Pekan
lalu DPR telah memilih satu-satunya calon gubernur Bank Indonesia (BI)
periode 2013–2018 yang diajukan pemerintah, Agus DW Martowardojo. Agus
Martowardojo saat ini memang orang paling tepat untuk menduduki posisi
tersebut.
Pengalaman
sebagai praktisi bank umum, dan terakhir menjabat direktur utama Bank
Mandiri, telah meninggalkan nama yang sangat harum di kalangan perbankan
dan pengusaha mengenai kualitas kepemimpinannya serta integritas yang
sedemikian tinggi. Tidak mengherankan, Bank Mandiri akhirnya tampil
sebagai bank bukan hanya yang terbesar, namun juga memiliki kualitas
pimpinan yang mengakar ke bawah dengan kaderkader yang memberikan
harapan.
Sebagai bank
BUMN, proses transformasi telah membuat Bank Mandiri menjadi bank yang
sangat terhormat dalam peta perbankan regional bahkan mungkin, suatu saat
nanti, global. Terlebih lagi pengalaman sebagai menteri keuangan
menempatkan Agus Martowardojo sebagai pribadi yang memiliki penguasaan
sangat lengkap, mikro perbankan dan makro perekonomian, dan juga
memungkinkan terbangunnya koordinasi yang lebih baik nantinya dengan
menteri keuangan yang baru.
BI dewasa ini
telah tampil sebagai bank sentral yang juga terhormat di kalangan
otoritas moneter regional maupun global. Pejabat BI secara aktif
dilibatkan dalam penyusunan aturan main perbankan global dalam bentuk
Basel III. Keberadaan Indonesia sebagai anggota G-20 dengan peranan
ekonomi yang semakin lama semakin besar membuat BI disegani dalam
berbagai pertemuan internasional.
Dalam konteks
tersebut, perekonomian Indonesia saat ini mencapai sekitar 40% dari
perekonomian ASEAN, dan akan melampaui separuh produk domestik bruto
(PDB) ASEAN pada 2018. Keadaan itu akan membuat perbankan Indonesia
dituntut untuk menjadi semakin besar di tingkat regional. Berdasarkan
besarnya aset, perbankan Indonesia telah diwakili dalam 10 besar
perbankan ASEAN oleh Bank Mandiri.
Dalam 20
besar perbankan ASEAN, Indonesia diwakiliolehBankMandiri, Bank BRI, Bank
BCA, dan Bank BNI. Namun, dalam ukuran kapitalisasi pasar (market
capitalization) yang tercermin dari nilai keseluruhan saham perusahaan,
Indonesia sudah diwakili oleh Bank BCA dalam tiga besar ASEAN hari-hari
belakangan ini. Bahkan akhir 2011 lalu, BCA sempat menjadi bank terbesar
di ASEAN dari segi kapitalisasi pasar, melampaui tiga bank besar
Singapura, yaitu DBS, OCBC, dan UOB.
Ini membuat
perbankan Indonesia di mata koleganya di ASEAN, sungguh tidak bisa
dipandang enteng lagi. Itulah sebabnya banyak bank di ASEAN ataupun juga
di Asia yang mendekati beberapa bank di Indonesia untuk menjadi partner
strategis, karena mereka merasa percaya, perbankan di Indonesia sangat
mampu untuk diajak bekerja sama seperti itu.
Beberapa
waktu lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu mantan gubernur BI,
yang sangat saya hormati, yang menghendaki terbangunnya BI sebagai suatu
Island of Stability. Posisi semacam itu akan menjadikan BI sebagai
jangkar dalam pencapaian stabilitas ekonomi. Bila gejolak berkurang,
pembangunan ekonomi akan berjalan lebih baik. Dalam kaitan itu,
pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah merupakan suatu hal yang
sangat penting.
Untuk
pengendalian inflasi, peranan BI, yaitu mengendalikan likuiditas agar
jangan sampai menimbulkan permintaan terhadap barang yang berlebihan yang
bisa menimbulkan inflasi, dan juga jangan sampai kelebihan likuiditas itu
digunakan untuk melakukan spekulasi yang dapat melemahkan nilai tukar
rupiah. Mantra sakti itu selalu ada di dalam bawah sadar mereka di BI.
Dalam
pengendalian likuiditas tersebut, karena keterbatasan instrumen, BI
sampai harus mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia yang akhirnya menjadi
beban yang sangat besar bagi keuangan BI. Itulah sebabnya dalam
perkembangan terakhir, peran semacam ini secara pelan-pelan mulai
digantikan dengan surat berharga pemerintah (SUN maupun SPN) yang bisa
dipergunakan sebagai instrumen moneter melalui Repurchase Agreement
(Repo) atau Reverse REPO (kebalikan dari Repo).
Mudah-mudahan
dengan ini beban keuangan BI bisa secara bertahap dikurangi. Salah satu
beban besar yang membuat BI berdarah-darah adalah terdapatnya suatu
elemen yang secara struktural membuat terjadinya ketidakseimbangan
keuangan BI, yaitu pengenaan bunga surat utang negara yang merupakan
peninggalan BLBI yang berada dalam sisi aset BI dengan hanya diberikan
bunga 0,1%.
Penetapan ini
terjadi saat keuangan pemerintah Indonesia masih sangat lemah, sehingga
untuk memperkuat posisi APBN, menteri keuangan mengupayakan penurunan
beban pembayaran bunga dalam APBN, antara lain dengan penetapan suku
bunga sangat rendah tersebut yang waktu itu difasilitasi oleh Paul
Volcker, mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat.
Ketidakseimbangan
ini menyebabkan defisit BI, yang pada waktunya juga akan membebani APBN
jika modalnya menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Sebelum itu
terjadi, yang pada akhirnya akan menyebabkan jatuhnya kredibilitas BI
(padahal bukan karena kesalahannya), seyogianya hal tersebut dapat
diatasi lebih cepat. Faktor lain adalah penempatan rekening pemerintah di
BI.
Jumlahnya
saat ini lebih dari Rp200 triliun. Tetapi anehnya, setiap akhir tahun
justru menurun sangat drastis bahkan hanya tinggal sekitar Rp50 triliun
akhir Desember lalu. Ke mana perginya uang itu ternyata sangat sulit
untuk ditelusuri. Namun, bendahara Kementerian Keuangan tentu sangat
paham. Kementerian Keuangan dan BI berada dalam satu perahu.
Kalau
Kementerian Keuangan memindahkan dananya ke bank-bank untuk mendapatkan
bunga, BI harus mengompensasinya dengan mengeluarkan SBI untuk menjaga
likuiditas yang diinginkan, yang akhirnya menambah beban BI. Seharusnya
pemahaman seperti ini harus dikoordinasikan di tingkat atas, sehingga
tidak perlu menimbulkan hal-hal seperti ini.
Beberapa hal
lagi yang patut dipertimbangkan adalah penetapan LDR dalam peraturan BI
yang terlalu tinggi (harus berada antara 78% sampai 100%), yang pada
akhirnya justru mendorong bank-bank mengambil risiko likuiditas yang
dapat membahayakan kelangsungan usahanya.
Peraturan
ini, yang pertama kali dikeluarkan oleh Gubernur BI Burhanudin Abdullah,
pernah dihapuskan oleh Gubernur BI Boediono. Mudah-mudahan “wisdom” Agus
Martowardojo akan membawa BI sungguhsungguh ke arah cita-cita The Island of Stability tersebut. Selamat datang Pak Agus!
●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar