tubuh KPK juga berisi manusia-manusia biasa yang bisa saja
tergelincir dalam pergulatan politik. Jika penyimpangan kode etik profesi
itu dilakukan oknum KPK atau ada di antara elemen KPK yang terjerumus
melakukan rekayasa hukum (legal
engineering) dengan cara menciptakan chaos di internal KPK sehingga egalitarianisme dan prinsip
keadilan teramputasi, oknum itu ‘berjasa’ membuat norma yuridis ini
terpuruk dalam. Meminjam istilah Kazuo Shimogagi adalah nihilisme total.
Dalam ranah ‘nihilisme total’ itu, apa yang semula sebagai norma
yang sepatutnya dijadikan fondasi berperilaku atau panduan kehidupan
masyarakat beradab, akhirnya sekadar dikenal. Selain itu, sekadar dibaca
sebagai kompilasi ide-ide atau kumpulan citacita masyarakat dan bangsa
yang bisa ditemukan dalam buku, piagam, sketsa ideologi bangsa,
kitab-kitab suci, dan tidak bisa lagi ditemukan dalam kehidupan
masyarakat akibat dilindas oleh perilaku segelintir oknum elite
menoleransi timbulnya dan akar lestarinya kekacauan, termasuk ‘kudeta’.
Bagi masyarakat yang masih berfikir normal dan bening nurani,
tentulah tidak menginginkan negeri yang berkonstitusikan egalitarianisme
ini terjangkit penyakit yang membuat atau konstruksi kehidupannya sarat
dengan tumor yang membusukkan KPK.
Sayangnya, dunia peradilan kita masih saja akrab oleh sepak terjang
manusia-manusia yang sibuk mengemas dirinya menjadi oportunis. Mereka
tidak malu melakukan sesuatu perbuatan yang paradoksal dengan norma yang
seharusnya ditegakkan.
Kasus isu kudeta Samad wajib dikembalikan pada koridor peradilan
egaliter atau peradilan yang berlaku secara terbuka. Tanpa membedakan,
tanpa mendiskriminasikan, tanpa dibentengi sekat-sekat politik, atau
tanpa memilah dan memilih siapa yang sedang tersangkut perkara hukum.
Dalam konstitusi kita sudah dijelaskan bahwa setiap orang punya
kedudukan secara demokratis dalam hukum dan pemerintahan. Yang ini
menuntut konsekuensi bahwa siapa pun yang terlibat dalam perkara hukum,
wajib diperlakukan secara egaliter atau sederajat. Dalam Pasal 4 ayat (1)
UU Nomor 39 Tahun 1999 tentang HAM ditegaskan bahwa setiap orang diakui
sebagai manusia pribadi yang berhak menuntut dan memperoleh perlakuan
serta perlindungan yang sama sesuai dengan martabat kemanusiaannya di
depan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar