Ketika
menjadi staf khusus menko perekonomian (2003-2004), saya pernah dilobi
oleh Total EP untuk memengaruhi pemerintah memperpanjang Blok Mahakam
yang akan habis kontrak pada 2017.
Saya tak bisa
memenuhi permintaan mereka karena pemerintah saat itu memiliki kebijakan
yang tegas untuk mewujudkan kedaulatan dan kemandirian energi. Blok migas
yang habis masa kontrak tak akan diperpanjang. Dari pengalaman tersebut
saya mendapat gambaran, untuk mendapatkan perpanjangan blok-blok migas
yang akan habis masa kontrak, kontraktor kontrak kerja sama (KKKS) sangat
aktifmelakukanlobi-lobikepada pembuat kebijakan di setiap era
pemerintahan.
Kondisi
demikian juga yang saya bayangkan dilakukan Total pada era pemerintahan
sekarang, yang memiliki kewenangan untuk memutuskan dan memperpanjang
atau tidak sebelum habis masa kontrak pada 2017. Lobi-lobi semacam itu
tentu sah-sah saja dilakukan, apalagi perpanjangan blok ini bisnis besar.
Namun yang menjadi pertanyaan, akankah permintaan Total itu harus
dikabulkan pemerintah?
Kalau melihat
kecenderungan pemberitaan di media, pemerintah memang ingin mengambil
jalan tengah. Blok tersebut tetap akan diberikan kepada Total, tetapi
untuk menenangkan publik, pemerintah juga akan memberikan participating interest (PI) yang
signifikankepada Pertaminadan kemungkinan daerah juga dikasih. Tapi,
ujungnya, operatorshiptetapdiberikankepada Total.
Dilihat Sebelah Mata
Memang banyak
alasan yang diungkapkan pemerintah untuk memberikan perpanjangan kontrak.
Seperti dari aspek teknologi, finansial, dan SDM, Indonesia dinilai tidak
mampu. Sungguh alasan pemerintah yang cukup menyakitkan bagi anak bangsa,
perusahaan nasional, dan BUMN. Bayangkan, ahli-ahli Indonesia yang banyak
diperebutkan dan memiliki prestasi cemerlang di luar negeri diremehkan
pemerintahnya sendiri. Begitu juga dari segi teknologi.
Perusahaan
nasional dan BUMN yang telah mampu mengelola dan meningkatkan produksi
migas di berbagai blok lepas pantai dilihat dengan sebelah mata oleh
pemerintahnya sendiri. Begitu juga dari segi finansial. Sebuah blok yang
memiliki kepastian produksi tentu tidak akan sulit mendapatkan pendanaan.
Apalagi para pemilik modal di AS dan Eropa yang negerinya tengah dilanda
krisis. Mereka tentu sangat berminat untuk membiayai Mahakam.
Lantas
tepatkah perusahaan nasional dan BUMN kita tak mampu menggalang dana
finansial? Belum lagi perusahaan nasional dan BUMN di bidang migas kini
belanja modalnya (capex) sudah
ada yang bisa mencapai USD6,5 miliar. Tentu mendanai Mahakam tidaklah
terlalu berat karena banyak skema pembiayaan yang bisa mereka lakukan.
Apalagi dana pengembangan itu bisa dilakukan secara bertahap sesuai
kebutuhan.
Dari gambaran
tersebut, bila pemerintah tetap ingin memberikan Mahakam kepada Total,
pertanyaan mendasar, apa yang akan diwariskan pemerintah sekarang ini
untuk generasi mendatang? Pertanyaan semacam itu perlu diajukan, bukan
hanya kali ini perpanjangan kontrak blok migas tetap diberikan kepada
KKKS asing.
Menuntut Keadilan
Publik tentu
masih ingat bagaimana pemerintah tetap memberikan operatorship kepada
Exxon di Blok Cepu (2006), sekalipun publik menentang habis-habisan.
Pemerintah nyaris memberikan West
Madura Offshore (WMO) kepada Kodeco, tapi gagal setelah publik
menyatakan sikap berlawanan. Meski di batas waktu, pemerintah kemudian
akhirnya memberikan operatorship
WMO kepada Pertamina (2011) dan tetap mengikutsertakan Kodeco sebagai
pemegang saham minoritas. Tapi, pemerintah tampaknya tak mau belajar dari
kasus WMO. Mereka mencoba menafikan keinginan publik dengan meremehkan
potensi anak bangsa dan BUMN.
Tak ada sikap
tegas pemerintah, sebagaimana di Venezuela dan Bolivia, dua negara
Amerika Latin yang secara tegas ingin menegakkan kedaulatan energinya.
Justru tabiat neoliberalisme terus pemerintah kobarkan meskipun publik
menolak mentah-mentah. Saya melihat sikap demikian cepat atau lambat bisa
menjadi api dalam sekam. Mungkin api itu sekarang masih kecil dan tak
kelihatan.
Namun, bila
melihat kebijakan impor daging, gejolak harga bawang, dan cabai, yang
menjadi kebutuhan hari-hari masyarakat, negeri ini sesungguhnya seperti
api dalam sekam yang berpotensi membesar. Gerakan masyarakat di Mesir,
Tunisia, dan Libya hingga menjatuhkan rezim tentu tidak lepas dari
kebijakan pangan dan energi yang tidak prorakyat. Bayangkan, di Tunisia
sebuah rezim bisa jatuh karena seorang pedagang buah yang membakar diri
sebagai protes terhadap penggusuran usahanya.
Setelah
ditelusuri, rakyat marah kepada rezim karena kebijakan pangan dan energi
di negeri tersebut menyengsarakan rakyat. Begitu pula di Mesir dan Libya.
Memang bangsa ini telah melewati gejolak sosial, politik, dan ekonomi
yang mahadahsyat pada 1997/1998. Namun, mencermati kebijakan di bidang
pangan dan energi dewasa ini yang kurang prorakyat bisa menyulut api
tersebut membara sebagaimana di Timur Tengah karena publik menuntut
keadilan.
Blok Mahakam
yang terletak di perairan Kalimantan Timur tampak “tak tersentuh” oleh pribumi. Sejak 31 Maret 1967, Blok
Mahakam secara resmi dikelola Total
E&P Indonesia (Perancis) dan Inpex
Corporation (Jepang) untuk jangka waktu 30 tahun. Selanjutnya pada
1997 kontrak tersebut diperpanjang untuk jangka waktu 20 tahun yang akan
berakhir pada 2017. Di bawah pengelolaan Total, Blok Mahakam memang tetap
memberikan kontribusinya bagi bangsa.
Hanya,
sejumlah profit yang diambil para kontraktor dianggap sebagai suatu hal
yang inkonstitusional karena berarti migas Indonesia tidak digunakan
sepenuhnya untuk kepentingan rakyat. Lantas salahkah kalau publik kini
menuntut keadilan setelah 50 tahun tepatnya sampai 2017 blok itu
dinikmati kontraktor asing, saatnya dikembalikan ke negara untuk kemudian
diserahkan kepada perusahaan nasional agar bisa dimanfaatkan sepenuhnya
untuk rakyat?
Presiden
Soeharto, sekalipun kita tidak setuju dengan kepemimpinannya, banyak
warisan sejarah yang ia tinggalkan untuk generasi sekarang dan masa
mendatang. Pada era Soeharto ada swasembada pangan dan Kelompencapir yang
melegenda. Lalu pada era SBY ini apa yang bisa diwariskan kepada generasi
sekarang dan masa mendatang kalau Mahakam saja tidak diberikan kepada
anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar