Belum pernah dalam sejarah,
harga daging sapi naik demikian mahalnya. Di pasar-pasar becek di
Jakarta, harga daging mencapai Rp 110.000 per kilogram.
Kalangan pebisnis daging
mengatakan, dari pengalaman-pengalaman sebelumnya, harga tidak akan
pernah turun lagi ke harga normal, Rp 40.000-Rp 60.000. Namun, yang luput
diperhitungkan adalah berapa harga yang sesungguhnya harus dibayar
konsumen untuk kesehatan daging?
Kita semua tahu pola pangan
orang Indonesia bertumpu pada beras. Beda dengan masyarakat di Amerika
Utara, Eropa, ataupun China. Protein lebih banyak didapat dari ikan,
kedelai, dan telur dibandingkan dari daging dan susu.
Konsumsi daging sapi yang 2
kilogram per kapita per tahun masih sangat rendah kalau dibandingkan
dengan negara-negara lain di kawasan ASEAN. Bahkan, jauh lebih rendah
daripada Brasil, Rusia, dan China. Orang Indonesia menyukai daging sapi,
tetapi lebih banyak mengonsumsi daging ayam.
Sesungguhnya yang terjadi
belakangan ini pada sektor sapi potong Indonesia bukan hanya dirasakan
sebagai paradoks ekonomi, melainkan juga paradoks kesehatan daging. Di
negara ini, bisnis daging sapi telanjur tercipta tanpa terlalu banyak
memperhitungkan kelas (grade) ataupun karakteristik produk.
Bagi umumnya konsumen, daging
sapi adalah daging merah, kenyal, tak berbau, dan tak berair. Konsumen
kurang berminat untuk mengetahui bagaimana daging diproduksi, bagaimana
ternak sapi hidup diperdagangkan, bagaimana ternak sapi jadi daging, atau
bahkan di mana tempat membeli daging.
Kesehatan Daging
Daging bukan hanya komoditas
pertanian yang punya nilai ekonomi, melainkan juga esensial bagi
pemenuhan kebutuhan gizi rakyat Indonesia, terutama generasi muda bangsa.
Namun, kepedulian konsumen akan kesehatan daging masih belum terbangun
dengan baik dan benar. Daging sehat adalah daging yang berasal dari pola
budidaya ternak yang sehat, tidak mencemari lingkungan, dan disembelih
secara ”manusiawi”.
Padahal, kesehatan daging
semestinya menjadi hal mendesak, dengan pergerakan industri dari sekadar
komoditas menjadi ”daging berkualitas” (quality meat). Kompleksnya
kesehatan daging ditentukan sejak di hulu—dari peternakan asal—sampai ke
hilir, melalui rantai suplai yang cukup panjang. Cara pemberian pakan,
antibiotik, dan hormon pemacu pertumbuhan untuk ternak di hulu sangat
memengaruhi kesehatan daging. Begitu juga pestisida yang digunakan untuk
penyemprotan kandang dan lahan peternakan.
Penggunaan antibiotik berlebihan
pada ternak dapat memunculkan masalah kekebalan pada manusia. Penggunaan
hormon pada ternak akan berakumulasi dalam daging ternak, kemudian
memengaruhi sistem kekebalan endokrin manusia. Residu pestisida dalam
daging ternak bisa mengganggu kesehatan manusia.
Meskipun data gangguan kesehatan
daging belum banyak ditemukan di Indonesia, bukan berarti harus diabaikan
begitu saja. Data yang sudah dipublikasikan mengindikasikan adanya residu
hormon Trenbolon acetat dalam daging impor ataupun sapi-sapi bakalan dari
Australia. Walaupun proporsi residu rendah dan kadar yang ditemukan masih
di bawah ambang batas toleransi, kondisi ini tetap mengharuskan
dilakukannya pengawasan kesehatan daging berkelanjutan.
Kita tetap harus ingat pada
risiko lain, seperti penyakit sapi gila atau bovine spongiform
enchelophaty (BSE) yang muncul akibat bagian-bagian tubuh sapi diberikan
sebagai pakan sapi. BSE dianggap paling berisiko, tetapi masih banyak
penyakit mikrobial asal daging lainnya, sebutlah seperti Escherichia coli
O157, salmonellosis, dan staphylococcosis.
Rantai Suplai
Di negara-negara berkembang,
termasuk Indonesia, umumnya sapi dipelihara dan lebih banyak diberi makan
rumput dan hijauan lainnya. Sementara di negara-negara maju, industri
sapi tidak bisa dilepaskan dari praktik-praktik budidaya yang cenderung
menimbulkan gangguan kesehatan hewan. Oleh karena itu, konsumen di sana
tidak keberatan membayar harga premium untuk daging yang dijamin
kesehatannya.
Pada 2010, konsumen di Amerika
Serikat diperingatkan akan kemungkinan ancaman gangguan kesehatan daging
pada saat jaringan waralaba McDonald’s memanfaatkan daging impor asal
negara-negara Amerika Selatan. Negara-negara asal daging impor itu
dianggap tak memberlakukan pengawasan ketat terhadap rantai suplai dari
hulu sampai hilir.
Secara jujur harus diakui bahwa
lingkungan kebijakan pasokan daging sapi—baik lokal maupun impor—di
Indonesia saat ini dirasakan tidak mewujudkan dorongan signifikan bagi
isu-isu kesehatan daging. Swasembada daging 2014, isu kartel, dan
perburuan rente impor daging yang justru mengemuka akhir-akhir ini
mempertegas bahwa ambisi kecukupan dan kemudahan akses lebih banyak
membungkus isu kesehatan daging yang sesungguhnya kritis bagi rakyat.
Industri sapi potong yang
berdaya saing dan modern bukanlah terbatas hanya pada efisiensi produksi,
melainkan juga bergantung pada upaya membangun kepercayaan konsumen dan
kepastian rantai suplai yang kompetitif dan transparan. Untuk tujuan ini,
diperlukan investasi yang cukup besar dalam melakukan penelusuran mulai
dari peternak, pedagang, pengecer, konsumen, hingga regulator untuk
melacak terjaminnya kesehatan daging di setiap tahapan produksi.
Jaminan Kualitas
Kementerian Pertanian seharusnya
bukan hanya fokus pada produksi dan penentuan kuota impor, melainkan secara
holistik menawarkan jaminan kesehatan daging untuk konsumsi langsung,
hotel, restoran, katering, dan industri olahan. Pengawasan dengan
kemampuan penelusuran yang merupakan faktor penentu kesehatan daging
sejak dari negara asal ataupun peternakan lokal menjadi tanggung jawab
pemerintah.
Di satu sisi, pemerintah
dihadapkan lebih pada persoalan bagaimana mengatur keseimbangan antara
suplai dan permintaan serta produksi lokal versus impor. Di sisi lain,
konsumen lebih fokus pada persoalan harga murah, rasa, dan nutrisi dengan
preferensi bahwa daging harus segar, tidak terlalu banyak lemak, dan
empuk.
Citra terkait kesehatan daging
yang dimulai dari peternakan sampai ke meja makan seharusnya menjadi
tumpuan perhatian semua pihak yang terlibat dalam bisnis daging.
Pemerintah wajib melakukan verifikasi profesional untuk sampai pada
sertifikasi dan akreditasi secara periodik mulai dari inspektur daging,
fasilitas rumah potong hewan, sampai ke logistik serta fasilitas
pemasaran dan pengolahan daging. Pemerintah harus menjawab gambaran besar
permasalahan daging seutuhnya sehingga masyarakat tidak perlu membayar
tambahan harga untuk kesehatan daging. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar