Senin, 01 April 2013

Mitos Otonomi Daerah


Mitos Otonomi Daerah
Faisal Basri ;  Ekonom
KOMPAS, 01 April 2013

  
Ada pandangan umum bahwa di era otonomi daerah telah bermunculan raja-raja kecil. Korupsi kian merajalela di daerah. Dana pusat mengalir deras ke daerah. Pendek kata, daerah semakin berkuasa.
Benar jika ukuran yang digunakan adalah kewenangan dalam pemerintahan. Berdasarkan Undang-Undang (UU) Nomor 22 Tahun 1999, kewenangan daerah otonom mencakup kewenangan dalam seluruh bidang pemerintahan, kecuali kewenangan dalam politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, moneter dan fiskal, peradilan, agama, serta kewenangan bidang lain. Di dalam UU tentang Pemerintahan Daerah yang lebih baru—UU No 32/2004—ditegaskan kembali bahwa kewenangan pemerintah pusat hanya meliputi politik luar negeri, pertahanan dan keamanan, peradilan, moneter dan fiskal nasional, serta agama.
Namun, kewenangan yang besar bakal kehilangan makna jika tanpa diimbangi keleluasaan daerah untuk memperoleh sumber pendanaan mandiri dan mengalokasikannya untuk melaksanakan kewenangan tersebut.
Di era otonomi daerah, hubungan keuangan vertikal pusat-daerah justru semakin timpang. Pemerintah provinsi dan kabupaten/kota semakin mengandalkan dana dari pusat. Porsi pendapatan asli daerah dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD) mengecil. Tak heran kalau sebagian besar APBD di kebanyakan provinsi dan kabupaten/kota habis untuk pengeluaran rutin dan pengeluaran wajib yang sudah ditentukan peruntukannya oleh pusat.
Pos transfer ke daerah di dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) memang naik pesat dalam tujuh tahun terakhir, dari Rp 150,5 triliun pada 2005 menjadi Rp 528,6 triliun pada 2012, atau naik 3,2 kali lipat. Sementara belanja total di APBN hanya naik 2,9 kali lipat, dari Rp 509,6 triliun pada tahun 2005 menjadi Rp 1.481,7 triliun tahun 2012. Dengan demikian, porsi transfer ke daerah dalam APBN pun meningkat dari 29,5 persen pada 2005 menjadi 32,4 persen pada 2012.
Transfer ke daerah terdiri dari dua kelompok. Pertama, dana perimbangan, yang meliputi dana bagi hasil, dana alokasi umum, dan dana alokasi khusus. Kedua, dana otonomi khusus dan penyesuaian yang mencakup dana otonomi khusus dan dana penyesuaian.
Lebih dari separuh transfer dana ke daerah berupa dana alokasi umum, yang boleh dikatakan sebagian besar merupakan pengalihan administrasi pembayaran dari pemerintah pusat ke pemerintah daerah. Kenaikan dana alokasi umum ternyata proporsional dengan kenaikan belanja total APBN.
Pos kedua terbesar dari transfer ke daerah adalah dana bagi hasil. Yang menikmati sudah barang tentu sebatas daerah-daerah yang kaya minyak dan gas bumi serta tambang, juga DKI Jakarta yang memperoleh bagian terbanyak dari bagi hasil Pajak Penghasilan Perseorangan (PPh Pasal 21) karena di Jakartalah terkonsentrasi orang-orang kaya pembayar pajak perseorangan.
Selama kurun tahun 2005-2012, dana bagi hasil meningkat lebih lambat dari belanja total APBN. Dengan demikian, dana bagi hasil ini tidak meningkatkan kemampuan penerimaan daerah secara proporsional dengan ekspansi belanja pemerintah pusat. Apalagi, bagi daerah-daerah yang miskin sumber daya alam dan sedikit jumlah penduduk yang membayar PPh Pasal 21.
Apabila ditelusuri lebih rinci, ternyata kenaikan paling tajam dari pos transfer ke daerah adalah untuk dana penyesuaian, berupa tunjangan profesi guru dan bantuan operasional sekolah realokasi pagu Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan. Pada 2012, kedua pos pengeluaran ini mencapai 78 persen dari keseluruhan dana otonomi khusus dan dana penyesuaian yang berjumlah Rp 69,4 triliun. Daerah tak memiliki kuasa untuk mengutik-utik dana tersebut.
Praktis, tidak ada peningkatan keleluasaan pemerintah provinsi dan kabupaten/kota dalam menggali sumber-sumber pendapatan baru karena sumber pendapatan utama negara masih dikuasai pemerintah pusat. Pemerintah provinsi umumnya harus puas dengan pendapatan andalan dari pajak kendaraan bermotor, sedangkan pemerintah kabupaten/kota mengandalkan pada pajak hotel dan restoran.
Di tengah keadaan yang boleh dikatakan status quo atau bahkan memburuk dalam hal otonomi keuangan negara, kini beberapa daerah tertimpa tangga pula, yaitu terkena sanksi penundaan pencairan dana alokasi umum sebesar 25 persen setiap bulan karena terlambat mengesahkan APBD. Kebanyakan daerah tersebut adalah yang pendapatan aslinya sangat kecil sehingga sangat bergantung pada kucuran dana dari pusat. Padahal, dana alokasi umum merupakan urat nadi penyelenggaraan pemerintahan umum di daerah.
Proses politik yang bertele-tele di daerah menyebabkan rakyat dan birokrasi menjadi korban pertama. Kalau sanksi bertujuan untuk memacu kinerja daerah, mengapa rakyat dan birokrasi yang menjadi korban? Pertanyaan lebih lanjut, apakah kinerja pusat lebih baik? Meski APBN sudah disahkan, banyak praktik keuangan pemerintah pusat yang tak terpuji. Misalnya, ratusan triliun rupiah dana pemerintah pusat rata-rata setiap bulan diparkir di rekening pemerintah di Bank Indonesia. Jumlah dana yang diparkir ini jauh lebih besar ketimbang seluruh dana daerah yang disimpan di perbankan nasional.
Tengok pula peningkatan sangat tajam saldo anggaran lebih dalam tiga tahun terakhir, dari Rp 17 triliun pada 2010 menjadi Rp 56 triliun pada 2012. Pengelolaan APBN seperti itu menyebabkan peranan APBN dalam pertumbuhan ekonomi sangat rendah, yaitu hanya 0,1 persen terhadap pertumbuhan ekonomi 6,2 persen tahun 2012. Bahkan, pada triwulan ketiga dan keempat tahun 2012, pertumbuhan konsumsi pemerintah tercatat mengalami negatif masing-masing 3,2 persen dan 3,3 persen.
Belum lagi pembiaran pemerintah pusat atas subsidi energi yang terus membengkak dan sudah menembus Rp 300 triliun pada 2012. Subsidi ini sangat bias perkotaan dan bias Jawa. Sungguh, yang paling banyak dirugikan dari praktik kebijakan dan politik anggaran dewasa ini adalah luar Jawa.
Yang dibutuhkan adalah pembenahan fiskal menyeluruh dengan mengedepankan asas keadilan dan otonomi daerah hakiki. Bukan asal gertak, padahal pemerintah pusat sendiri bertaburan praktik tak terpuji. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar