Jumat, 05 April 2013

Hidup Sejahtera Putusan (Tetap) ala Kadarnya


Hidup Sejahtera Putusan (Tetap) ala Kadarnya
Reza Indragiri Amriel ;   Penerima Asian Public Intellectual Fellowship,
Konsultan UNODC
MEDIA INDONESIA, 05 April 2013

  
Ditangkap tangannya hakim sekaligus Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, SET, menghadirkan fakta bahwa perbaikan tingkat kesejahteraan tidak sertamerta menghentikan perilaku koruptif para hakim. Perilaku koruptif hakim diendus dari putusan yudisial yang kacau atau bermutu rendah. Publik pun gencar mengecam; untuk apa standar kesejahteraan hakim ditingkatkan jika hakim masih saja berkelakuan bejat dan putusannya tetap saja centang-perenang?

Sejak berbulan silam, dalam berbagai forum saya kemukakan pandangan bahwa kenaikan gaji, tunjangan, dan fasilitas lainnya memang sudah sepatutnya diberikan kepada para hakim mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab mereka. Namun, ketika formula yang sama diajukan guna menghilangkan kasus-kasus korupsi yang dilakukan oleh para `wakil Tuhan', saya sangat meragukan kemujarabannya.

Dengan bertitik tolak dari teori bahwa perilaku manusia merupakan fungsi dari faktor situasi dan faktor disposisi (kondisi atau kecenderungan dari dalam diri manusia sendiri), peningkatan standar kesejahteraan hakim ialah bentuk modifikasi terhadap faktor situasi atau lingkungan kerja. Normalnya, perbaikan kesejahteraan disertai pula dengan pemberatan sanksi atau hukuman. Dengan demikian, para hakim dapat melihat bahwa tidak hanya perilaku positif yang diapresiasi lembaga, tetapi lembaga ternyata juga melakukan tekanan ekstra terhadap perilaku-perilaku menyimpang termasuk korupsi para hakim.

Keseimbangan antara penghargaan dan penghukuman perlu dijaga karena situasi semacam itu juga akan memunculkan sensasi psikologis yang seimbang. Pada satu sisi, seiring dengan perbaikan standar kesejahteraan hakim, muncul rasa bahagia. Pada sisi lain, terbentuk pula perasaan diawasi lebih dekat.
Untuk merealisasikan situasi sedemikian rupa, saya teringat pada acuan penilaian para calon hakim yang United Nations Office on Drugs and Crime (UNODC) susun. Berbasis kompetensi, salah satu kompetensi, yakni `mendengar', menempatkan `memahami hal-hal yang diutarakan para pihak secara akurat dan utuh' pada tingkatan lebih rendah daripada `menampilkan gesture yang meyakinkan para pihak bahwa mereka diperhatikan secara saksama'.

Sepintas, pemeringkatan keduanya terbalik; gesture semestinya lebih rendah daripada memahami. Namun, dengan logika bahwa pemeringkatan tersebut disusun sebagai komponen sekuensial, ketika calon hakim menampilkan gesture memperhatikan, diasumsikan bahwa calon hakim juga telah memahami hal-hal yang relevan pada persidangan.

Konteks Keseimbangan

Urutan seperti itu memberikan pembelajaran bahwa rmenyimak dan memahami merupakan perilaku standar minimal yang harus ditampilkan hakim. Mendengar ialah wajib. Namun, lebih penting lagi, hakim dituntut untuk juga menunjukkan kepada para pihak yang beperkara bahwa mereka memang diperhatikan, dimengerti, dan tidak disepelekan para hakim. Dengan kata lain, ada kriteria tambahan bahwa hakim harus bisa membuat para pihak yang bersidang sungguh-sungguh bisa merasa diperlakukan secara manusiawi, yakni berada pada posisi yang segala tutur katanya penting bagi persidangan.

Demikian pula dalam konteks keseimbangan penghargaan dan penghukuman bagi hakim, Mahkamah Agung (MA) perlu lebih gencar lagi menunjukkan kepada para hakim bahwa, tidak hanya penghargaan, ganjaran bagi hakim-hakim korup pun ditimpakan sebagai langkah yang diprakarsai langsung oleh MA. Penangkapan hakim yang menerima suap, misalnya, sepatutnya berangkat dan dikemas sebagai bentuk kesigapan antisipasi dari otoritas MA sendiri. Bukan ajakan, apalagi tekanan, institusi luar MA. Dengan permulaan seperti itu, barulah MA kemudian bermitra dengan pihak eksternal--dalam hal ini KPK-pada tataran eksekusi.

Tidak melulu lewat operasi tangkap tangan bersama KPK, aksi proaktif juga dapat dijalankan MA dengan membuka lebih luas kesempatan untuk pengaduan internal. Tidak sebatas pengaduan tentang jual beli perkara, pengaduan internal tidak mengecualikan laporan mengenai segala gerak-gerik pelanggaran--sekecil apa pun--Pedoman Perilaku dan Kode Etik Hakim.

Gesture seperti itu, saya yakini, akan berefek nyata. Pemberantasan korupsi yang diinisiatifkan pihak eksternal kerap dipandang sebagai perusakan terhadap harga diri lembaga. Semangat solidaritas korps hakim, apalagi mereka yang bertoga dan berhati hitam, secara alamiah dapat terbangkitkan.
Resistensi terhadap kalangan luar ialah wujudnya. Berbeda dengan apabila perang terhadap korupsi dilakukan secara masif oleh MA sebagai aktor utamanya, sulit bagi hakim untuk melawan karena faktanya selama berpuluh-puluh tahun pula mereka bermata pencarian di institusi MA.

Meningginya statistik laporan tentang perilaku tak semenggah hakim, utamanya yang berasal dari pengaduan internal, juga akan mengirim pesan eksplisit ke publik betapa setiap lini MA telah benar-benar melakukan pembersihan diri. Dengan menjadikan hal tersebut sebagai indikator keberhasilan (key performance indicator) reformasi lembaga, bisa disimpulkan bahwa pemurnian jiwa korsa tidak (lagi) melulu mengandalkan institusi luar MA, melainkan sudah bisa digerakkan oleh para abdi hukum MA sendiri.

Telanjur Tumpul

Perbaikan standar penghasilan hakim, dalam tafsiran saya, didasarkan pada asumsi bahwa hakim melakukan korupsi sebagai solusi atas rapuhnya ketahanan finansial mereka dalam memenuhi kebutuhan seharihari. Keterbatasan finansial membuat integritas hakim terbeli sehingga keluarlah putusan-putusan dengan kualitas yang dicibiri banyak pihak.

Jadi, dengan adanya peningkatan kekuatan finansial, hakim akan lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka. Perilaku korup akan berkurang bahkan berhenti. Karena kerja hakim tak lagi diintervensi oleh korupsi, putusan yudisial pun akan menjadi lebih bermutu.

Walaupun masuk akal, asumsi tersebut tampaknya mengesampingkan unsur waktu dengan hakim mengalami proses pengondisian. Pada poin ini, saya menyetarakan korupsi sebagai faktor yang merusak aktivitas berpikir hakim, dari yang semestinya luas menyeluruh ke proses kognitif yang potong kompas (mental shortcut, heuristic). Alih-alih menghasilkan produk-produk putusan yang berkualitas, proses berpikir yang di-bypass oleh korupsi hampir selalu bisa dipastikan bermuara pada putusan-putusan yang bermutu rendah (terlepas dari kompleksitas mengenai penilaian mutu putusan itu sendiri).

Sebagai akibat proses kognitif yang terpangkas sedemikian rupa, yang berlangsung dalam frekuensi tinggi dan jangka waktu lama, hakim mengalami kemunduran kekuatan kognitif yang sesungguhnya mereka butuhkan untuk mengolah informasi secara lebih utuh dan akurat.

Anjloknya stamina kognitif secara menetap, akibat kebiasaan berpikir jalan pintas dan menyimpang, tidak akan teratasi lewat peningkatan standar kesejahteraan hakim. Performa kognitif pada satu sisi dan tingkat kesejahteraan pada sisi lain tidak berhubungan, apalagi berpengaruh, satu sama lain. Ketahanan finansial yang membaik, katakanlah, membuat hakim hidup lebih tenteram.

Namun, kebahagiaan itu tidak lantas serta-merta membuat kognisi hakim kembali bertaji. Jadi, sulit untuk mengharapkan bahwa hakim yang kini hidup lebih mapan akan mampu menghasilkan putusan-putusan yang lebih bermutu ketimbang pada waktu-waktu sebelumnya.

Upaya untuk membenahi kapasitas berpikir hakim pun tidak semudah membalik telapak tangan. Pasalnya, situasi kerja yang menaungi hakim tidak menjadi lebih kondusif, bahkan justru kian mempersulit hakim untuk bekerja secara lebih optimal. Tandanya ialah berkas perkara yang kian menumpuk, alokasi waktu yang semakin sempit untuk setiap perkara, serta tidak memadainya feedback yang hakim terima sebagai imbas kodrat `sempurna'-nya selaku `wakil Tuhan'.

Ketika mutu putusan tak kunjung membaik, publik akan dapat menyimpulkannya sebagai--lagi-lagi--manifestasi problem integritas hakim.
Simpulan itu akan disikapi oleh sebagian kalangan dengan pendekatan-pendekatan konstruktif, sementara sebagian lainnya akan kembali mengandalkan cara-cara amoral guna memengaruhi putusan hakim. Itu baru sebatas kerumitan pada dimensi kognitif hakim. Belum termasuk lingkup karakter hakim, yang tentunya jauh lebih kompleks lagi. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar