Secara moral dan etika, saya
merasa perlu menjelaskan mengapa Rancangan Kitab Undang-undang Hukum
Pidana hanya terdiri atas dua buku. RKUHP terdiri dari Buku I tentang
Asas-Asas Umum (Algemene Beginselen)
dan Buku II tentang Kejahatan (Misdrijven).
Pada zaman Orde Baru, sayang
saya lupa tanggal dan bulannya, yang pasti setelah 1978, saya diminta
oleh mantan promotor saya, Prof Mr Soedarto, bertemu dengan seorang
perwira tinggi—katanya dekat dengan Presiden Soeharto—untuk membicarakan
RKUHP.
Dalam tukar pikiran yang
”intens” saat itu, saya kemukakan alasan dan pertimbangan saya, dan
terutama sekali dari segi kriminologi, bahwa RKUHP yang akan datang hanya
terdiri atas dua buku. Sebagai contoh saya kemukakan pula KUHP Austria
yang terdiri atas dua buku.
Konsultasi
Prof Soedarto dengan persetujuan
Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN) pada waktu itu mengutus saya ke
Belanda untuk berkonsultasi dengan Prof Nico Keyzer dari Hoge Raad
(Mahkamah Agung) Belanda dan Prof Schaffmeister dari Fakultas Hukum
Leiden di Belanda.
Prof Keyzer pada mulanya tidak
setuju. ”Zeg Sahetapy,” kata
Prof Keyzer, ”Belanda tetap memakai
Buku III. Mengapa Anda mau menghapusnya?”
Dalam perdebatan dalam bahasa
Belanda, saya tanya mengapa Code Penal dari Perancis yang terdiri atas
empat buku cuma diambil alih Belanda menjadi tiga buku. Lagi pula saya
tengah membaca buku Prof Schaffmeister tentang rechtsdelicten (delik hukum) dan wetsdelicten (delik undang-undang) dalam kaitan dengan Buku
III WvSNed.
Dalam sesi bertukar pikiran
singkat, tetapi mendalam ini ”disepakati” bahwa RKUHP Indonesia bisa
memiliki dua buku saja. ”Disetujui” di sini jangan ditafsirkan secara
politis, tetapi perdebatan secara yuridis-filosofis dan
kriminologis-sosiologis.
Ketika Prof Soedarto diangkat
sebagai Ketua RKUHP oleh BPHN, secara resmi ditetapkan bahwa RKUHP
hanya memiliki dua buku.
Alas Hukum
Kini, dalam masyarakat beredar
terjemahan WvS (Ned-Indie),
yaitu dari Prof Moeljatno, dari Soesilo, dan dari BPHN di mana saya turut
dalam proses penerjemahan. Ketiganya belum satu pun diberi alas hukum.
Adalah tidak tepat sama sekali
kalau dipandang bahwa ketiga terjemahan itu sah berdasarkan Undang-Undang
Nomor 1 Tahun 1946. Ketika Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1946 diundangkan,
ketiga terjemahan itu belum ada. Menggunakan Pasal VI sekalipun juga
tidak betul. Sebab, dalam pasal tersebut ditetapkan WvS Ned Indie menjadi
WVS dan disebut Kitab Undang-undang Hukum Pidana (KUHP). Tidak bisa
ditafsirkan secara lain.
Jadi, terlepas dari kapan RKUHP
akan selesai dibahas oleh DPR sekarang, meskipun sudah sangat-sangat
terlambat, sudah waktunya penguasa (overheid)
memilih salah satu dari tiga terjemahan itu untuk diberi alas hukum agar
penerapan hukum pidana ataupun perdata (BW terjemahan Prof Soebekti)
berada di rel hukum yang tepat. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar