Kamis, 04 April 2013

Mengamankan Bonus Demografi


Mengamankan Bonus Demografi
Anton Sanjoyo  ;   Wartawan Kompas
KOMPAS, 04 April 2013



Hari Kamis ini, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah Daerah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2014. Di antara beberapa pokok pembahasan, fokus juga diarahkan ke bidang kesejahteraan masyarakat yang menyangkut urusan pendidikan, perpustakaan, kearsipan, serta urusan pemuda dan olahraga.
Sebagai etalase negara, Pemprov DKI sangat berkepentingan bahwa urusan tersebut harus menjadi patokan bagi daerah lain. Sejumlah program atau apa pun yang dikerjakan harus menjadi standar minimal menuju kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Oleh sebab itu, dalam setiap Musrenbang, Pemprov DKI selalu mengundang unsur-unsur masyarakat agar dari mereka terserap berbagai masukan, kritik dan saran.

Di bidang olahraga yang terkait dengan upaya membuat masyarakat sehat, harus diingat, Indonesia saat ini sedang mengalami bonus demografi. Sederhananya, ini adalah situasi saat struktur penduduk didominasi kelompok usia produktif, 15-64 tahun. Dalam struktur ini, hampir setengahnya adalah penduduk berusia 29 tahun, posisi usia paling produktif dan jumlahnya sangat masif, yakni 120 juta orang.

Dengan komposisi penduduk seperti ini, secara ekonomi Indonesia bisa tumbuh sekitar 9 persen. Ekonom Muhammad Chatib Basri bahkan optimistis jika kelompok penduduk produktif ini sehat dan pendapatannya stabil dengan rata-rata belanja 4 dollar AS per hari, ekonomi Indonesia akan tumbuh dengan digit ganda.

Meski begitu, kata kuncinya adalah masyarakat harus sehat. Di wilayah hukum DKI, problem ini merupakan sebuah tantangan yang sangat keras. Contoh paling mudah adalah ketidakmampuan pemda melindungi warganya dari bahaya asap rokok. Coba tengok sejumlah mal dan ruang publik lain, perokok dengan bebas mengembuskan asap racunnya kepada orang di sekitarnya. Padahal, DKI Jakarta punya Peraturan Gubernur (Pergub) Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Peraturan Daerah (Perda) No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Sangat jelas, kedua produk hukum ini bertujuan melindungi masyarakat dari bahaya asap rokok dan pencemaran udara. Namun, dalam praktiknya, kedua peraturan tersebut adalah ”macan ompong” karena pelanggarannya sangat jelas dan masif.

Lembaga Demografi Universitas Indonesia mencatat, persentase laki-laki merokok di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, yakni 67,4 persen. Tercatat pula remaja perokok saat ini yang berusia 15-19 tahun adalah penghuni pasar kerja tahun 2020-2030. Di Indonesia saat ini terdapat sekitar 4 juta perokok remaja berusia 15-19 tahun dan sekitar 6 juta perokok dewasa awal (20-24 tahun). Mereka akan menyesaki pasar kerja pada 2020-2030 dengan kondisi sakit-sakitan.

Beban negara akibat terus meningkatnya konsumsi rokok juga mencengangkan. Menurut penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, pada 2010, kerugian makroekonomi total terkait konsumsi rokok mencapai Rp 245,4 triliun. Angka raksasa ini di antaranya disebabkan hilangnya waktu produktif karena sakit, disabilitas, dan biaya pembelian rokok sebesar Rp 138 triliun.

Sementara itu, penerimaan negara dari cukai rokok pada 2010 hanya Rp 56 triliun. Itu berarti, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok empat kali lipat dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok.

Disadari, Pemprov DKI memang tak punya kekuasaan menekan konsumsi rokok karena instrumen cukai, yang bisa dipakai untuk memengaruhi pola konsumsi, merupakan domain pemerintah pusat. Namun, Pemprov punya instrumen pergub dan perda untuk melindungi warganya agar tidak terpapar asap rokok dan menjadi perokok pasif.

Jika pergub dan perda di atas dapat diterapkan dengan ketat, Pemprov DKI berperan sangat besar dalam pelaksanaan amanat Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU ini dijabarkan dalam Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.

Sayangnya, perangkat peraturan—mulai dari yang tertinggi, undang-undang, hingga perda—masih terlalu banyak lubang dalam pelaksanaannya. Sekali lagi, Pemprov DKI punya kesempatan menjadi garda terdepan dalam soal perlindungan masyarakat jika mampu melaksanakan pergub dan perda secara keras.

Selain harus melindungi warga dari bahaya asap rokok dan pencemaran udara, Pemprov DKI juga punya obligasi untuk menyediakan ruang terbuka hijau (RTH) agar masyarakat punya akses untuk melakukan kegiatan jasmani. Dalam kongres Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Kopenhagen, Denmark, tahun 2010, diingatkan kembali tentang peran negara yang sangat krusial menyangkut penyediaan ruang terbuka hijau ini.

Studi IOC di sejumlah negara menunjukkan sulitnya akses masyarakat terhadap RTH membuat kelompok remaja rentan terhadap bahaya obesitas, kriminalitas, dan yang paling memprihatinkan adalah terperangkap narkoba.

Obesitas menjadi keprihatinan tersendiri bagi IOC karena fenomenanya hampir merata di seluruh dunia, terutama masyarakat perkotaan. Tumbuhnya teknologi informasi dengan cepat yang dibarengi dengan efisiensi membuat perangkat seperti komputer atau gadget dapat dijangkau masyarakat kelas paling bawah sekalipun. Ini berimplikasi pada semakin banyaknya remaja yang menghabiskan waktu senggangnya tanpa olah fisik.

Berkaca kepada Jepang, mereka sudah kehabisan bonus demografi dan saat ini terbebani oleh penduduk usia tua. Indonesia masih punya cukup waktu untuk tidak kehilangan bonus demografi ini dengan catatan masyarakatnya dilindungi dan diberi akses seluas-luasnya pada RTH. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar