Jumat, 19 April 2013

Korea Utara Melangkah Terlalu Jauh


Korea Utara Melangkah Terlalu Jauh?
Zhu Feng  Wakil Direktur Center for International Studies,
Guru Besar Hubungan Internasional pada Peking University
TEMPO.CO, 15 April 2013

  
Setelah hampir sebulan menyaksikan tingkah laku Korea Utara yang mengancam keamanan dunia, Cina tampaknya berpikir “cukup sudah” dan mengakhiri sikap berdiam dirinya. Tiba-tiba saja mereka dengan keras menyuarakan ketidaksetujuannya dengan ancaman-ancaman yang dikeluarkan sekutunya itu. Suara keras yang tidak biasa dikeluarkan Cina ini tidak berarti bahwa mereka bermaksud meninggalkan Korea Utara, melainkan setidak-tidaknya mengisyaratkan bahwa perubahan radikal kebijakan Cina terhadap rezim Kim Jong-un itu bukan tidak mungkin terjadi.

Ketika berbicara lewat telepon dengan Sekretaris Jenderal Perserikatan Bangsa-Bangsa Ban Ki-moon pada 6 April lalu, Menteri Luar Negeri Cina Wang Yi menyatakan negaranya menolak retorika dan tindakan yang bertujuan mengguncang kestabilan kawasan Timur Laut Asia ini. Lagi pula, Wang menegaskan, Cina tidak akan membiarkan “kekacauan terjadi di ambang pintu Cina”.

Keesokan harinya, saat berbicara di depan hadirin—yang terutama terdiri atas tokoh-tokoh politik dan bisnis Asia—dalam pertemuan tahunan Boao Forum for Asia yang ditaja pemerintah, Perdana Menteri Xi Jinping mengatakan tidak satu pun negara akan “dibiarkan melemparkan suatu kawasan dan bahkan seluruh dunia ke dalam kekacauan untuk kepentingan dirinya sendiri”. Xi tidak menyebutkan nama suatu negara, tapi kecaman yang implisit terhadap Korea Utara jelas ditujukan bagi siapa pun.

Sebelum kecaman yang disuarakan dengan resmi itu, banyak spekulasi mengenai apakah Cina akan mengambil risiko melakukan perubahan yang mendasar dalam hubungan dengan little brother-nya yang sosialis yang terus diberi subsidi dalam jumlah yang besar. Setelah pernyataan kemarahan yang jarang dikeluarkan secara terbuka oleh Xi dan Wang itu, spekulasi tersebut sekarang menjadi lebih kuat daripada sebelumnya.

Ada yang bertanya “nilai” apa yang diberikan negara yang tertutup ini sehingga Cina segan bertindak tegas; ada pula yang bertanya-tanya sampai di mana perhatian para pemimpin Cina terhadap persoalan di dalam negeri akan terus membuat mereka enggan berubah haluan dalam hubungan dengan Korea Utara.

Sebenarnya, para pemimpin Cina sudah dibikin pusing oleh provokasi-provokasi yang dilakukan Korea Utara akhir-akhir ini. Mereka sudah berusaha membujuk rezim Kim untuk mengurangi sikapnya yang selalu berubah-ubah itu dan menerima tawaran baik yang disampaikan kepadanya: pengakuan resmi dan normalisasi hubungan dengan semua negara tetangganya, dan dengan Amerika Serikat, merupakan imbalan denuklirisasi. Sesungguhnya, inilah yang telah menyebabkan terjadinya selisih di antara kedua negara pada tahun-tahun terakhir ini.

Cina memahami bahwa sikap keras kepala pemerintah Korea Utara berakar dari isolasi negara itu dengan negara-negara lainnya di dunia, dari tertutup matanya rakyat negeri tersebut akan kenyataan sebenarnya, dan ketakutan Kim akan kehilangan kontrol atas negara yang diperintah cuma oleh keluarganya. Maka itu, para penguasa negeri tersebut merasa yakin mereka bisa mendapatkan perhatian dan bantuan yang mereka butuhkan itu hanya melalui provokasi.

Bagi Cina, kelanjutan hidup rezim Kim ini bisa dijamin hanya bila ia mengikuti jejak Cina dengan mereformasi dan membuka diri. Tapi, dihadapkan dengan keberhasilan demokrasi dan booming ekonomi Korea Selatan, model yang ditawarkan di Cina itu tidak relevan di mata Korea Utara: mengikuti jejak Cina berarti mengakui supremasi Korea Selatan atas Semenanjung Korea dan, dengan demikian, berarti kehilangan legitimasi.

Selama dua dekade terakhir, para pemimpin Korea Utara lelah bereksperimen dengan “reformasi” seadanya, dan dengan cepat pula mundur dari langkah ini. Cina dengan sabar mengikuti pola mengancam perang dan reformasi setengah hati itu karena yakin bahwa risiko yang dibawakan dinasti Kim ini bisa dikontrol selama Cina tidak memotong pasokan minyak, pangan, dan bahan-bahan pokok lainnya kepada rezim tersebut. Lebih penting lagi, para pemimpin Cina yakin bahwa, dengan melindungi Korea Utara dari tekanan Amerika Serikat, ia berbuat demikian demi kepentingan keamanan nasionalnya juga.

Tapi analisis Cina dalam hal ini keliru sama sekali karena memandang rendah nekatnya rezim Kim tersebut—bilamana ia yakin bahwa kelanjutan hidupnya terancam. Lagi pula, Korea Utara tidak ingin terikat oleh suatu negara besar, termasuk Cina. Maka itu, ia memanfaatkan kemauan baik dan kekhawatiran Cina akan keamanan nasionalnya dan bahkan perlindungan yang diberikannya itu sudah sepantasnya.

Komplikasi selanjutnya dalam hal ini menyangkut aspirasi nuklir Korea utara. Negeri tersebut yakin bahwa, dengan senjata nuklir, ia bisa mempertahankan sepenuhnya independensi diplomatik, dan bahwa Cina, yang takut akan blackmail nuklir, tidak akan pernah meninggalkannya.

Tapi sekarang giliran Korea Utara yang melakukan kesalahan. Sikap Kim Jong-un yang kekanak-kanakan ini telah benar-benar membuat Cina emosional. Ya, kadang-kadang para pemimpin Cina mengeluh soal beban berat menyubsidi Korea Utara, tapi sampai sekarang mereka tidak pernah menunjukkan kekesalan mereka atas perilaku Korea Utara itu secara terbuka.

Peringatan Cina bahwa ia tidak akan membiarkan Korea Utara menimbulkan
“kekacauan di ambang pintu Cina” bisa dianggap sebagai “kartu kuning” dalam persepakbolaan. Cina belum memutuskan akan meninggalkan Korea Utara. Tapi peringatan itu merupakan peringatan keras terhadap Kim Jong-un: Cina akan menyingkirkannya keluar dari lapangan bila ia tidak mengubah perilakunya.

Menteri Luar Negeri Amerika Serikat dijadwalkan berkunjung ke Beijing dalam beberapa hari ini. Sudah waktunya bagi para pemimpin Amerika dan Cina merundingkan exit yang riil untuk keluar dari krisis saat ini tanpa bantuan dari luar, sementara dengan sungguh-sungguh mencari jalan memulai kembali proses denuklirisasi Semenanjung Korea. Jika ancaman-ancaman nuklir Kim yang bombastis ini berujung pada kesepakatan Cina-AS mengenai Korea utara, dunia akan lebih aman karenanya. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar