Senin, 01 April 2013

Menyambut Gubernur BI yang Baru


Menyambut Gubernur BI yang Baru
Cyrillus Harinowo Hadiwerdoyo ;  Pengamat Ekonomi
KORAN SINDO, 01 April 2013

  
Pekan lalu DPR telah memilih satu-satunya calon gubernur Bank Indonesia (BI) periode 2013–2018 yang diajukan pemerintah, Agus DW Martowardojo. Agus Martowardojo saat ini memang orang paling tepat untuk menduduki posisi tersebut. 

Pengalaman sebagai praktisi bank umum, dan terakhir menjabat direktur utama Bank Mandiri, telah meninggalkan nama yang sangat harum di kalangan perbankan dan pengusaha mengenai kualitas kepemimpinannya serta integritas yang sedemikian tinggi. Tidak mengherankan, Bank Mandiri akhirnya tampil sebagai bank bukan hanya yang terbesar, namun juga memiliki kualitas pimpinan yang mengakar ke bawah dengan kaderkader yang memberikan harapan. 

Sebagai bank BUMN, proses transformasi telah membuat Bank Mandiri menjadi bank yang sangat terhormat dalam peta perbankan regional bahkan mungkin, suatu saat nanti, global. Terlebih lagi pengalaman sebagai menteri keuangan menempatkan Agus Martowardojo sebagai pribadi yang memiliki penguasaan sangat lengkap, mikro perbankan dan makro perekonomian, dan juga memungkinkan terbangunnya koordinasi yang lebih baik nantinya dengan menteri keuangan yang baru. 

BI dewasa ini telah tampil sebagai bank sentral yang juga terhormat di kalangan otoritas moneter regional maupun global. Pejabat BI secara aktif dilibatkan dalam penyusunan aturan main perbankan global dalam bentuk Basel III. Keberadaan Indonesia sebagai anggota G-20 dengan peranan ekonomi yang semakin lama semakin besar membuat BI disegani dalam berbagai pertemuan internasional. 

Dalam konteks tersebut, perekonomian Indonesia saat ini mencapai sekitar 40% dari perekonomian ASEAN, dan akan melampaui separuh produk domestik bruto (PDB) ASEAN pada 2018. Keadaan itu akan membuat perbankan Indonesia dituntut untuk menjadi semakin besar di tingkat regional. Berdasarkan besarnya aset, perbankan Indonesia telah diwakili dalam 10 besar perbankan ASEAN oleh Bank Mandiri. 

Dalam 20 besar perbankan ASEAN, Indonesia diwakiliolehBankMandiri, Bank BRI, Bank BCA, dan Bank BNI. Namun, dalam ukuran kapitalisasi pasar (market capitalization) yang tercermin dari nilai keseluruhan saham perusahaan, Indonesia sudah diwakili oleh Bank BCA dalam tiga besar ASEAN hari-hari belakangan ini. Bahkan akhir 2011 lalu, BCA sempat menjadi bank terbesar di ASEAN dari segi kapitalisasi pasar, melampaui tiga bank besar Singapura, yaitu DBS, OCBC, dan UOB. 

Ini membuat perbankan Indonesia di mata koleganya di ASEAN, sungguh tidak bisa dipandang enteng lagi. Itulah sebabnya banyak bank di ASEAN ataupun juga di Asia yang mendekati beberapa bank di Indonesia untuk menjadi partner strategis, karena mereka merasa percaya, perbankan di Indonesia sangat mampu untuk diajak bekerja sama seperti itu. 

Beberapa waktu lalu saya sempat berdiskusi dengan salah satu mantan gubernur BI, yang sangat saya hormati, yang menghendaki terbangunnya BI sebagai suatu Island of Stability. Posisi semacam itu akan menjadikan BI sebagai jangkar dalam pencapaian stabilitas ekonomi. Bila gejolak berkurang, pembangunan ekonomi akan berjalan lebih baik. Dalam kaitan itu, pengendalian inflasi dan nilai tukar rupiah merupakan suatu hal yang sangat penting. 

Untuk pengendalian inflasi, peranan BI, yaitu mengendalikan likuiditas agar jangan sampai menimbulkan permintaan terhadap barang yang berlebihan yang bisa menimbulkan inflasi, dan juga jangan sampai kelebihan likuiditas itu digunakan untuk melakukan spekulasi yang dapat melemahkan nilai tukar rupiah. Mantra sakti itu selalu ada di dalam bawah sadar mereka di BI. 

Dalam pengendalian likuiditas tersebut, karena keterbatasan instrumen, BI sampai harus mengeluarkan Sertifikat Bank Indonesia yang akhirnya menjadi beban yang sangat besar bagi keuangan BI. Itulah sebabnya dalam perkembangan terakhir, peran semacam ini secara pelan-pelan mulai digantikan dengan surat berharga pemerintah (SUN maupun SPN) yang bisa dipergunakan sebagai instrumen moneter melalui Repurchase Agreement (Repo) atau Reverse REPO (kebalikan dari Repo). 

Mudah-mudahan dengan ini beban keuangan BI bisa secara bertahap dikurangi. Salah satu beban besar yang membuat BI berdarah-darah adalah terdapatnya suatu elemen yang secara struktural membuat terjadinya ketidakseimbangan keuangan BI, yaitu pengenaan bunga surat utang negara yang merupakan peninggalan BLBI yang berada dalam sisi aset BI dengan hanya diberikan bunga 0,1%. 

Penetapan ini terjadi saat keuangan pemerintah Indonesia masih sangat lemah, sehingga untuk memperkuat posisi APBN, menteri keuangan mengupayakan penurunan beban pembayaran bunga dalam APBN, antara lain dengan penetapan suku bunga sangat rendah tersebut yang waktu itu difasilitasi oleh Paul Volcker, mantan gubernur Bank Sentral Amerika Serikat. 

Ketidakseimbangan ini menyebabkan defisit BI, yang pada waktunya juga akan membebani APBN jika modalnya menjadi lebih rendah dari yang seharusnya. Sebelum itu terjadi, yang pada akhirnya akan menyebabkan jatuhnya kredibilitas BI (padahal bukan karena kesalahannya), seyogianya hal tersebut dapat diatasi lebih cepat. Faktor lain adalah penempatan rekening pemerintah di BI. 

Jumlahnya saat ini lebih dari Rp200 triliun. Tetapi anehnya, setiap akhir tahun justru menurun sangat drastis bahkan hanya tinggal sekitar Rp50 triliun akhir Desember lalu. Ke mana perginya uang itu ternyata sangat sulit untuk ditelusuri. Namun, bendahara Kementerian Keuangan tentu sangat paham. Kementerian Keuangan dan BI berada dalam satu perahu. 

Kalau Kementerian Keuangan memindahkan dananya ke bank-bank untuk mendapatkan bunga, BI harus mengompensasinya dengan mengeluarkan SBI untuk menjaga likuiditas yang diinginkan, yang akhirnya menambah beban BI. Seharusnya pemahaman seperti ini harus dikoordinasikan di tingkat atas, sehingga tidak perlu menimbulkan hal-hal seperti ini. 

Beberapa hal lagi yang patut dipertimbangkan adalah penetapan LDR dalam peraturan BI yang terlalu tinggi (harus berada antara 78% sampai 100%), yang pada akhirnya justru mendorong bank-bank mengambil risiko likuiditas yang dapat membahayakan kelangsungan usahanya. 

Peraturan ini, yang pertama kali dikeluarkan oleh Gubernur BI Burhanudin Abdullah, pernah dihapuskan oleh Gubernur BI Boediono. Mudah-mudahan “wisdom” Agus Martowardojo akan membawa BI sungguhsungguh ke arah cita-cita The Island of Stability tersebut. Selamat datang Pak Agus!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar