Hukum
diingkari, anarkisme dipilih; inilah tren yang sedang subur dan terus
menggejala. Alih-alih bergerak maju, upaya mewujudkan supremasi hukum
yang diagendakan dalam reformasi bangsa justru mengalami kemunduran
sangat signifikan.
Hakikat
“Indonesia Negara Hukum” bahkan nyaris menjadi sekadar ungkapan tanpa
makna. Kalau dipilah menurut persentase, tinggal sedikit saja masyarakat
Indonesia yang memilih hukum sebagai solusi. Persentase terbesar memilih
cara mereka sendiri, baik untuk menyelesaikan atau mencari jalan keluar
atas berbagai persoalan yang mereka hadapi.Tindak anarkisme serta
menginisiasi konflik horizontal atau konflik komunal menjadi pilihan
banyak komunitas.
Intensitasnya
terus meningkat dalam tahun-tahun terakhir ini. Apresiasi sebagian besar
masyarakat terhadap supremasi hukum terus mengalami penurunan. Karena
itu, rangkaian peristiwa tindak anarkisme dan konflik komunal yang masif
di seluruh pelosok negeri bukan lagi sekadar indikator, melainkan
jelas-jelas sudah menjadi bukti paling sahih tentang ketidakpercayaan
sebagian besar masyarakat terhadap institusi penegak hukum di negara ini.
Tak perlu
lagi survei, pun jajak pendapat. Supremasi hukum, hakikatnya, memang tak
tergoyahkan. Pun tak pernah bisa lekang oleh perubahan zaman. Bergantung
pada kehendak manusia atau komunitasnya untuk menjaga dan menghormati
supremasi hukum itu. Kalau semua elemen dalam komunitas bangsa ingin dan
konsisten menegakan hukum sebagai panglima, supremasi hukum akan terjaga
dan bernilai tambah.
Sebaliknya,
supremasi hukum tak akan bernilai tambah bagi komunitas apa pun jika
penegakan hukum sarat dengan praktik perselingkuhan atau tebang pilih.
Sistem dan instrumen hukum Indonesia terkini pada dasarnya mampu
merespons aneka persoalan hukum yang mengemuka dalam hidup keseharian
masyarakat. Jika sistem dan instrumen hukum dilaksanakan sebagaimana
seharusnya, semua elemen masyarakat akan menjadikan supremasi hukum
sebagai solusi dan panduan sehingga spontanitas tindak anarkisme dan
konflik komunal tidak akan marak seperti akhir-akhir ini.
Namun, karena
praktik penegakan hukum terkini sarat kepentingan, tebang pilih, dan
rekayasa, masyarakat menilai sistem dan instrumen hukum gagal mewujudkan
asas keadilan dalam menyelesaikan sejumlah persoalan hukum, dari kasus-
kasus yang strategis hingga kasus hukum yang sederhana. Supremasi hukum,
dalam pandangan sebagian besar masyarakat, tidak bernilai tambah.
Identitas
“Indonesia Negara Hukum” hampir kehilangan maknanya. Maka itu, di tengah
dinamika kehidupan masyarakat akhirakhir ini, mulai terbentuk arus
pengingkaran terhadap supremasi hukum. Demikian kuatnya arus itu sehingga
langsung mewabah ke seantero negeri. Bentrok antarwarga desa, konflik
antarkelompok pemuda, perkelahian antarkelompok pelajar, serta bentrok
antara warga versus polisi dan satuan-satuan kerja pemerintah daerah
terjadi di mana-mana, baik di kota maupun desa.
Tak jarang
konflik itu berdarah-darah hingga jatuh korban tewas. Mereka yang
terlibat konflik tidak mau lagi mempraktikkan tradisi dan asas musyawarah
untuk mufakat. Hukum rimba dijadikan panglima; siapa yang kuat akan
menang. Kasus terbaru pengingkaran supremasi hukum memuncak dalam
peristiwa serangan sekelompok orang profesional bersenjata ke Lembaga
Pemasyarakatan Cebongan, Sleman di Yogyakarta, Sabtu (23/3) dini hari.
Tak
terbayangkan sebelumnya, pembantaian empat nyawa akan terjadi di Yogyakarta,
kota budaya dan wisata yang selama ini nyaman dan tenang. Karena
Yogyakarta sudah go global, berita pembantaian Sleman langsung mendunia.
Masih di hari yang sama, tetapi di lokasi berbeda, giliran fasilitas
Polri di Kabupaten Padang Lawas, Sumatera Utara, yang diserang. Sabtu
(23/3) pagi sekitar pukul 07.00, warga Desa Aek Buaton, Kecamatan Aek
Nabara Barumun, mendatangi Mapolsek Barumun Tengah, mempertanyakan
penangkapan tiga warganya.
Tiga orang
itu ditangkap polisi ketika sedang menjaga tanah ulayat yang sedang
disengketakan beberapa pihak, termasuk warga Aek Buaton. Polisi
mengklaim, jumlah warga mencapai ratusan orang. Sedikitnya, sembilan
warga tertembak akibat bentrok dengan polisi karena menyerang Mapolsek
Barumun Tengah. Dua di antaranya sempat dilaporkan dalam keadaan kritis.
Dua pekan
sebelumnya terjadi pula penyerangan Markas Kepolisian Resor Ogan Komering
Ulu (OKU), Baturaja, Sumatera Selatan, oleh puluhan anggota TNI, Kamis
(7/3) pagi. Dalam insiden ini empat orang terluka, termasuk Kepala Polsek
Martapura AKP Riduan. Dia diduga dikeroyok puluhan oknum TNI yang datang
menggunakan motor dan membawa sangkur. Kantor Mapolres dirusak dan
dibakar.
Lamban dan Gagal
Masih banyak
catatan tentang konflik berdarah yang melibatkan antarkelompok masyarakat
maupun kelompok masyarakat versus aparat pemerintah daerah dan aparat
keamanan. Semua terjadi akibat pengingkaran institusi penegak hukum
terhadap supremasi hukum itu sendiri. Dalam banyak kasus, kehadiran
negara selalu terlambat. Mereka yang menjadi korban bahkan amat kecewa
karena merasa negara dengan perangkat hukum dan keamanannya tidak hadir
pada saat-saat genting.
Kementerian
Dalam Negeri mencatat, sejak 2010 hingga menjelang akhir 2012 konflik
sosial di sejumlah daerah memperlihatkan kecenderungan yang meningkat.
Pada 2010 terdata 93 konflik dan per 2011 sebanyak 77 konflik. Pada
periode Januari–Agustus 2012 terjadi 89 konflik. Sedangkan menurut
Kementerian Pembangunan Daerah Tertinggal (PDT), dari 183 daerah
tertinggal, 143 di antaranya daerah rawan konflik. Ada beberapa penyebab
terjadi konflik sosial.
Mulai dari
faktor ekonomi, sosial budaya, agama, hingga politik. Dewasa ini
Kemendagri harus terus berkoordinasi dengan semua daerah untuk melakukan
antisipasi dan memantau dinamika 6.334 kecamatan di seluruh pelosok Tanah
Air. Dengan model kegiatan seperti ini, tidak banyak persoalan yang bisa
diselesaikan sebab kegiatan seperti ini hanya bisa mencegah atau melerai
konflik, tanpa menyelesaikan akar masalahnya.
Maka itu,
idealnya, kegiatan Kemendagri dengan semua daerah itu didukung oleh
program khusus yang fokus pada pendekatan proses hukum untuk
menyelesaikan persoalan-persoalan yang menjadi sumber potensi konflik.
Utamanya pada potensi konflik yang berlatar belakang sengketa agraria.
Institusi penegak hukum perlu memberi perhatian ekstra pada isu ini
karena kecenderungannya cukup mengkhawatirkan.
Apalagi,
jumlah korban jiwa pun tak bisa dibilang sedikit. Pada 2012 misalnya
Konsorsium Pembaruan Agraria (KPA) mencatat 198 kasus konflik pertanahan
di seluruh Indonesia. Kalau mengacu pada catatan 2010 dan 2011, kasus
konflik agraria memang terus meningkat. Tahun lalu luas areal yang
disengketakan sudah mencapai 963.411,2 hektare lebih, melibatkan
kepentingan 141.915 keluarga. Mereka berhak menerima perlakuan manusiawi
dari negara.
Dalam konteks
supremasi hukum, tak terdapat cukup alasan untuk bangga atau bertepuk
dada. Sebagian masyarakat boleh terkagum-kagum dengan catatan kinerja
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), tetapi apa yang dicapai KPK hari ini
tidak merepresentasikan kinerja penegakan hukum dalam konteks
keseluruhan. KPK hanya membidik koruptor. Sedangkan persoalan hukum yang
menyelimuti negara dan rakyat amat beragam.
Di luar kasus
korupsi masih amat banyak kasus hukum yang proses hukumnya belum
ditangani institusi penegak hukum sebagaimana seharusnya. Kelambanan
serta kegagalan sistem dan instrumen hukum merespons begitu banyak kasus
hukum itulah yang tak jarang menjadi pemicu konflik horizontal di
berbagai daerah. Wajar bagi siapa saja untuk prihatin karena wajah
Indonesia terkini ternyata masih banyak menyimpan potensi konflik.
Tragedi
Mesuji pada 2010- 2011 hendaknya menjadi pelajaran berharga bagi semua
komponen bangsa. Akar permasalahan tragedi kemanusiaan di Mesuji, Lampung
dan Ogan Komering Ilir, Sumatera Selatan tersebut merupakan pengingkaran
terhadap supremasi hukum. Pengingkaran yang menyebabkan sistem hukum
gagal melindungi kepentingan masyarakat dan memberi akses bagi korporasi
untuk berperilaku tamak. Ini harus dihentikan. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar