Jumat, 19 April 2013

Momentum Mengevaluasi Unas


Momentum Mengevaluasi Unas
Supriyono  ;  Guru Besar dan Dekan Fakultas Ilmu Pendidikan (FIP)
Universitas Negeri Malang (UM)
JAWA POS, 18 April 2013


Romantika ujian nasional (unas) memang penuh warna. Tahun ini sensasi unas terjadi, yaitu keterlambatan distribusi naskah yang mengakibatkan penundaan pelaksanaan unas tingkat SMTA di sebelas provinsi. Mendikbud M. Nuh sampai harus meminta maaf kepada publik. Keterlambatan distribusi dan penundaan unas adalah yang pertama terjadi sepanjang sejarah ujian nasional atau ujian negara.

Kelompok masyarakat yang menolak unas mendapat tambahan amunisi untuk lebih keras menolak unas. Pada 2012, dua lembaga besar, yaitu Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PB NU) dan Wantimpres, mendorong peniadaan unas. Sebelumnya, pada 2010, menteri pendidikan nasional berbeda pendapat dengan para rektor PTN. Mendiknas berkehendak hasil atau nilai unas dijadikan instrumen seleksi mahasiswa baru ke PTN, sedangkan para rektor belum bisa menerima. 

PB NU menolak unas dengan alasan hasil dan dampak unas jauh dari harapan serta memboroskan anggaran. PB NU menunjuk survei UNESCO 2011 bahwa hanya 6 (enam) persen output pendidikan nasional yang mampu bersaing secara global.

Wantimpres meminta presiden menyetop unas berdasar alasan putusan MA 2009. Putusan dari hasil class action itu memerintahkan penghentian unas sementara waktu hingga pemerintah mampu menyamakan standar pendidikan nasional di seluruh wilayah NKRI seperti disebut oleh PP No 19/2005. Hingga kini, putusan MA tersebut belum dilaksanakan oleh pemerintah. 

Unas banyak dipandang tidak mampu mengukur hasil belajar siswa yang sesungguhnya. Unas hanya mampu mengukur hasil akhir dari sebuah proses pembelajaran, tidak bisa mengukur kualitas input dan prosesnya. Unas hanya mampu mengukur aspek kognisi, tidak bisa mengukur sikap/afeksi dan psikomotorik. Unas hanya digelar satu kali pada akhir kalender akademik dengan tes tulis (pencil and paper test).

Banyak fenomena siswa yang rajin, tapi dalam mengerjakan soal unas hasilnya kurang memuaskan karena berbagai sebab temporal. Nasibnya pun sial. Adapun siswa yang malas, ogah-ogahan, ketika unas nasibnya bagus karena sebab-sebab temporal juga. Dialah ''pemenang''. 

Masalah penting lain adalah peningkatan batas kelulusan yang disamakan sebagai peningkatan kualitas pendidikan. Batas kelulusan yang semula ditetapkan 3,01 (2003) menjadi 4,01 (2004), 4,25 (2005), 4,51 (2006), 5,00 (2007), lalu 5,5 (2008), dan seterusnya. Dengan tambahan persyaratan nilai minimal mata pelajaran dan syarat lain-lain, bisa jadi itu menimbulkan angka ketidaklulusan yang tinggi. 

Jika itu terjadi, yang menderita tidak hanya anak didik, tetapi juga orang tua merasa malu. Jika anaknya tidak mau mengulang sekolah, itu akan menambah jumlah anak putus sekolah sehingga turunlah kualitas bangsa.

Guru dan sekolah pun mengalami hal serupa. Lebih-lebih, para guru yang mengajar mata pelajaran yang diunaskan. Pada 2007, ke belakang hanya ada tiga mata pelajaran yang diunaskan, yakni matematika, bahasa Indonesia, dan bahasa Inggris. Mulai 2008 ada enam mata pelajaran, yaitu ditambah biologi, kimia, dan fisika untuk jurusan IPA; ekonomi, geografi, dan sosiologi untuk jurusan IPS; sejarah budaya, sastra Indonesia, dan bahasa Asing untuk jurusan bahasa; dan tambahan ilmu kalam, ilmu hadis, dan ilmu tafsir untuk madrasah aliyah.

Kurikulum nasional yang belaku saat ini, ketika Unas 2013 digelar, adalah Kurikulum Berbasis Kompetensi (KBK). KBK sangat erat berkaitan dengan proyek pendidikan Unicef-UNESCO-Depdiknas tentang MBS (manajemen pendidikan berbasis sekolah). 

Kaidah MBS mengharuskan pemberdayaan guru, termasuk di dalamnya pelaksanaan evaluasi. Artinya, evaluasi merupakan tugas yang melekat dengan tugas seorang guru dan sebagai bagian integral dari manajemen sekolah. Demikian juga, masalah penentuan kelulusan siswa adalah tugas, tanggung jawab, dan sekaligus hak guru melalui mekanisme sistem organisasi sekolah. Penilaian hasil pembelajaran harus dilakukan secara berbasis kelas, portofolio, dan penilaian otentik (authentic assessment). Mereka tidak ''dihakimi'' hanya ketika unas. Tetapi, mereka sudah mengumpulkan berbagai poin dari proses pembelajaran sebelumnya. 

KBK dan KTSP (kurikulum tingkat satuan pendidikan) menghajatkan kurikulum untuk dikembangkan dengan bersumber kepada kebutuhan belajar lokal; materi belajar sumber belajar, bahan belajar, dan metode belajar lokal. Dengan demikian, pengalaman belajar yang dikembangkan kepada diri murid benar-benar variatif dan fungsional untuk hidup di wilayahnya. Dengan demikian, praksis unas yang ''seragam nasional'' tidak simetris dengan filosofi dan konsep KBK dan KTSP.

Pernah unas (lebih tepatnya UAN) akan dihapus seperti kata Menteri Pendidikan Nasional Abdul Malik Fadjar dalam Kompas edisi Jawa Timur, 14 April 2004. Tapi dengan syarat, sekolah dapat dipercaya sesuai dengan kaidah MBS. 

Sangat terasa bahwa unas tidak lagi menjadi instrumen pendidikan, melainkan telah menjadi instrumen penjinakan, bisnis, manifestasi kekuasaan, upacara, dan mantra. Itu tidak sinkron dengan teori pendidikan konstruktivitik yang dianut KBK dan KTSP. Harus diingat bahwa Kurikulum 2013 yang bakal dijalankan Kemendikbud pun beraliran konstruktivistik.

Sebelum ditemukan sebuah model ujian yang memenuhi kaidah pendidikan humanistis, unas akan tetap menjadi kontroversi abadi. Kembalikan saja penetuan kelulusan siswa kepada otonomi dewan guru. Adapun kebutuhan pemerintah untuk mengendalikan mutu pendidikan melalui pemetaan mutu dilakukan dengan cara yang lain, tidak dengan unas yang semakin sarat beban dan masalah. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar