Selasa, 02 April 2013

Memberdayakan Pendidikan Kelautan


Memberdayakan Pendidikan Kelautan
Agus Wibowo  ;  Magister Pendidikan Pascasarjana Universitas Negeri Yogyakarta
MEDIA INDONESIA, 01 April 2013


INDONESIA dikenal akan kekayaan sumber daya alam (SDA) laut yang melimpah, seperti ikan, terumbu karang, wilayah wisata bahari, sumber energi minyak dan gas bumi, serta mineral langka, sekaligus menjadi media perhubungan antarpulau. Kawasan pantai dengan panjang 81 ribu km merupakan wilayah pesisir dengan ekosistem biologis yang kaya akan keanekaragaman sumber daya hayati.

Sayangnya, kekayaan laut itu belum tergarap secara optimal. Dari sumber daya perikanan misalnya, dari 7.872.347 ton potensi lestari ikan, baru sekitar 4,7 juta ton yang bisa ditangkap. Nilai itu setara dengan penghasilan US$1,76 juta. Padahal, pencurian ikan oleh nelayan asing, terutama dari Thailand, setara dengan US$2 miliarUS$4 miliar. Itu artinya nilai kekayaan laut yang dicuri bangsa asing jauh lebih besar daripada yang dimanfaatkan nelayan domestik (Media Indonesia, 5/1/11).

Menurut data Statistik Ekonomi dan Keuangan Indonesia (2009), investasi pada sektor kelautan sangat rendah. Hal itu disebabkan minimnya sumber daya manusia (SDM) yang ahli kelautan, di samping sedikit dari lulusan perguruan tinggi kelautan yang benar-benar ingin menekuni bidang tersebut. Akibat kekurangan SDM pula, dari 8.500 jenis keanekaragaman hayati laut Indonesia, baru sekitar 9-11 jenis yang diteliti. Padahal, keanekaragaman hayati laut kita itu terbesar dan terlengkap di dunia.

Pertanyaan yang muncul kemudian, mengapa kekayaan SDA laut kita yang melimpah itu belum bisa dimanfaatkan secara optimal? Bagaimana strategi agar pendidikan kelautan bisa diberdayakan secara optimal?

Kelas Bawah

Menurut Antar Setiabudi (2010), generasi muda kita kurang berminat menekuni sektor kelautan dan menjadikannya sebagai profesi. Akibatnya, sebagian besar lembaga pendidikan bidang kelautan di berbagai jenjang selalu kekurangan peserta didik. Setiap tahun ajaran baru, jumlah kekurangan itu tidak bergeser pada angka 50%-70% dari fasilitas yang disediakan. Di perguruan tinggi (PT), kondisi serupa juga terjadi. Animo sebagian besar generasi muda lebih pada jurusan-jurusan kependidikan, kedokteran, teknik, dan sebagainya. Jurusan kelautan dan pertanian terkesan `sepi' peminat.

Minimnya peminat jurusan kelautan, lanjut Antar, dipicu pola pikir masyarakat yang cenderung `miring' terhadap laut. Memang harus diakui, paradigma sebagian besar ma syarakat mengenai laut diidentikkan sebagai kolam pembuangan, seperti kasus pembuangan limbah industri, rumah tangga, dan pertanian. Pendek kata, laut itu tak lebih sebagai tempat pembuangan sampah. Karena dianggap sebagai kawasan yang kotor, sektor kelautan tidak lebih baik daripada sektor pertanian. Maka, profesi sebagai pelaut dipandang tidak menguntungkan. Selain penuh risiko secara finansial, taruhannya tidak tanggungtanggung, nyawa!

Bila dilihat dari status sosial, sebagian masyarakat kita memandang profesi di sektor kelautan tidak lebih baik daripada profesi petani. Padahal, profesi petani saja dianggap sebagai kelas dua atau kelas bawah. Sementara itu, profesi sebagai abdi negara seperti PNS, tentara, dan polisi dianggap kelas satu atau kelas atas.

Pola pikir yang `miring' bahkan tidak jarang negatif itu masih ditambah dengan belum berhasilnya pendidikan menggeser mitos tentang laut. Mitos menggambarkan laut sebagai kawasan yang menakutkan, penuh dengan `roh' halus yang setiap saat bisa merenggut nyawa. Di pesisir selatan Pulau Jawa misalnya, ada mitos Nyi Roro Kidul yang dipercaya sebagai ratu laut selatan.
Secara pasti, legenda yang lebih sering dimitoskan dan dibesar-besarkan itu membekas dan memengaruhi pola pikir anak-anak mengenai laut hingga mereka dewasa kelak.

Kondisi sebagaimana disebutkan diperparah dengan minimnya pengetahuan kelautan yang dimasukkan ke kurikulum nasional. Pendek kata, pengetahuan tentang laut hampir-hampir tidak disinggung dalam kurikulum pendidikan kita, dari tingkat dasar hingga menengah. Kalaupun sedikit disinggung, itu atas inisiatif atau kreativitas dari guru yang mengajar, bukan atas instruksi kurikulum. Hal itu tentu saja sangat berbeda dengan negara-negara maritim besar di dunia. Di negara China, Jepang, dan Norwegia, misalnya, sejumlah pengetahuan dasar mengenai kelautan sudah ditanamkan sejak anak-anak duduk di tingkat dasar.

Revitalisasi

Sejatinya profesi di sector kelautan itu jauh lebih menguntungkan, di samping kesempatannya masih terbuka lebar. Tidak hanya bangsa kita yang kekurangan SDM di bidang kelautan, di negara-negara maritim internasional juga tidak jauh berbeda. Menurut data International Maritime Organization (IMO, 2010), kekurangan SDM di bidang kelautan mencapai lebih dari 60 ribu orang setiap tahun. Bahkan, pada 2014, sesuai dengan data IMO, kekurangan SDM mencapai lebih dari 183 ribu perwira pelaut. Jika dilihat dari tingkat penghasilan, gaji menjadi pelaut di dunia internasional tidak sedikit, mulai US$2.000 hingga US$12 ribu.

Dengan sumber daya laut yang melimpah sebagaimana disebutkan, tentu amat sayang jika itu tidak segera dimanfaatkan demi kemakmuran dan kesejahteraan bangsa ini. Lebih sayang lagi jika suatu saat kekayaan itu dieksploitasi SDM asing lantaran generasi muda kita enggan ke laut. Sebelum hal itu menjadi mimpi buruk bagi generasi mendatang dan bangsa ini pada umumnya, tampaknya perlu ada langkah berani dan strategis. Untuk memulai langkah itu, pemerintah bersama masyarakat dan stakeholder pendidikan perlu bekerja sama, merumuskan roadmap pendidikan kelautan yang tepat.

Revitalisasi pendidikan dan pembangunan yang berorientasi kelautan paling tidak mencakup tiga hal. Pertama, pemerintah melalui Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) perlu memasukkan kurikulum pendidikan berbasis kelautan, mulai tingkat dasar (SD/MI) hingga perguruan tinggi. Benar dalam kurikulum terbaru (KTSP) sudah ada kebebasan bagi guru untuk memberikan muatan-muatan materi yang sifatnya lebih sesuai dengan konteks di sekitar anak didik. Bagi yang dekat dengan laut, potensi kelautan itu mungkin selalu disinggung. Namun bagi mereka yang ada di gunung, tentu lain lagi ceritanya.

Dengan dimasukkannya kurikulum berbasis kelautan itu, tulis Y Paonganan (2010), bangsa ini ke depan dapat memusatkan perhatian pada pembangunan kelautan guna menggali potensi kekayaan laut tersebut.

Kedua, pendidikan tinggi kelautan perlu diperbaiki, baik dari sisi kurikulum maupun fasilitasnya. Karena minimnya pengetahuan tentang kelautan sejak dasar, sedangkan di lembaga pendidikan tinggi kelautan kurikulumnya kurang adaptif, tidak mengherankan jika SDM yang diluluskan tergolong rendah.

Lulusan pendidikan kelautan kita, kata Kepala Harian Badan Koordinasi Keamanan Laut Laksamana Madya Y Didik Heru Purnomo (2010), masih jauh dari standar internasional. Akibatnya, mereka sulit bersaing dengan tenaga kelautan asing.

Guna memperbaiki kelemahan sekaligus mengatasi ketertinggalan dari bangsa maritim lain, kurikulum pendidikan tinggi kelautan harus lebih adaptif dengan kemajuan dan perlu mempertajam kecakapan mahasiswanya di bidang kelautan, di samping lebih fokus pada pendalaman materi bahasa Inggris. Pendalaman bahasa Inggris menjadi penting mengingat untuk memenuhi kebutuhan pasar dunia internasional, salah satu syaratnya ialah lulusan harus benar-benar fasih berbahasa asing. Di Filipina, misalnya, pelajaran kelautan sudah disampaikan dalam bahasa Inggris.

Ketiga, pola pembangunan perlu segera diorientasikan ke pengembangan bidang kelautan. Orientasi tersebut bertujuan agar SDA kelautan bisa dimanfaatkan secara maksimal demi kesejahteraan dan kemakmuran rakyat. Pengelolaan tata ruang daerah juga perlu dialihkan dari darat (kontinental) ke laut.

Selama ini banyak daerah sebenarnya memiliki pantai yang panjang, tetapi orientasi tata ruang mereka lebih dominan ke darat. Untuk mewujudkan hal itu, dalam jangka panjang, pemerintah tentu tidak bisa bekerja sendiri. Pemerintah perlu berkoordinasi dan bekerja sama dengan berbagai pihak. Koordinasi pemerintah terutama Kementerian Kelautan dan Perikanan bersama dengan perguruan tinggi, misalnya, bertujuan untuk berinvestasi mencetak tenaga ahli kelautan. Sementara itu, koordinasi pemerintah dengan industri juga diperlukan untuk mengintegrasi investasi (terutama infrastruktur) dalam menggarap potensi kelautan tersebut.

Pembangunan yang berorientasi kelautan pada awalnya memang membutuhkan anggaran tidak sedikit. Andai saja SDA laut kita bisa dimanfaatkan secara maksimal, kata banyak para pakar dan ahli, tidak akan ada lagi pengangguran atau penduduk miskin di negeri ini. Tentu saja pemanfaatan yang benar-benar sampai dan dinikmati segenap rakyat Indonesia, tidak hanya pada segelintir orang, golongan, atau oknum tertentu. Pertanyaannya, beranikah pemerintah bersama stakeholder merevitalisasi pendidikan kelautan yang ditopang dengan pembangunan berorientasi kelautan? 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar