Rabu, 24 April 2013

Mencari Caleg Berkualitas


Mencari Caleg Berkualitas
Joko Wahyono ; Peneliti pada Center for Indonesian Political Studies
(CIPS) Yogyakarta
SUARA KARYA, 23 April 2013


Pasca pengundian nomor urut partai politik (parpol) peserta pemilu 2014, suhu politik di negeri ini mulai memanas. Ini merupakan momentum dimulainya pertarungan politik bagi parpol untuk memperebutkan kembali simpati dan kepercayaan publik. Masing-masing dari mereka mulai pasang kuda-kuda untuk mengatur strategi dalam rangka memenangi pemilu yang tak lama lagi akan digelar.

Selain tentunya gencar menjual brand image sebagai bentuk pencitraan kepada publik, kini parpol juga tengah berlomba membuka lebar-lebar lowongan calon legislatif (caleg) "baru" demi mendapat posisi strategis pada pemilu legislatif mendatang. Bahkan, perburuan caleg eksteral dari luar parpol ini dinyatakan secara terbuka melalui media massa, kegiatan temu kader dan sosialisasi visi-misi partai.

Artinya, lowongan caleg ini membuka kesempatan bagi siapa saja yang memiliki potensi dan kesiapan untuk menghadirkan perubahan bagi bangsa ini. Mereka tentu bisa berasal dari berbagai kalangan dengan bermacam latar belakang, seperti akademisi, aktivis organisasi, pembisnis atau pengusaha, buruh, tokoh-tokoh ormas, seniman, bahkan artis.

Perburuan kader ini juga bisa dimaknai sebagai upaya untuk mengakomodasi sejumlah politisi terbaik dari partai yang berstatus disqualified dalam verifikasi Komisi Pemilihan Umum (KPU), sementara publik belum mengenalnya. Karena biar bagaimana pun, kualitas tanpa popularitas menjadi suatu kelemahan paling mendasar. Apalagi tidak memiliki kendaran penopang (baca: parpol) dan kekuatan finansial memadai, padahal kualitas mereka baik. Mereka ini bisa dibilang sebagai kekuatan civil society yang selama ini tak terfasilitasi oleh parpol langganan peserta pemilu.

Bagi parpol, perekrutan caleg ini tentu tidak akan merugikan, apalagi membahayakan eksistensinya. Parpol akan mengusung caleg yang diharapkan bisa mendongkrak citra dan mendulang banyak suara. Jadi faktor popularitas menjadi pertimbangan utama. Sementara, soal kinerja bisa dipoles setelah lolos menjadi anggota DPR. Tak heran jika kalangan artis masih menjadi bidikan utama parpol. Pasalnya, popularitas artis melebihi kepopuleran profesi lainnya. Memang ada sejumlah artis yang memiliki kemampuan sebagai wakil rakyat. Namun, fenomena artis yang hanya menjadi vote getter demi memenangi kursi parleman juga tak bisa dielakkan.

Namun, jika tidak hati-hati, bukan tidak mungkin parpol akan ditinggalkan oleh konstituen yang kini semakin cerdas dalam menentukan pilihan. Pengabaian kualitas caleg juga akan memperburuk citra parlemen. Pengalaman pemilu legislatif sebelumnya cukup memberi bukti betapa buruknya kinerja anggota dewan di perleman. Kita tentu masih ingat tentang produktivitas DPR dalam mengesahkan UU. Dari 69 RUU yang masuk dalam Program Legislasi Nasional (prolegnas) 2012, DPR hanya mengesahkan 30 UU saja. Sementara, sepanjang 2012 MK menangani 169 perkara pengajuan UU, di mana 97 diputus, 30 dikabulkan, 3 ditolak, 30 tidak diterima, 5 ditarik kembali, dan 72 perkara masih dalam penanganan.

Ini menunjukkan bahwa kinerja anggota dewan dalam menghasilkan produk legislasi baik secara kuantitas maupun kualitas masih jauh dari harapan. Persoalan lain yang tak kalah buruk adalah korupsi. Baru-baru ini KPK menahan 7 anggota DPRD Riau, karena tersangkut dugaan korupsi pembangunan tempat penyelenggaraan Pekan Olahraga Nasional (PON) Riau. Sementara, Kemendagri mencatat selama 2004-2012, ada sekitar 710 anggota DPRD terseret korupsi, di mana 349 DPRD Kabupaten/Kota, 381 DPRD tingkat I.

Demikian pula Indonesian Couraption Watch (ICW) merilis bahwa sepanjang 2012, ada 44 kader parpol korupsi, 21 anggota dan mantan anggota DPR/DPRD, 21 kepala daerah dan sisanya pengurus parpol. Buruknya kinerja anggota dewan ini berawal dari kegagalan parpol dalam mensuplai caleg berkualitas dan memiliki spirit pengabdian yang tinggi.

Jangan Diobral

Sebenarnya, langkah parpol menggaet caleg eksternal ini patut diapresiasi sebagai upaya untuk mendobrak sistem oligarki-transaksional parpol. Karena sistem ini menyumbat kekuatan civil society untuk tampil ke depan, sehingga hanya sejumlah elite partai saja yang memonopoli kekuasaan. Lebih-lebih sistem demokrasi memberikan hak konstitusional bagi setiap warga negara untuk memilih dan dipilih.

Namun sayangnya proses konsolidasi demokrasi yang selama ini tengah berjalan belum bisa menciptakan pola kaderisasi yang terlembagakan dalam sebuah partai. Akibatnya, parpol mengalami krisis regenerasi keder. Nama-nama caleg yang beredar acap kali lebih sekedar "daur ulang" dari wajah-wajah lama.

Untuk itulah, ketika parpol membuka lowongan caleg eksternal, kualitas dan track record pendaftar harus menjadi perhatian serius. Parpol harus jeli melihat branding yang tidak sekedar political look, melainkan yang terpenting adalah political performance. Jangan sampai lowongan caleg ini diobral murah, perekrutannya hanya berorientasi pada kerja "hiburan" demi menyenangkan basis konstituen sesaat. Jika demikian, parpol tidak akan memiliki yang benar-benar mengakar di tengah masyarakat. Semua hanya kader musiman yang muncul setiap lima tahun sekali. Mereka adalah para politisi instan tanpa modal pengalaman baik di tingkat lokal maupun nasional.

Kemunculan para politisi seperti itu pada akhirnya tentu saja akan melahirkan sistem politik yang bersifat artifisial. Dalam kondisi ini, visi-misi dan program kerja tentu saja tidak akan pernah menyentuh kebutuhan mendasar (basic needs) masyarakat sesungguhnya. Selain itu, masyarakat yang memiliki hak pilih juga harus didorong untuk tidak asal memilih wakil mereka di perlemen. Peran KPU dan media massa sangat besar dalam memperkenalkan caleg agar masyarakat tidak milih (lagi) kucing dalam karung. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar