Ditangkap tangannya hakim
sekaligus Wakil Ketua Pengadilan Negeri Bandung, SET, menghadirkan fakta
bahwa perbaikan tingkat kesejahteraan tidak sertamerta menghentikan
perilaku koruptif para hakim. Perilaku koruptif hakim diendus dari
putusan yudisial yang kacau atau bermutu rendah. Publik pun gencar
mengecam; untuk apa standar kesejahteraan hakim ditingkatkan jika hakim
masih saja berkelakuan bejat dan putusannya tetap saja centang-perenang?
Sejak berbulan silam, dalam
berbagai forum saya kemukakan pandangan bahwa kenaikan gaji, tunjangan,
dan fasilitas lainnya memang sudah sepatutnya diberikan kepada para hakim
mengingat beratnya tugas dan tanggung jawab mereka. Namun, ketika formula
yang sama diajukan guna menghilangkan kasus-kasus korupsi yang dilakukan
oleh para `wakil Tuhan', saya sangat meragukan kemujarabannya.
Dengan bertitik tolak dari teori bahwa
perilaku manusia merupakan fungsi dari faktor situasi dan faktor
disposisi (kondisi atau kecenderungan dari dalam diri manusia sendiri),
peningkatan standar kesejahteraan hakim ialah bentuk modifikasi terhadap
faktor situasi atau lingkungan kerja. Normalnya, perbaikan kesejahteraan
disertai pula dengan pemberatan sanksi atau hukuman. Dengan demikian,
para hakim dapat melihat bahwa tidak hanya perilaku positif yang diapresiasi
lembaga, tetapi lembaga ternyata juga melakukan tekanan ekstra terhadap
perilaku-perilaku menyimpang termasuk korupsi para hakim.
Keseimbangan antara penghargaan dan
penghukuman perlu dijaga karena situasi semacam itu juga akan memunculkan
sensasi psikologis yang seimbang. Pada satu sisi, seiring dengan
perbaikan standar kesejahteraan hakim, muncul rasa bahagia. Pada sisi
lain, terbentuk pula perasaan diawasi lebih dekat.
Untuk merealisasikan situasi sedemikian
rupa, saya teringat pada acuan penilaian para calon hakim yang United Nations Office on Drugs and
Crime (UNODC) susun. Berbasis kompetensi, salah satu kompetensi,
yakni `mendengar', menempatkan `memahami hal-hal yang diutarakan para
pihak secara akurat dan utuh' pada tingkatan lebih rendah daripada
`menampilkan gesture yang meyakinkan para pihak bahwa mereka diperhatikan
secara saksama'.
Sepintas, pemeringkatan keduanya
terbalik; gesture semestinya
lebih rendah daripada memahami. Namun, dengan logika bahwa pemeringkatan
tersebut disusun sebagai komponen sekuensial, ketika calon hakim
menampilkan gesture memperhatikan, diasumsikan bahwa calon hakim juga
telah memahami hal-hal yang relevan pada persidangan.
Konteks
Keseimbangan
Urutan seperti itu memberikan pembelajaran
bahwa rmenyimak dan memahami merupakan perilaku standar minimal yang
harus ditampilkan hakim. Mendengar ialah wajib. Namun, lebih penting
lagi, hakim dituntut untuk juga menunjukkan kepada para pihak yang
beperkara bahwa mereka memang diperhatikan, dimengerti, dan tidak
disepelekan para hakim. Dengan kata lain, ada kriteria tambahan bahwa
hakim harus bisa membuat para pihak yang bersidang sungguh-sungguh bisa
merasa diperlakukan secara manusiawi, yakni berada pada posisi yang
segala tutur katanya penting bagi persidangan.
Demikian pula dalam konteks keseimbangan
penghargaan dan penghukuman bagi hakim, Mahkamah Agung (MA) perlu lebih
gencar lagi menunjukkan kepada para hakim bahwa, tidak hanya penghargaan,
ganjaran bagi hakim-hakim korup pun ditimpakan sebagai langkah yang
diprakarsai langsung oleh MA. Penangkapan hakim yang menerima suap,
misalnya, sepatutnya berangkat dan dikemas sebagai bentuk kesigapan
antisipasi dari otoritas MA sendiri. Bukan ajakan, apalagi tekanan,
institusi luar MA. Dengan permulaan seperti itu, barulah MA kemudian
bermitra dengan pihak eksternal--dalam hal ini KPK-pada tataran eksekusi.
Tidak melulu lewat operasi tangkap tangan
bersama KPK, aksi proaktif juga dapat dijalankan MA dengan membuka lebih
luas kesempatan untuk pengaduan internal. Tidak sebatas pengaduan tentang
jual beli perkara, pengaduan internal tidak mengecualikan laporan
mengenai segala gerak-gerik pelanggaran--sekecil apa pun--Pedoman
Perilaku dan Kode Etik Hakim.
Gesture seperti itu, saya yakini, akan berefek nyata. Pemberantasan
korupsi yang diinisiatifkan pihak eksternal kerap dipandang sebagai
perusakan terhadap harga diri lembaga. Semangat solidaritas korps hakim,
apalagi mereka yang bertoga dan berhati hitam, secara alamiah dapat
terbangkitkan.
Resistensi terhadap kalangan luar ialah wujudnya.
Berbeda dengan apabila perang terhadap korupsi dilakukan secara masif
oleh MA sebagai aktor utamanya, sulit bagi hakim untuk melawan karena
faktanya selama berpuluh-puluh tahun pula mereka bermata pencarian di
institusi MA.
Meningginya statistik laporan tentang
perilaku tak semenggah hakim, utamanya yang berasal dari pengaduan
internal, juga akan mengirim pesan eksplisit ke publik betapa setiap lini
MA telah benar-benar melakukan pembersihan diri. Dengan menjadikan hal
tersebut sebagai indikator keberhasilan (key performance indicator) reformasi lembaga, bisa
disimpulkan bahwa pemurnian jiwa korsa tidak (lagi) melulu mengandalkan
institusi luar MA, melainkan sudah bisa digerakkan oleh para abdi hukum
MA sendiri.
Telanjur
Tumpul
Perbaikan standar penghasilan hakim,
dalam tafsiran saya, didasarkan pada asumsi bahwa hakim melakukan korupsi
sebagai solusi atas rapuhnya ketahanan finansial mereka dalam memenuhi
kebutuhan seharihari. Keterbatasan finansial membuat integritas hakim terbeli
sehingga keluarlah putusan-putusan dengan kualitas yang dicibiri banyak
pihak.
Jadi, dengan adanya peningkatan kekuatan
finansial, hakim akan lebih mampu memenuhi kebutuhan mereka. Perilaku
korup akan berkurang bahkan berhenti. Karena kerja hakim tak lagi
diintervensi oleh korupsi, putusan yudisial pun akan menjadi lebih
bermutu.
Walaupun masuk akal, asumsi tersebut
tampaknya mengesampingkan unsur waktu dengan hakim mengalami proses
pengondisian. Pada poin ini, saya menyetarakan korupsi sebagai faktor
yang merusak aktivitas berpikir hakim, dari yang semestinya luas
menyeluruh ke proses kognitif yang potong kompas (mental shortcut, heuristic). Alih-alih menghasilkan
produk-produk putusan yang berkualitas, proses berpikir yang di-bypass oleh korupsi hampir selalu
bisa dipastikan bermuara pada putusan-putusan yang bermutu rendah
(terlepas dari kompleksitas mengenai penilaian mutu putusan itu sendiri).
Sebagai akibat proses kognitif yang
terpangkas sedemikian rupa, yang berlangsung dalam frekuensi tinggi dan
jangka waktu lama, hakim mengalami kemunduran kekuatan kognitif yang
sesungguhnya mereka butuhkan untuk mengolah informasi secara lebih utuh
dan akurat.
Anjloknya stamina kognitif secara
menetap, akibat kebiasaan berpikir jalan pintas dan menyimpang, tidak
akan teratasi lewat peningkatan standar kesejahteraan hakim. Performa
kognitif pada satu sisi dan tingkat kesejahteraan pada sisi lain tidak
berhubungan, apalagi berpengaruh, satu sama lain. Ketahanan finansial
yang membaik, katakanlah, membuat hakim hidup lebih tenteram.
Namun, kebahagiaan itu tidak lantas
serta-merta membuat kognisi hakim kembali bertaji. Jadi, sulit untuk
mengharapkan bahwa hakim yang kini hidup lebih mapan akan mampu
menghasilkan putusan-putusan yang lebih bermutu ketimbang pada waktu-waktu
sebelumnya.
Upaya untuk membenahi kapasitas berpikir
hakim pun tidak semudah membalik telapak tangan. Pasalnya, situasi kerja
yang menaungi hakim tidak menjadi lebih kondusif, bahkan justru kian
mempersulit hakim untuk bekerja secara lebih optimal. Tandanya ialah
berkas perkara yang kian menumpuk, alokasi waktu yang semakin sempit
untuk setiap perkara, serta tidak memadainya feedback yang hakim terima
sebagai imbas kodrat `sempurna'-nya selaku `wakil Tuhan'.
Ketika mutu putusan tak kunjung membaik,
publik akan dapat menyimpulkannya sebagai--lagi-lagi--manifestasi problem
integritas hakim.
Simpulan itu akan disikapi oleh sebagian kalangan dengan
pendekatan-pendekatan konstruktif, sementara sebagian lainnya akan
kembali mengandalkan cara-cara amoral guna memengaruhi putusan hakim. Itu
baru sebatas kerumitan pada dimensi kognitif hakim. Belum termasuk
lingkup karakter hakim, yang tentunya jauh lebih kompleks lagi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar