Kamis, 18 April 2013

Menggugat Pers dan Negara


Menggugat Pers dan Negara
Amir Effendi Siregar   Ketua Dewan Pemimpin SPS Pusat
KOMPAS, 18 April 2013

  
Pada puncak peringatan Hari Pers Nasional di Manado, 11 Februari lalu, Bung Margiono, Ketua Umum PWI, mempersoalkan independensi pers, ”Siapa yang menjamin independensi Media Group terhadap Surya Paloh, Trans Corp terhadap Chairul Tanjung, dan bahkan Jawa Pos Group terhadap Dahlan Iskan?”
Dua hari sebelumnya, Menteri Tifatul Sembiring juga mempersoalkan independensi media dan campur tangan pemilik. Sementara itu, Presiden SBY saat pidato meminta kepada pemilik dan manajemen media agar memberi ruang yang cukup dan relatif adil bagi semua peserta pemilu.
Semua itu adalah gugatan terhadap profesionalisme dan inde- pendensi pers yang dikaitkan dengan kepemilikan, apalagi 2013-2014 merupakan tahun politik. Namun, pantaskah gugatan itu hanya ditujukan kepada media? Bukankah gugatan itu juga layak ditujukan kepada negara, yaitu regulator media, dan pemerintah yang membiarkan pelanggaran etika dan hukum atas isi dan penguasaan media oleh segelintir orang?
Elitisme dan Sentralisasi
Secara umum, media Indonesia masih elitis, isinya seragam, dan kepemilikannya terkonsentrasi. Media paling elite adalah cetak, yakni surat kabar dan majalah. Jumlahnya 1.324 buah. Total sirkulasinya 23,3 juta dengan 9,4 juta eksemplar surat kabar harian untuk 240 juta penduduk (Serikat Perusahaan Pers, 2013). Jumlah ini masih sangat kecil bila mengikuti standar minimal UNESCO yang 1:10 antara surat kabar dan penduduk. Apalagi, bila dibandingkan dengan negara maju, seperti AS, Jepang, dan Jerman, yang jumlah sirkulasinya sebanding dengan jumlah penduduk.
Media cetak Indonesia beredar terutama di kota besar dan daerah urban. Untuk memperluas jangkauan, internet digunakan. Meski pemakai internet tumbuh pesat, penetrasinya di Indonesia baru 24,23 persen atau sekitar 63 juta penduduk (APJII, 2012). Di negara maju, penetrasinya 70 persen ke atas.
Televisi swasta ternyata baru menjangkau sekitar 78 persen penduduk yang 67 persen di antaranya atau sekitar 122 juta mempunyai akses (Media Scene, 2011). TVRI yang diharapkan menjangkau luas dan menjadi alternatif belum mendapat perhatian yang layak.
Isi stasiun televisi swasta lebih diorientasikan untuk penduduk urban, bersifat sangat seragam, dan elitis. Betapa tidak, mayoritas stasiun televisi, yang sekitar 200 dari 300 stasiun televisi, dikuasai 10 stasiun televisi Jakarta/nasional yang mendasarkan pada rating yang dibuat Nielsen (melakukan penelitian hanya di 10 kota besar: Jakarta, Bandung, Semarang, Surabaya, Yogyakarta, Medan, Makassar, Palembang, Banjarmasin, dan Denpasar dengan lebih dari 50 persen cuplikan di Jakarta).
Radio jangkauannya paling luas di Indonesia. Ini media paling demokratis dalam keragaman isi dan kepemilikan. Terdapat 1.178 stasiun radio dengan 775 radio komersial, sisanya adalah radio publik lokal atau komunitas. Terdapat 77 stasiun RRI.
Menggugat Regulator
Regulasi media di negara demokratis dibagi menjadi dua. Pertama, media yang tak menggunakan wilayah publik atau frekuensi seperti surat kabar dan majalah. Di sini berlaku prinsip pengaturan diri sendiri oleh penerbit dan organisasi pers. Di Indonesia ada Dewan Pers yang bertugas menjaga kemerdekaan pers, meningkatkan kualitas profesi wartawan, dan menyelesaikan sengketa pemberitaan pers.
Banyak hal telah dilakukan Dewan Pers, tetapi masih perlu ditingkatkan. Masih banyak pihak yang merasa penyelesaian sengketa belum seperti yang diharapkan. Masih terkesan Dewan Pers juru damai. Belum terlihat kegiatan penelitian yang memadai untuk mengetahui media mana yang terbaik dan yang tidak.
Kedua, media yang memakai wilayah publik/frekuensi seperti radio dan televisi. Pengaturannya ketat, harus memperoleh izin, isi tidak boleh partisan, dan harus netral. Kepemilikan dibatasi. Sekarang yang terjadi adalah isinya relatif seragam dan banyak dipersoalkan orang, sistem berjaringan belum berjalan, dan pemusatan kepemilikan yang berlebihan.
Bila isi media cetak tidak independen, tidak dapat diberikan sanksi hukum, tetapi sanksi etik dan sosial. Namun, isi media elektronik yang tidak netral bisa mendapatkan sanksi etik, sosial, dan hukum.
Regulator utama dunia penyiaran Indonesia adalah Komisi Penyiaran Indonesia (KPI), Kementerian Kominfo, dan Bapepam-LK bagi perusahaan publik. Menyangkut soal isi, KPI sudah cukup banyak memberi sanksi. Namun, soal independensi, KPI harus lebih tegas. Saat pemilihan umum nanti, bersama KPU, ia harus memantau isi media agar tetap netral.
Untuk kepemilikan media, Kementerian Kominfo sebagai regulator utama seharusnya tidak membiarkan konsentrasi terjadi. Putusan MK awal Oktober 2012 menyatakan secara tegas, apa yang terjadi sekarang adalah soal implementasi norma, yaitu soal penegakan hukum, bukan soal konstitusionalitas.
MK, mengutip peraturan pemerintah sebagai tafsir pembatasan kepemilikan, menyatakan antara lain, seseorang atau badan hukum langsung ataupun tak langsung hanya boleh memiliki paling banyak dua stasiun televisi di dua provinsi berbeda. Yang terjadi, seseorang atau badan hukum bisa menguasai lebih dari satu stasiun televisi di satu provinsi, bahkan sampai tiga.
Introspeksi perlu dilakukan oleh pers Indonesia, dan peran regulator harus ditingkatkan. Penegakan hukum harus dilakukan Kementerian Kominfo, KPI, dan Bapepam-LK. Bila tidak, tak perlu bicara independensi media ataupun demokrasi. Kapital telah dibiarkan menguasai segalanya.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar