Rabu, 10 April 2013

Negeri Api dalam Sekam


Negeri Api dalam Sekam
Erwin Ramedhan  ;  Dosen di President University, Mantan Direktur WTC Jakarta    
KORAN SINDO, 10 April 2013
  

Ketika menjadi staf khusus menko perekonomian (2003-2004), saya pernah dilobi oleh Total EP untuk memengaruhi pemerintah memperpanjang Blok Mahakam yang akan habis kontrak pada 2017. 

Saya tak bisa memenuhi permintaan mereka karena pemerintah saat itu memiliki kebijakan yang tegas untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian energi. Blok migas yang habis masa kontrak tak akan diperpanjang. Dari pengalaman tersebut saya mendapat gambaran, untuk mendapatkan perpanjangan blok-blok migas yang akan habis masa kontrak, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sangat aktifmelakukanlobi-lobikepada pembuat kebijakan di setiap era pemerintahan. 

Kondisi demikian juga yang saya bayangkan dilakukan Total pada era pemerintahan sekarang, yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan memperpanjang atau tidak sebelum habis masa kontrak pada 2017. Lobi-lobi semacam itu tentu sah-sah saja dilakukan, apalagi perpanjangan blok ini bisnis besar. Namun yang menjadi pertanyaan, akankah permintaan Total itu harus dikabulkan pemerintah? 

Kalau melihat kecenderungan pemberitaan di media, pemerintah memang ingin mengambil jalan tengah. Blok tersebut tetap akan diberikan kepada Total, tetapi untuk menenangkan publik, pemerintah juga akan memberikan participating interest (PI) yang signifikankepada Pertaminadan kemungkinan daerah juga dikasih. Tapi, ujungnya, operatorshiptetapdiberikankepada Total. 

Dilihat Sebelah Mata 

Memang banyak alasan yang diungkapkan pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak. Seperti dari aspek teknologi, finansial, dan SDM, Indonesia dinilai tidak mampu. Sungguh alasan pemerintah yang cukup menyakitkan bagi anak bangsa, perusahaan nasional, dan BUMN. Bayangkan, ahli-ahli Indonesia yang banyak diperebutkan dan memiliki prestasi cemerlang di luar negeri diremehkan pemerintahnya sendiri. Begitu juga dari segi teknologi. 

Perusahaan nasional dan BUMN yang telah mampu mengelola dan meningkatkan produksi migas di berbagai blok lepas pantai dilihat dengan sebelah mata oleh pemerintahnya sendiri. Begitu juga dari segi finansial. Sebuah blok yang memiliki kepastian produksi tentu tidak akan sulit mendapatkan pendanaan. Apalagi para pemilik modal di AS dan Eropa yang negerinya tengah dilanda krisis. Mereka tentu sangat berminat untuk membiayai Mahakam. 

Lantas tepatkah perusahaan nasional dan BUMN kita tak mampu menggalang dana finansial? Belum lagi perusahaan nasional dan BUMN di bidang migas kini belanja modalnya (capex) sudah ada yang bisa mencapai USD6,5 miliar. Tentu mendanai Mahakam tidaklah terlalu berat karena banyak skema pembiayaan yang bisa mereka lakukan. Apalagi dana pengembangan itu bisa dilakukan secara bertahap sesuai kebutuhan. 

Dari gambaran tersebut, bila pemerintah tetap ingin memberikan Mahakam kepada Total, pertanyaan mendasar, apa yang akan diwariskan pemerintah sekarang ini untuk generasi mendatang? Pertanyaan semacam itu perlu diajukan, bukan hanya kali ini perpanjangan kontrak blok migas tetap diberikan kepada KKKS asing. 

Menuntut Keadilan 

Publik tentu masih ingat bagaimana pemerintah tetap memberikan operatorship kepada Exxon di Blok Cepu (2006), sekalipun publik menentang habis-habisan. Pemerintah nyaris memberikan West Madura Offshore (WMO) kepada Kodeco, tapi gagal setelah publik menyatakan sikap berlawanan. Meski di batas waktu, pemerintah kemudian akhirnya memberikan operatorship WMO kepada Pertamina (2011) dan tetap mengikutsertakan Kodeco sebagai pemegang saham minoritas. Tapi, pemerintah tampaknya tak mau belajar dari kasus WMO. Mereka mencoba menafikan keinginan publik dengan meremehkan potensi anak bangsa dan BUMN. 

Tak ada sikap tegas pemerintah, sebagaimana di Venezuela dan Bolivia, dua negara Amerika Latin yang secara tegas ingin menegakkan kedaulatan energinya. Justru tabiat neoliberalisme terus pemerintah kobarkan meskipun publik menolak mentah-mentah. Saya melihat sikap demikian cepat atau lambat bisa menjadi api dalam sekam. Mungkin api itu sekarang masih kecil dan tak kelihatan. 

Namun, bila melihat kebijakan impor daging, gejolak harga bawang, dan cabai, yang menjadi kebutuhan hari-hari masyarakat, negeri ini sesungguhnya seperti api dalam sekam yang berpotensi membesar. Gerakan masyarakat di Mesir, Tunisia, dan Libya hingga menjatuhkan rezim tentu tidak lepas dari kebijakan pangan dan energi yang tidak prorakyat. Bayangkan, di Tunisia sebuah rezim bisa jatuh karena seorang pedagang buah yang membakar diri sebagai protes terhadap penggusuran usahanya. 

Setelah ditelusuri, rakyat marah kepada rezim karena kebijakan pangan dan energi di negeri tersebut menyengsarakan rakyat. Begitu pula di Mesir dan Libya. Memang bangsa ini telah melewati gejolak sosial, politik, dan ekonomi yang mahadahsyat pada 1997/1998. Namun, mencermati kebijakan di bidang pangan dan energi dewasa ini yang kurang prorakyat bisa menyulut api tersebut membara sebagaimana di Timur Tengah karena publik menuntut keadilan. 

Blok Mahakam yang terletak di perairan Kalimantan Timur tampak “tak tersentuh” oleh pribumi. Sejak 31 Maret 1967, Blok Mahakam secara resmi dikelola Total E&P Indonesia (Perancis) dan Inpex Corporation (Jepang) untuk jangka waktu 30 tahun. Selanjutnya pada 1997 kontrak tersebut diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun yang akan berakhir pada 2017. Di bawah pengelolaan Total, Blok Mahakam memang tetap memberikan kontribusinya bagi bangsa. 

Hanya, sejumlah profit yang diambil para kontraktor dianggap sebagai suatu hal yang inkonstitusional karena berarti migas Indonesia tidak digunakan sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Lantas salahkah kalau publik kini menuntut keadilan setelah 50 tahun tepatnya sampai 2017 blok itu dinikmati kontraktor asing, saatnya dikembalikan ke negara untuk kemudian diserahkan kepada perusahaan nasional agar bisa dimanfaatkan sepenuhnya untuk rakyat? 

Presiden Soeharto, sekalipun kita tidak setuju dengan kepemimpinannya, banyak warisan sejarah yang ia tinggalkan untuk generasi sekarang dan masa mendatang. Pada era Soeharto ada swasembada pangan dan Kelompencapir yang melegenda. Lalu pada era SBY ini apa yang bisa diwariskan kepada generasi sekarang dan masa mendatang kalau Mahakam saja tidak diberikan kepada anak bangsa.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar