Menanti
Pemilu Damai
di Tengah
Konflik Bawaslu dan KPU
W Riawan Tjandra ;
Pengamat Hukum, Mengajar di Fakultas
Hukum
Universitas Atma
Jaya Yogyakarta
|
|
KORAN
SINDO, 11 April 2013
Pemilu 2014 akan menjadi momentum yang
menentukan bagi kelanjutan proses transisi demokrasi di negeri ini.
Namun, bagaimana akan mewujudkan pemilu yang damai jika dua institusi
penyelenggara pemilu di negeri ini justru saling bersitegang?
Keberadaan
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sebagai lembaga penyelenggara pemilu yang
dalam Undang-Undang (UU) Nomor 15 Tahun 2011 tentang Penyelenggara
Pemilihan Umum disebutkan bersifat nasional, tetap, dan mandiri maupun
Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) yang juga dalam UU yang sama disebut
sebagai penyelenggara pemilu dengan fungsi pengawasan terhadap
penyelenggaraan pemilu di seluruh wilayah NKRI seharusnya bersifat saling
melengkapi dan mendukung sesuai dengan tugas dan kewenangan masingmasing.
Namun,
menjelang pelaksanaan Pemilu 2014 ternyata justru aroma “perseteruan” di
antara dua institusi itu kian kuat tercium oleh publik. Pascakeputusan
Bawaslu dalam sengketa antara Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia
(PKPI), salah satu partai peserta pemilu yang kelahirannya dibidani
Sutiyoso, mantan Gubernur DKI Jakarta, publik kian menangkap ada
persaingan terselubung di antara dua lembaga penyelenggara pemilu
tersebut.
Dalam
Keputusan Sengketa No 012/SP- 2/Set . B awa s l u / I / 2 0 1 3 , Bawaslu
telah memenangkan PKPI dengan isi keputusan antara lain membatalkan
Keputusan KPU No 05/Kpts/ KPU/Tahun 2013 dan memerintahkan KPU untuk
menetapkan PKPI menjadi salah satu peserta Pemilu 2014. Ternyata KPU
tidak bersedia melaksanakan Keputusan Bawaslu tersebut.
Ketidaksediaan
KPU melaksanakan keputusan Bawaslu terkait penetapan PKPI sebagai peserta
Pemilu 2014 sebenarnya bisa diklasifikasikan sebagai perbedaan pendapat
antara KPU dan Bawaslu mengenai hasil verifikasi terhadap PKPI sebelumnya
yang kemudian dianulir Bawaslu.
KPU melalui
suratnya Nomor 94/KPU/II/2013 tanggal 11 Februari 2013 menyatakan KPU
menghormati pelaksanaan tugas dan wewenang Bawaslu dalam penyelesaian
sengketa pemilu, tetapi KPU tidak dapat melaksanakan keputusan Bawaslu
Nomor 012/SP- 2/Set.Bawaslu/I/2013 dengan alasan ada perbedaan penilaian
terhadap keterangan KPU provinsi, bukti-bukti yang disampaikan dalam
sidang ajudikasi, dan ruang lingkup tugas Bawaslu yang tidak memiliki
wewenang untuk menguji peraturan KPU terhadap norma UU, berdasarkan
ketentuan Pasal 8 ayat (2), Pasal 259 ayat (1) dan ayat (4) UU No 8/2012.
Ketidaksediaan
KPU melaksanakan keputusan Bawaslu tersebut berujung pada gugatan dari
PKPI ke PT TUN Jakarta. Jika dicermati, terlihat bahwa UU No 8/2012
tentang Pemilihan Umum Anggota DPR, DPD, dan DPRD sebenarnya memiliki
kekurangan (loopholes) dalam
konstruksi pengaturannya karena tidak mengakomodasi kemungkinan ada perbedaan
pendapat antara KPU dan Bawaslu terkait hasil verifikasi parpol sebagai
calon peserta pemilu.
Keputusan
Bawaslu dalam sengketa terkait hasil verifikasi parpol hanya bisa digugat
di PT TUN. Itu pun dalam waktu yang sangat terbatas yaitu hanya dalam
waktu 3 (tiga) hari kerja pascapengucapan keputusan Bawaslu (Pasal 269
ayat 2 UU Pemilu) sebagai lex specialis dari Pasal 55 UU Peradilan Tata
Usaha Negara yang memberikan jangka waktu gugatan 90 hari pascapenerbitan
keputusan tata usaha negara pejabat pemerintah.
Ketentuan
semacam itu berpotensi menimbulkan sengketa antarlembaga penyelenggara
pemilu karena justru menyubordinasikan posisi KPU sebagai lembaga
penyelenggara pemilu di satu sisi, namun di sisi lain bisa menempatkan
Bawaslu sebagai superbody
penyelenggara pemilu.
Hampir semua
pengaturan pengawasan terhadap penyelenggaraan pemilu difokuskan terhadap
KPU, namun ruang kontrol terhadap pelaksanaan fungsi Bawaslu dalam UU
Pemilu terlihat sangat sumir.
Putusan PT TUN Jakarta atas Gugatan PKPI
Putusan PT
TUN Jakarta Nomor 25/G/2013/PT.TUN.- JKT atas Gugatan Partai Keadilan dan
Persatuan Indonesia (PKPI) ternyata justru memicu timbul problematika
terkait konsiderasi yuridis dan vonis yang diputuskan di dalamnya.
Putusan PT
TUN tersebut, jika dicermati logika pertimbangan hukumnya, justru tidak
mampu memberikan solusi yang adil atas perselisihan antara KPU dan PKPI
yang merasa di atas angin karena keputusan Bawaslu berpihak kepadanya.
Terkait putusan PT TUN Jakarta tersebut dapat dilihat ada empat kejanggalan/kelemahan.
Hal itu
terlihat dari pertama, dasar pertimbangan hukum yang terlihat
parsialistik dan sangat sumir karena majelis hakim PT TUN dalam
pertimbangan hukumnya tidak mencermati keterkaitan secara sistematik
antara UU No 8/2012 tentang Pemilu dengan UU No 15/2012 tentang
Penyelenggara Pemilu.
Kedua,
menyangkut limitasi jangka waktu gugatan ke PT TUN oleh PKPI, terlihat
majelis hakim dalam salah satu bagian pertimbangan hukumnya secara
janggal justru menyatakan bahwa gugatan PKPI dapat diajukan kapan saja,
tidak terikat tenggang waktu tiga hari sejak pengucapan putusan Bawaslu
seperti yang secara limitatif dan restriktif ditentukan dalam UU No
8/2012.
Majelis hakim
PT TUN Jakarta semestinya sejak awal menolak gugatan PKPI, bukan justru
memaksakan untuk memeriksa dengan justru menganulir limitasi tenggang
waktu gugatan dalam Pasal 269 ayat (1) UU No 8/2012.
Ketiga,
terkait objek sengketa yang diuji di PT TUN Jakarta terlihat majelis
hakim justru mengubah objek gugatan yang diajukan penggugat yaitu
keputusan KPU Nomor 05/Kpts/KPU/Tahun 2013 tentang Penetapan Partai
Politik peserta Pemilu Tahun 2014 yang di dalamnya tidak meloloskan PKPI
dengan beberapa alasan hasil verifikasi menjadi perbuatan faktual KPU
yang tidak melaksanakan keputusan Bawaslu bernomor Permohonan:
012/SP-2/Set. Bawaslu/I/2013 yang memenangkan PKPI atas KPU.
Peradilan
Tinggi Tata Usaha Negara di Indonesia menurut UU No 5/1986 jis UU No
9/2004 dan UU No 51/2009 (UU Peradilan TUN) dan UU No 8/2012 tidak pernah
menempatkan perbuatan faktual pejabat tata usaha negara sebagai
kewenangan lembaga peradilan tersebut.
Keempat,
terkait dengan kelemahan ketiga di atas mengindikasikan bahwa: (1)
Majelis hakim PT TUN telah mengabaikan kebenaran materiil yang seharusnya
menjadi standar dalam pembuktian di PT TUN dengan mengabaikan pertanyaan
besar yang seharusnya digali dalam persidangan tersebut: mengapa KPU
tidak bersedia melaksanakan keputusan Bawaslu bernomor Permohonan:
012/SP-2/Set.Bawaslu/- I/2013? (2) Majelis hakim telah bertindak
melampaui kewenangan lembaga peradilan tata usaha negara di Indonesia
yang justru menguji perbuatan faktual dan bukan keputusan (beschikking)
KPU 05/Kpts/- KPU/Tahun 2013 seperti yang diamanatkan oleh UU Pemilu.
Koalisi LSM
telah mengadukan para hakim PT TUN yang mengadili kasus PKPI tersebut ke
Komisi Yudisial dengan dugaan pelanggaran kode etik. Namun, Bawaslu dan
salah satu ornop juga memerkarakan (komisioner) KPU ke Dewan Kehormatan
Penyelenggara Pemilu dengan alasan pelanggaran kode etik penyelenggara
pemilu.
Perseteruan
antara KPU dan Bawaslu tersebut justru memperlihatkan bahwa upaya dari
pembentuk UU Pemilu untuk membangun checks
and balances antara KPU dan Bawaslu telah gagal justru saat persiapan
pelaksanaan Pemilu 2014. Seharusnya UU Pemilu dapat mengantisipasi
potensi sengketa antarlembaga penyelenggara pemilu tersebut dengan
menyediakan perangkat institusi yang bisa memberikan solusi yang efektif
jika di antara dua lembaga tersebut terjadi perbedaan pendapat.
DKPP dalam
penyelesaian pengaduan PKPI tentang pelanggaran kode etik KPU harus bisa
bersikap bijak untuk mempertimbangkan secara komprehensif perbedaan
tafsir terhadap UU Pemilu di antara dua lembaga tersebut tanpa
menyudutkan KPU yang sudah berupaya maksimal untuk melakukan verifikasi
secara cermat agar dapat mempersiapkan pemilu yang berkualitas.
Upaya
musyawarah dan pendekatan yang kolaboratif di antara dua lembaga
penyelenggara pemilu tersebut harus selalu dikedepankan agar dua lembaga
penyelenggara pemilu tersebut dapat bekerja sama secara konstruktif
sesuai dengan kewenangan masingmasing untuk mendorong pelaksanaan pemilu
yang semakin berkualitas.
Bagaimana
mungkin bisa membangun pemilu yang aman dan damai di negeri ini jika dua
lembaga penyelenggara pemilunya justru tidak mampu berdamai? Diperlukan
sikap-sikap kenegarawanan di antara dua institusi penyelenggara pemilu
tersebut untuk dapat menjadi jembatan demokrasi bagi kelanjutan proses
transisi demokrasi di negeri ini. ●
|
|
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar