Selasa, 02 April 2013

Nenek Moyangku Seorang Pelaut, Petani, atau …?


Nenek Moyangku Seorang Pelaut, Petani, atau …?
Ahmad Baedowi  ;  Direktur Pendidikan Yayasan Sukma, Jakarta
MEDIA INDONESIA, 01 April 2013
  

LAGU anak Nenek Moyangku Seorang Pelaut yang begitu melegenda untuk para orangtua yang lahir di bawah 1970-an sudah jarang terdengar. Lagu yang bercerita tentang kebanggaan anak-anak Indonesia sebagai anak bahari seolah tergerus oleh deru modernisasi di bidang informasi dan teknologi. Anak-anak saat ini sudah memandang enteng persoalan garis wilayah geografis Indonesia yang memiliki luas lautan tak berhingga, sehingga kebanggaan akan wawasan Nusantara sudah jarang terdengar.

Sungguh tak bisa dimengerti jika wilayah Nusantara ini sebagian besarnya adalah lautan. Seharusnya Indonesia memiliki armada angkatan laut yang besar dan hebat. Jika benar nenek moyang orang Indonesia seorang pelaut, mengapa jumlah pelaut Indonesia semakin hari semakin sedikit? Nelayan memang banyak, tapi pelaut pasti sedikit. Nelayan melaut karena kondisi ekonomi, bukan karena keterampilan melaut yang tinggi. Kalaupun ada yang melaut dengan kapal canggih, orang Indonesia kebanyakan hanya menjadi ABK (anak buah kapal) alias kuli juga.

Terus, di mana para komodor kita setelah Sam Ratulangi tiada? Jelas bahwa sistem pendidikan kita tak menyebabkan anak-anak mencintai Indonesia karena letak geografisnya yang sebagian besar adalah laut. Kecintaan terhadap laut seharusnya bukan hanya cita-cita, melainkan karena panggilan, calling, atau beruf, yang hanya bisa ditanamkan dalam proses belajar-mengajar di sekolah berbasis kelautan. Pertanyaannya, ada berapa banyak sekolah kita yang memiliki orientasi kelautan? Itu menjadi cukup bukti bahwa jangan-jangan nenek moyang kita memang bukan seorang pelaut.

Padahal, laut seharusnya menjadi sumber inspirasi mata ajar biologi, sains, matematika, dan bahasa yang tak pernah habis untuk diungkap secara kata per kata. Berjalanlah ke Ternate di Maluku Utara, betapa masyarakat punya kecerdasan dan kreativitas luar biasa ketika memberi nama seekor ikan. Ada bubara, baronang, boki, dan lain sebagainya. Beda dengan di Jawa, terutama di Betawi, nama ikan menjadi miskin ide karena dinamai hanya dengan sebutan ikan ekor kuning (karena ekornya kuning) atau ikan kembung (karena perut ikan tersebut kembung?).

Saya membayangkan setiap daerah di Indonesia punya kamus berjalan nama-nama ikan dalam bahasa dan logat daerah, yang kekayaan biota lautnya dengan sendirinya akan memberikan daya tarik luar biasa bagi setiap siswa untuk mencintai laut Indonesia. Belum lagi nama-nama pantai seperti Sulamadaha, Bira, dan Lisawa yang pasti kurang dikenal para siswa.

Anak-anak lebih mengenal Pantai Kuta, Nusa Dua, dan Lovina yang semuanya berada di Bali. Pasti ada ribuan cerita budaya di balik nama setiap pantai yang ada di seluruh Nusantara. Sudahkah kita merekamnya?

Tidak Membanggakan

Atau, mungkin nenek moyang kita seorang petani? Profesi petani berbanding dengan profesi lainnya. Jika kita tanyakan kepada para siswa, pasti jawaban mereka tak ada yang mau jadi petani. Menjadi petani artinya bersiap untuk melarat seumur hidup karena hasil panen selalu digerayangi para tengkulak dan pemodal besar yang tujuannya adalah keun tungan sebanyak-banyaknya.

Banyak anak petani yang mampu kuliah ke kota, ketika selesai, enggan meneruskan profesi orangtuanya sebagai petani. Karena itu, tak mengherankan jika banyak orang desa yang seharusnya bertani berhamburan menjadi penarik becak atau tukang ojek di kota.

Jelas kedua profesi tadi, pelaut ataupun nelayan, tak menyebabkan anak-anak kita bangga untuk menirunya. Penyebabnya sederhana, menjadi pelaut atau petani bukan sesuatu yang membanggakan karena selain tetap miskin, kedua profesi itu rentan dengan segala bentuk ketidakberdayaan. Kita patut cemas dan miris karena baik pelaut maupun petani kita hanya diingat ketika masa kampanye, tetapi dilupakan dalam kurikulum kehidupan sesungguhnya. Sebagai bangsa yang memiliki klaim negara kepulauan dan agraris sekaligus, sepertinya kita memang harus mengelus dada karena otoritas pendidikan selama ini tak memiliki visi untuk membangun tradisi agricultural dan oceanology di sekolah menengah secara dini.

Itulah makanya jika kita bertanya kepada anak-anak kita di sekolah soal cita-cita mereka kelak, hampir dapat dipastikan tak ada yang bercita-cita menjadi pelaut dan petani. Dalam bayangan anak-anak kita, petani dan pelaut adalah penderitaan; mencangkul, mendayung, kepanasan, kehujanan, dan ketika panen tiba hasilnya tak dihargai secara semestinya.

Sistem pendidikan kita memang harus mengubah 180 derajat visi dan misinya, terutama menyangkut keberpihakan kepada potensi laut dan hutan kita yang seenaknya dijarah para tengkulak kapitalisme industri. Sekolah menengah kejuruan (SMK) bidang kelautan dan pertanian harus lebih banyak dibuat agar kecintaan anak-anak terhadap lingkungan menguat.

Parnell (1966) mengingatkan, jika sebagian ahli pendidikan mengatakan learning to know is most important; application can come later, orientasi pendidikan kejuruan kita harus dapat mengembangkan sekolah yang berorientasi kepada kebutuhan kerja yang sesuai dengan kondisi geografis masyarakatnya. Artinya, para penggagas sekolah kejuruan harus meyakinkan otoritas pendidikan bahwa learning to do is most important; knowledge will somehow seep into the process.

Belajar dari pengalaman negara lain yang sukses dengan kelautan dan pertanian, tentu harus ada komitmen dari otoritas pendidikan untuk meletakkan kerangka dasar disiplin siswa dengan keselarasan alam sebagai tempat anak-anak kita berpijak. Seperti pernah ditulis Publilius Syrus, practice is the best of all instructors. Pertanyaannya ialah kapan kita bisa melihat anak-anak sekolah kejuruan atau mahasiswa melakukan praktik kerja nyata di bawah terik matahari hamparan laut yang tak berujung, serta di sawah dan ladang tempat ayah dan ibu pertiwi merawat dan membesarkan mereka? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar