Pada puncak peringatan Hari Pers
Nasional di Manado, 11 Februari lalu, Bung Margiono, Ketua Umum PWI,
mempersoalkan independensi pers, ”Siapa
yang menjamin independensi Media Group terhadap Surya Paloh, Trans Corp
terhadap Chairul Tanjung, dan bahkan Jawa Pos Group terhadap Dahlan
Iskan?”
Dua hari sebelumnya, Menteri
Tifatul Sembiring juga mempersoalkan independensi media dan campur tangan
pemilik. Sementara itu, Presiden SBY saat pidato meminta kepada pemilik
dan manajemen media agar memberi ruang yang cukup dan relatif adil bagi
semua peserta pemilu.
Semua itu adalah gugatan
terhadap profesionalisme dan inde- pendensi pers yang dikaitkan dengan
kepemilikan, apalagi 2013-2014 merupakan tahun politik. Namun, pantaskah
gugatan itu hanya ditujukan kepada media? Bukankah gugatan itu juga layak
ditujukan kepada negara, yaitu regulator media, dan pemerintah yang
membiarkan pelanggaran etika dan hukum atas isi dan penguasaan media oleh
segelintir orang?
Elitisme dan Sentralisasi
Secara umum, media Indonesia
masih elitis, isinya seragam, dan kepemilikannya terkonsentrasi. Media
paling elite adalah cetak, yakni surat kabar dan majalah. Jumlahnya 1.324
buah. Total sirkulasinya 23,3 juta dengan 9,4 juta eksemplar surat kabar
harian untuk 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers, 2013). Jumlah
ini masih sangat kecil bila mengikuti standar minimal UNESCO yang 1:10
antara surat kabar dan penduduk. Apalagi, bila dibandingkan dengan negara
maju, seperti AS, Jepang, dan Jerman, yang jumlah sirkulasinya sebanding
dengan jumlah penduduk.
Media cetak Indonesia beredar
terutama di kota besar dan daerah urban. Untuk memperluas jangkauan,
internet digunakan. Meski pemakai internet tumbuh pesat, penetrasinya di
Indonesia baru 24,23 persen atau sekitar 63 juta penduduk (APJII, 2012).
Di negara maju, penetrasinya 70 persen ke atas.
Televisi swasta ternyata baru
menjangkau sekitar 78 persen penduduk yang 67 persen di antaranya atau
sekitar 122 juta mempunyai akses (Media
Scene, 2011). TVRI yang diharapkan menjangkau luas dan menjadi
alternatif belum mendapat perhatian yang layak.
Isi stasiun televisi swasta
lebih diorientasikan untuk penduduk urban, bersifat sangat seragam, dan
elitis. Betapa tidak, mayoritas stasiun televisi, yang sekitar 200 dari
300 stasiun televisi, dikuasai 10 stasiun televisi Jakarta/nasional yang
mendasarkan pada rating yang dibuat Nielsen (melakukan penelitian hanya
di 10 kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta,
Medan, Makassar, Palembang, Banjarmasin, dan Denpasar dengan lebih dari
50 persen cuplikan di Jakarta).
Radio jangkauannya paling luas
di Indonesia. Ini media paling demokratis dalam keragaman isi dan
kepemilikan. Terdapat 1.178 stasiun radio dengan 775 radio komersial,
sisanya adalah radio publik lokal atau komunitas. Terdapat 77 stasiun
RRI.
Menggugat Regulator
Regulasi media di negara
demokratis dibagi menjadi dua. Pertama, media yang tak menggunakan
wilayah publik atau frekuensi seperti surat kabar dan majalah. Di sini
berlaku prinsip pengaturan diri sendiri oleh penerbit dan organisasi
pers. Di Indonesia ada Dewan Pers yang bertugas menjaga kemerdekaan pers,
meningkatkan kualitas profesi wartawan, dan menyelesaikan sengketa
pemberitaan pers.
Banyak hal telah dilakukan Dewan
Pers, tetapi masih perlu ditingkatkan. Masih banyak pihak yang merasa
penyelesaian sengketa belum seperti yang diharapkan. Masih terkesan Dewan
Pers juru damai. Belum terlihat kegiatan penelitian yang memadai untuk
mengetahui media mana yang terbaik dan yang tidak.
Kedua, media yang memakai
wilayah publik/frekuensi seperti radio dan televisi. Pengaturannya ketat,
harus memperoleh izin, isi tidak boleh partisan, dan harus netral.
Kepemilikan dibatasi. Sekarang yang terjadi adalah isinya relatif seragam
dan banyak dipersoalkan orang, sistem berjaringan belum berjalan, dan
pemusatan kepemilikan yang berlebihan.
Bila isi media cetak tidak
independen, tidak dapat diberikan sanksi hukum, tetapi sanksi etik dan
sosial. Namun, isi media elektronik yang tidak netral bisa mendapatkan
sanksi etik, sosial, dan hukum.
Regulator utama dunia penyiaran
Indonesia adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Kominfo,
dan Bapepam-LK bagi perusahaan publik. Menyangkut soal isi, KPI sudah
cukup banyak memberi sanksi. Namun, soal independensi, KPI harus lebih
tegas. Saat pemilihan umum nanti, bersama KPU, ia harus memantau isi
media agar tetap netral.
Untuk kepemilikan media,
Kementerian Kominfo sebagai regulator utama seharusnya tidak membiarkan
konsentrasi terjadi. Putusan MK awal Oktober 2012 menyatakan secara
tegas, apa yang terjadi sekarang adalah soal implementasi norma, yaitu
soal penegakan hukum, bukan soal konstitusionalitas.
MK, mengutip peraturan
pemerintah sebagai tafsir pembatasan kepemilikan, menyatakan antara lain,
seseorang atau badan hukum langsung ataupun tak langsung hanya boleh
memiliki paling banyak dua stasiun televisi di dua provinsi berbeda. Yang
terjadi, seseorang atau badan hukum bisa menguasai lebih dari satu
stasiun televisi di satu provinsi, bahkan sampai tiga.
Introspeksi perlu dilakukan oleh
pers Indonesia, dan peran regulator harus ditingkatkan. Penegakan hukum
harus dilakukan Kementerian Kominfo, KPI, dan Bapepam-LK. Bila tidak, tak
perlu bicara independensi media ataupun demokrasi. Kapital telah
dibiarkan menguasai segalanya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar