Presiden mengingatkan bahwa Pancasila tidak boleh disakralkan
(Kompas, 27/2). Ia bukan jiwa bangsa dan tidak sakti. Pihak yang
menyakralkan berarti tidak tahu Pancasila yang ”cuma barang galian”.
Saya tahu Pancasila berawal di SMP-SMA pada akhir 1950-an lewat
mata pelajaran Civic dengan nilai terbaik. Memperdalam pada insan kamil
Pancasila di Akademi Militer oleh Prof Notonagoro, seterusnya pada 1978
saya dianggap layak menjadi pengajar Pancasila di Mabes TNI AD. Namun,
tetap saja Pancasila sesuatu yang tak jelas bagi saya. Barang galian itu
baru saya temukan saat hidup bersama transmigran pada 1981-1990.
Pancasila sangat indah, bukan sakti.
Di sana saya hidup bersama 5.000 keluarga transmigran lain plus
ribuan keluarga penduduk Baturaja. Terdiri dari 27 subsuku yang beragam
nilai anutannya, rata-rata bersekolah kelas dua SD, lahannya tandus
habis, miskin struktural, mereka—saya sangat yakin—akan makmur bila mau
bersatu dan kerja keras. Dari hari ke hari saya berupaya mempersatukan
mereka.
Keyakinan itu mentok satu tahun pertama. Saling curiga sungguh
menghambat. ”Biar miskin asal sombong,” katanya. Dalam satu blok saja (30
keluarga) sangat sulit dipersatukan, lebih sulit lagi di satu unit
permukiman (500-an keluarga), apalagi untuk 5.000 keluarga. Ia layak
sombong karena punya lahan lima hektar dan rumah sendiri, dapat saling
pamer kebolehan masing-masing dalam komunitas baru, malah sudah mengenal
intrik. Sementara itu, lahannya relatif telantar karena tingginya tingkat
kesulitan.
Pada tahun kedua, strategi komunikasi diubah. Mereka ditinggikan.
Semula saya ”ajari”, kini bertanya, ”Gimana, Kang, menanam cabai itu?”
Langsung mereka tunjukkan kebolehan mereka, jati diri mereka muncul,
bahkan menganggap saya pemimpin mereka.
Pada tahun ketiga, 12 unit permukiman itu berhasil menyatukan diri
dalam Yayasan Batumarta Bangun (YBB). Isak tangis dan peluk kasih
mewarnai mencairnya rasa curiga antarmereka. Hancur segala kesombongan,
melebur menjadi kebersamaan.
Alam Bawah Sadar
Isak dan peluk adalah manifestasi Pancasila dari yang bodoh dan
miskin menghasilkan partisipasi masyarakat. YBB berswasembada, bekerja
sama dengan Sekolah Farming Menengah Atas (SFMA) Ugaran mendirikan SFMA
khusus lahan podzolik kuning-merah. SFMA dipilih agar anak mereka bisa
menggarap lahan luas itu dengan produktivitas maksimal. Ternyata,
kelahiran YBB dan segala swasembadanya tak disukai Pemda Baturaja. SFMA
diambil alih, bubar pada tahun keempat. Warga kembali jadi inlander,
rendah diri, tetapi suka garang dan sombong.
Teknik komunikasi itu membongkar dua wajah manusia Indonesia.
Ketika sadar, wajah inlander sangat kuat, taat sekali kepada orang
berkuasa, tetapi jadi garang dan sombong ketika tahu yang dihadapi lemah.
Wajah kedua saat alam bawah sadarnya tersentuh. Tampilannya lima sila:
percaya kepada Tuhan, berkemanusiaan, ingin selalu dalam persatuan, suka
musyawarah, dan berkeadilan antarsesama. Itulah indahnya Pancasila, hanya
muncul bila digali dari alam bawah sadar. Dengan Pancasila, orang bodoh
dan miskin itu mampu berswadaya bikin SFMA.
Pengalaman itu harus diuji lewat konstitusi. Lima sila terdapat di
akhir Pembukaan UUD 1945. Kita harus menguasai jiwa dan napas Pembukaan
agar paham Pancasila. Tanpa ingin menjadi Indonesia seperti termaktub di
alinea 1, 2 dan 3, sebenarnya kita tak butuh Pancasila. Misalnya, alinea
1 memuat bahwa arti merdeka bagi bangsa Indonesia adalah hak bangsa,
bukan hak individu. Artinya, selama hak sebagai bangsa masih terganggu, kita
belum merdeka. Maka, penjajahan di atas dunia harus dihapuskan. Selama
Indonesia hanyut dalam arus penjajahan global, Pancasila tak diperlukan.
Setiap pemimpin di negeri ini dituntut bergairah menggali alam
bawah sadar masyarakat. Di alam bawah sadar itulah ”keajaiban” Pancasila
hadir dan bisa menghasilkan sesuatu yang luar biasa. Contoh konkret
adalah ”keajaiban pertempuran Surabaya” dan ”keajaiban pengusiran
penjajah 1949”. Bukan Pancasila yang sakti, tetapi penghormatan harus
diberikan kepada kemampuan pemimpin menggali alam bawah sadar masyarakat
dan menghasilkan partisipasi untuk pencapaian tujuan kita bernegara dan
berbangsa. Sila para pemimpin berpacu mewujudkan partisipasi masyarakat
yang berarti Pancasila hadir. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar