Sekali lagi, pegawai Direktorat
Jenderal Pajak ditangkap oleh Komisi Pemberantasan Korupsi.
Sementara ini, lembaga
antikorupsi itu sudah menggelandang empat orang yang diduga terlibat
kasus penggelapan pajak. Salah satunya adalah oknum penyidik pegawai
negeri sipil di Ditjen Pajak (9 April 2013).
Apa sebenarnya yang sedang
berlaku tatkala pegawai pajak terjerat kasus korupsi? Bukankah institusi
ini menjadi proyek percontohan program reformasi birokrasi sehingga gaji
semua pegawai dan pejabatnya dinaikkan di atas rata-rata lembaga lainnya?
Atau, jangan-jangan kenaikan pendapatan sah ini belum cukup juga memenuhi
kebutuhan pegawai dan pejabat pajak?
Perlawanan Rakyat
Sesungguhnya, dari kasus tangkap
tangan pegawai pajak, ada ketakutan—setidaknya pada saya pribadi—akan
timbul perlawanan rakyat. Bakal muncul pembangkangan publik (people disobedience).
Pada 14-17 Desember 2012, warga
Nahdlatul Ulama menggelar Musyawarah Nasional Alim Ulama sekaligus
Konferensi Besar NU di Cirebon, Jawa Barat. Dalam perhelatan ini, pajak
jadi salah satu bahasan utama.
Apa pasal pajak sampai menjadi
topik yang sangat serius dibahas kala itu? Jika kerangka anggaran belanja
dan pendapatan negara diurai, secara garis besar terdapat tiga komponen
penyusun: pendapatan (revenue),
belanja (expenditure), dan
utang luar negeri (debt).
Pendapatan dipecah menjadi dua
item, pajak dan pendapatan negara bukan pajak alias PNBP. Jadi, kebocoran
di sektor pajak akan sangat memengaruhi laju pemerintahan karena sumber
tenaga (pendapatan) negara berkurang. Ini akan mengakibatkan pengurusan
hak rakyat dan hak warga negara terganggu.
Dalam Munas Alim Ulama dan
Konbes NU dikatakan, pungutan yang wajib dibayar berdasarkan Al Quran dan
Al-Hadits adalah zakat. Sementara pungutan lain yang boleh dibayar,
termasuk pajak, harus didasarkan pada tujuan kemaslahatan, kesejahteraan,
dan kemanusiaan. Apabila ada kebocoran terhadap pengelolaan pajak, masih
wajibkah kita membayar? Dari sinilah rasa waswas atas ketidaktundukan
rakyat terhadap pemimpinnya lahir.
Untuk mencegahnya, para alim
ulama dan warga NU mendorong serta merekomendasikan agar pemerintah,
sebagai ulil amri, melakukan dua hal. Pertama, transparan dan akuntabel
mengelola pajak dan memastikan tak ada kebocoran. Kedua, mengutamakan
penggunaan pajak untuk kemaslahatan rakyat.
Namun, sayang sekali, pemerintah
seperti menutup telinga terhadap masukan kaum alim ulama dan warga.
Pegawai pajak lagi-lagi ”membajak”, mencuri, merampok, dan mengorupsi
pajak. Harapan pajak untuk perbaikan republik pun karam. Kalau sudah
begini, siapa yang bertanggung jawab jika masyarakat tak mau lagi bayar
pajak?
Oleh karena itu, kasus tangkap
tangan penyidik pajak oleh KPK mesti menjadi perhatian serius agar wajib
pajak masih sudi bayar pajak. Program reformasi birokrasi di Ditjen Pajak
khususnya dan kementerian keuangan serta kementerian lain umumnya layak
dievaluasi ulang.
Langkah remunerasi, meningkatkan
pendapatan sah para pejabat dan pegawai pajak, harus ditata ulang.
Terbukti dengan dugaan kasus korupsi, langkah tersebut dinilai gagal
menjaga integritas para aparatus.
Tidak Mudah
Mungkin saja tata ulang
remunerasi bukan hal mudah. Sebab, kenaikan pendapatan terkait dengan
kesejahteraan setiap individu penerima—serta keluarganya. Di samping itu,
akan ada pleidoi dari pegawai pajak yang bersih terhadap rencana tata
ulang remunerasi. Tak elok pula jika satu oknum pejabat atau pegawai
melakukan ritual jahat, kemudian semua mendapat cambukan. Lalu, apa yang
mesti dilakukan untuk mencegah oknum perpajakan berbuat jahat?
Perlu pola yang tepat untuk
mencegah agar noda setitik tak merusak susu sebelanga. Sekaligus mencegah
supaya riak niatan ketakpatuhan rakyat membayar pajak tidak tumbuh subur.
Perjalanan Hakim Plana (Plana Judge),
yang dinarasikan oleh Robert Klitgaard dalam Membasmi Korupsi (Controlling Corruption: 2001),
membersihkan The Bureau of Internal
Revenue (BIR)—semacam Ditjen Pajak Filipina—dari korupsi menjadi
referensi bagi pemerintah dalam mengambil langkah bersih-bersih ”sampah”
di Ditjen Pajak.
Langkah pertama adalah melakukan
evaluasi dan menemukan titik panas korupsi (hot spot) di internal institusi pajak. Pengawasan internal
pajak harus membuat daftar (assessment)
dari atas ke bawah mengenai sektor paling korup di institusinya.
Kerja sama antarpegawai dan
pimpinan menjadi syarat wajib untuk menemukan titik-titik panas itu.
Prasyarat langkah ini sederhana: kesepahaman bahwa korupsi dan pembajakan
pajak menjadi musuh bersama semua pejabat dan pegawai pajak.
Kedua, mengumpulkan semua
informasi penting mengenai dugaan penyelewengan di perpajakan. Pada tahap
ini, kerja sama dengan pihak di luar Ditjen Pajak mutlak diperlukan.
Biasanya pihak ketiga banyak menyimpan kartu as setiap aparatus pembajak
atau pencuri pajak. Pada bagian ini pula, informasi dan data dari hasil
sadap penegak hukum juga menjadi faktor keberhasilan langkah pembersihan
korupsi di sektor pajak.
Sadap Perlu
Sadap-tangkap adalah tindakan
taktis yang tak boleh dihilangkan dalam memberantas korupsi. Dengan kata
lain, tatkala ada usulan untuk mempersulit penyadapan melalui proses
administrasi (perizinan), boleh jadi akan juga menyusahkan langkah
pembersihan korupsi pajak.
Langkah ketiga, tetapi bukan
yang terakhir, adalah dengan memberikan efek jera bagi setiap oknum
aparatus pajak korup. Hakim Plana dalam masa awal kepemimpinannya memecat
34 pejabat, meminta mundur 15 pejabat, dan menyuruh keluar 39 pejabat
dari kelembagaan BIR. Ia juga merotasi 11 kepala kantor wilayah pajak, 5
asisten kepala kantor wilayah, dan 9 pejabat pendapatan daerah (Robert
Klitgaard, 2001: 72).
Poinnya adalah siapa korupsi,
jatuhkanlah hukuman yang berat. Jika dengan tiga langkah tersebut masih
saja ada aparatus yang korup pembajak pajak, biarlah Tuhan yang
mengurusnya. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar