Hari Kamis ini, Pemerintah Provinsi Daerah Khusus Ibu Kota Jakarta
menggelar Musyawarah Perencanaan Pembangunan Rencana Kerja Pemerintah
Daerah, Provinsi DKI Jakarta tahun 2014. Di antara beberapa pokok
pembahasan, fokus juga diarahkan ke bidang kesejahteraan masyarakat yang
menyangkut urusan pendidikan, perpustakaan, kearsipan, serta urusan
pemuda dan olahraga.
Sebagai etalase negara, Pemprov DKI sangat berkepentingan bahwa
urusan tersebut harus menjadi patokan bagi daerah lain. Sejumlah program
atau apa pun yang dikerjakan harus menjadi standar minimal menuju
kesejahteraan masyarakat yang lebih baik. Oleh sebab itu, dalam setiap
Musrenbang, Pemprov DKI selalu mengundang unsur-unsur masyarakat agar
dari mereka terserap berbagai masukan, kritik dan saran.
Di bidang olahraga yang terkait dengan upaya membuat masyarakat
sehat, harus diingat, Indonesia saat ini sedang mengalami bonus
demografi. Sederhananya, ini adalah situasi saat struktur penduduk
didominasi kelompok usia produktif, 15-64 tahun. Dalam struktur ini,
hampir setengahnya adalah penduduk berusia 29 tahun, posisi usia paling
produktif dan jumlahnya sangat masif, yakni 120 juta orang.
Dengan komposisi penduduk seperti ini, secara ekonomi Indonesia
bisa tumbuh sekitar 9 persen. Ekonom Muhammad Chatib Basri bahkan
optimistis jika kelompok penduduk produktif ini sehat dan pendapatannya
stabil dengan rata-rata belanja 4 dollar AS per hari, ekonomi Indonesia
akan tumbuh dengan digit ganda.
Meski begitu, kata kuncinya adalah masyarakat harus sehat. Di
wilayah hukum DKI, problem ini merupakan sebuah tantangan yang sangat
keras. Contoh paling mudah adalah ketidakmampuan pemda melindungi
warganya dari bahaya asap rokok. Coba tengok sejumlah mal dan ruang
publik lain, perokok dengan bebas mengembuskan asap racunnya kepada orang
di sekitarnya. Padahal, DKI Jakarta punya Peraturan Gubernur (Pergub)
Nomor 88 Tahun 2010 tentang Kawasan Dilarang Merokok dan Peraturan Daerah
(Perda) No 2/2005 tentang Pengendalian Pencemaran Udara.
Sangat jelas, kedua produk hukum ini bertujuan melindungi
masyarakat dari bahaya asap rokok dan pencemaran udara. Namun, dalam
praktiknya, kedua peraturan tersebut adalah ”macan ompong” karena
pelanggarannya sangat jelas dan masif.
Lembaga Demografi Universitas Indonesia mencatat, persentase
laki-laki merokok di Indonesia adalah yang tertinggi di dunia, yakni 67,4
persen. Tercatat pula remaja perokok saat ini yang berusia 15-19 tahun
adalah penghuni pasar kerja tahun 2020-2030. Di Indonesia saat ini
terdapat sekitar 4 juta perokok remaja berusia 15-19 tahun dan sekitar 6
juta perokok dewasa awal (20-24 tahun). Mereka akan menyesaki pasar kerja
pada 2020-2030 dengan kondisi sakit-sakitan.
Beban negara akibat terus meningkatnya konsumsi rokok juga
mencengangkan. Menurut penelitian Soewarta Kosen dari Badan Penelitian
dan Pengembangan Kesehatan Departemen Kesehatan, pada 2010, kerugian
makroekonomi total terkait konsumsi rokok mencapai Rp 245,4 triliun.
Angka raksasa ini di antaranya disebabkan hilangnya waktu produktif
karena sakit, disabilitas, dan biaya pembelian rokok sebesar Rp 138
triliun.
Sementara itu, penerimaan negara dari cukai rokok pada 2010 hanya
Rp 56 triliun. Itu berarti, kerugian makroekonomi terkait konsumsi rokok
empat kali lipat dibandingkan dengan penerimaan negara dari cukai rokok.
Disadari, Pemprov DKI memang tak punya kekuasaan menekan konsumsi
rokok karena instrumen cukai, yang bisa dipakai untuk memengaruhi pola
konsumsi, merupakan domain pemerintah pusat. Namun, Pemprov punya
instrumen pergub dan perda untuk melindungi warganya agar tidak terpapar
asap rokok dan menjadi perokok pasif.
Jika pergub dan perda di atas dapat diterapkan dengan ketat,
Pemprov DKI berperan sangat besar dalam pelaksanaan amanat Undang-Undang
Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan. UU ini dijabarkan dalam Peraturan
Pemerintah (PP) Nomor 109 Tahun 2012 tentang Pengamanan Bahan yang
Mengandung Zat Adiktif Berupa Produk Tembakau bagi Kesehatan.
Sayangnya, perangkat peraturan—mulai dari yang tertinggi,
undang-undang, hingga perda—masih terlalu banyak lubang dalam
pelaksanaannya. Sekali lagi, Pemprov DKI punya kesempatan menjadi garda
terdepan dalam soal perlindungan masyarakat jika mampu melaksanakan
pergub dan perda secara keras.
Selain harus melindungi warga dari bahaya asap rokok dan pencemaran
udara, Pemprov DKI juga punya obligasi untuk menyediakan ruang terbuka
hijau (RTH) agar masyarakat punya akses untuk melakukan kegiatan jasmani.
Dalam kongres Komite Olimpiade Internasional (IOC) di Kopenhagen,
Denmark, tahun 2010, diingatkan kembali tentang peran negara yang sangat
krusial menyangkut penyediaan ruang terbuka hijau ini.
Studi IOC di sejumlah negara menunjukkan sulitnya akses masyarakat
terhadap RTH membuat kelompok remaja rentan terhadap bahaya obesitas,
kriminalitas, dan yang paling memprihatinkan adalah terperangkap narkoba.
Obesitas menjadi keprihatinan tersendiri bagi IOC karena
fenomenanya hampir merata di seluruh dunia, terutama masyarakat
perkotaan. Tumbuhnya teknologi informasi dengan cepat yang dibarengi
dengan efisiensi membuat perangkat seperti komputer atau gadget
dapat dijangkau masyarakat kelas paling bawah sekalipun. Ini berimplikasi
pada semakin banyaknya remaja yang menghabiskan waktu senggangnya tanpa
olah fisik.
Berkaca kepada Jepang, mereka sudah kehabisan bonus demografi dan
saat ini terbebani oleh penduduk usia tua. Indonesia masih punya cukup
waktu untuk tidak kehilangan bonus demografi ini dengan catatan
masyarakatnya dilindungi dan diberi akses seluas-luasnya pada RTH. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar