Rabu, 10 April 2013

Negeri Hukum Rimba


Negeri Hukum Rimba
Ahmad Yani  ;  Wakil Ketua Fraksi PPP DPR RI     
KORAN SINDO, 10 April 2013

  
Hukum diingkari, anarkisme dipilih; inilah tren yang sedang subur dan terus menggejala. Alih-alih bergerak maju, upaya mewujudkan supremasi hukum yang diagendakan dalam reformasi bangsa justru mengalami kemunduran sangat signifikan. 

Hakikat “Indonesia Negara Hukum” bahkan nyaris menjadi sekadar ungkapan tanpa makna. Kalau dipilah menurut persentase, tinggal sedikit saja masyarakat Indonesia yang memilih hukum sebagai solusi. Persentase terbesar memilih cara mereka sendiri, baik untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar atas berbagai persoalan yang mereka hadapi.Tindak anarkisme serta menginisiasi konflik horizontal atau konflik komunal menjadi pilihan banyak komunitas. 

Intensitasnya terus meningkat dalam tahun-tahun terakhir ini. Apresiasi sebagian besar masyarakat terhadap supremasi hukum terus mengalami penurunan. Karena itu, rangkaian peristiwa tindak anarkisme dan konflik komunal yang masif di seluruh pelosok negeri bukan lagi sekadar indikator, melainkan jelas-jelas sudah menjadi bukti paling sahih tentang ketidakpercayaan sebagian besar masyarakat terhadap institusi penegak hukum di negara ini. 

Tak perlu lagi survei, pun jajak pendapat. Supremasi hukum, hakikatnya, memang tak tergoyahkan. Pun tak pernah bisa lekang oleh perubahan zaman. Bergantung pada kehendak manusia atau komunitasnya untuk menjaga dan menghormati supremasi hukum itu. Kalau semua elemen dalam komunitas bangsa ingin dan konsisten menegakan hukum sebagai panglima, supremasi hukum akan terjaga dan bernilai tambah. 

Sebaliknya, supremasi hukum tak akan bernilai tambah bagi komunitas apa pun jika penegakan hukum sarat dengan praktik perselingkuhan atau tebang pilih. Sistem dan instrumen hukum Indonesia terkini pada dasarnya mampu merespons aneka persoalan hukum yang mengemuka dalam hidup keseharian masyarakat. Jika sistem dan instrumen hukum dilaksanakan sebagaimana seharusnya, semua elemen masyarakat akan menjadikan supremasi hukum sebagai solusi dan panduan sehingga spontanitas tindak anarkisme dan konflik komunal tidak akan marak seperti akhir-akhir ini. 

Namun, karena praktik penegakan hukum terkini sarat kepentingan, tebang pilih, dan rekayasa, masyarakat menilai sistem dan instrumen hukum gagal mewujudkan asas keadilan dalam menyelesaikan sejumlah persoalan hukum, dari kasus- kasus yang strategis hingga kasus hukum yang sederhana. Supremasi hukum, dalam pandangan sebagian besar masyarakat, tidak bernilai tambah. 

Identitas “Indonesia Negara Hukum” hampir kehilangan maknanya. Maka itu, di tengah dinamika kehidupan masyarakat akhirakhir ini, mulai terbentuk arus pengingkaran terhadap supremasi hukum. Demikian kuatnya arus itu sehingga langsung mewabah ke seantero negeri. Bentrok antarwarga desa, konflik antarkelompok pemuda, perkelahian antarkelompok pelajar, serta bentrok antara warga versus polisi dan satuan-satuan kerja pemerintah daerah terjadi di mana-mana, baik di kota maupun desa. 

Tak jarang konflik itu berdarah-darah hingga jatuh korban tewas. Mereka yang terlibat konflik tidak mau lagi mempraktikkan tradisi dan asas musyawarah untuk mufakat. Hukum rimba dijadikan panglima; siapa yang kuat akan menang. Kasus terbaru pengingkaran supremasi hukum memuncak dalam peristiwa serangan sekelompok orang profesional bersenjata ke Lembaga Pemasyarakatan Cebongan, Sleman di Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari. 

Tak terbayangkan sebelumnya, pembantaian empat nyawa akan terjadi di Yogyakarta, kota budaya dan wisata yang selama ini nyaman dan tenang. Karena Yogyakarta sudah go global, berita pembantaian Sleman langsung mendunia. Masih di hari yang sama, tetapi di lokasi berbeda, giliran fasilitas Polri di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, yang diserang. Sabtu (23/3) pagi sekitar pukul 07.00, warga Desa Aek Buaton, Kecamatan Aek Nabara Barumun, mendatangi Mapolsek Barumun Tengah, mempertanyakan penangkapan tiga warganya. 

Tiga orang itu ditangkap polisi ketika sedang menjaga tanah ulayat yang sedang disengketakan beberapa pihak, termasuk warga Aek Buaton. Polisi mengklaim, jumlah warga mencapai ratusan orang. Sedikitnya, sembilan warga tertembak akibat bentrok dengan polisi karena menyerang Mapolsek Barumun Tengah. Dua di antaranya sempat dilaporkan dalam keadaan kritis. 

Dua pekan sebelumnya terjadi pula penyerangan Markas Kepolisian Resor Ogan Komering Ulu (OKU), Baturaja, Sumatera Selatan, oleh puluhan anggota TNI, Kamis (7/3) pagi. Dalam insiden ini empat orang terluka, termasuk Kepala Polsek Martapura AKP Riduan. Dia diduga dikeroyok puluhan oknum TNI yang datang menggunakan motor dan membawa sangkur. Kantor Mapolres dirusak dan dibakar. 

Lamban dan Gagal 

Masih banyak catatan tentang konflik berdarah yang melibatkan antarkelompok masyarakat maupun kelompok masyarakat versus aparat pemerintah daerah dan aparat keamanan. Semua terjadi akibat pengingkaran institusi penegak hukum terhadap supremasi hukum itu sendiri. Dalam banyak kasus, kehadiran negara selalu terlambat. Mereka yang menjadi korban bahkan amat kecewa karena merasa negara dengan perangkat hukum dan keamanannya tidak hadir pada saat-saat genting. 

Kementerian Dalam Negeri mencatat, sejak 2010 hingga menjelang akhir 2012 konflik sosial di sejumlah daerah memperlihatkan kecenderungan yang meningkat. Pada 2010 terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik. Pada periode Januari–Agustus 2012 terjadi 89 konflik. Sedangkan menurut Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dari 183 daerah tertinggal, 143 di antaranya daerah rawan konflik. Ada beberapa penyebab terjadi konflik sosial. 

Mulai dari faktor ekonomi, sosial budaya, agama, hingga politik. Dewasa ini Kemendagri harus terus berkoordinasi dengan semua daerah untuk melakukan antisipasi dan memantau dinamika 6.334 kecamatan di seluruh pelosok Tanah Air. Dengan model kegiatan seperti ini, tidak banyak persoalan yang bisa diselesaikan sebab kegiatan seperti ini hanya bisa mencegah atau melerai konflik, tanpa menyelesaikan akar masalahnya. 

Maka itu, idealnya, kegiatan Kemendagri dengan semua daerah itu didukung oleh program khusus yang fokus pada pendekatan proses hukum untuk menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi sumber potensi konflik. Utamanya pada potensi konflik yang berlatar belakang sengketa agraria. Institusi penegak hukum perlu memberi perhatian ekstra pada isu ini karena kecenderungannya cukup mengkhawatirkan. 

Apalagi, jumlah korban jiwa pun tak bisa dibilang sedikit. Pada 2012 misalnya Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 198 kasus konflik pertanahan di seluruh Indonesia. Kalau mengacu pada catatan 2010 dan 2011, kasus konflik agraria memang terus meningkat. Tahun lalu luas areal yang disengketakan sudah mencapai 963.411,2 hektare lebih, melibatkan kepentingan 141.915 keluarga. Mereka berhak menerima perlakuan manusiawi dari negara. 

Dalam konteks supremasi hukum, tak terdapat cukup alasan untuk bangga atau bertepuk dada. Sebagian masyarakat boleh terkagum-kagum dengan catatan kinerja Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi apa yang dicapai KPK hari ini tidak merepresentasikan kinerja penegakan hukum dalam konteks keseluruhan. KPK hanya membidik koruptor. Sedangkan persoalan hukum yang menyelimuti negara dan rakyat amat beragam. 

Di luar kasus korupsi masih amat banyak kasus hukum yang proses hukumnya belum ditangani institusi penegak hukum sebagaimana seharusnya. Kelambanan serta kegagalan sistem dan instrumen hukum merespons begitu banyak kasus hukum itulah yang tak jarang menjadi pemicu konflik horizontal di berbagai daerah. Wajar bagi siapa saja untuk prihatin karena wajah Indonesia terkini ternyata masih banyak menyimpan potensi konflik. 

Tragedi Mesuji pada 2010- 2011 hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua komponen bangsa. Akar permasalahan tragedi kemanusiaan di Mesuji, Lampung dan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan tersebut merupakan pengingkaran terhadap supremasi hukum. Pengingkaran yang menyebabkan sistem hukum gagal melindungi kepentingan masyarakat dan memberi akses bagi korporasi untuk berperilaku tamak. Ini harus dihentikan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar