Rabu, 24 April 2013

Kartini dan Darurat Perempuan (Part 2 of 2)


Kartini dan Darurat Perempuan (Part 2 of 2)
Giwo Rubianto ; Waketum PP Kesatuan Perempuan Partai Golkar (KPPG),
Aktivis Perempuan dan Anak
SUARA KARYA, 23 April 2013


Sekali lagi, kekerasan dalam rumah tangga merupakan persoalan kompleks akibat ketimpangan gender, hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk mengatasinya dibutuhkan kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual, praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT sebagai musuh bersama. Sebuah kesepakatan bahwa kekerasan apa pun bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan HAM yang bertentangan dengan prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan. Kasus lain yang cukup memprihatinkan menimpa kaum perempuan adalah perkosaan. Kasus ini bahkan terus melonjak di Indonesia. Pada Januari 2013 terjadi 25 kasus perkosaan dan dua kasus pencabulan. Jumlah korbannya 29 orang dan jumlah pelaku mencapai 45 orang. Tragisnya, pada Januari 2013 telah terjadi lima kasus perkosaan, tiga di antaranya dilakukan sejumlah pelajar terhadap gadis teman sekolahnya.

Data Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan, sebagian besar korban perkosaan berusia 1-16 tahun sebanyak 23 orang dan usia 17-30 tahun sebanyak enam orang. Sedangkan pelaku perkosaan berusia 14-39 sebanyak 32 orang. Pelaku berusia 40-70 tahun (12 orang). Lokasi perkosaan sebagian besar terjadi di rumah korban (21 kasus) dan 6 kasus terjadi di jalanan. Data ini menunjukkan rumah sendiri ternyata tidak aman bagi korban. Sebab, pelaku perkosaan terdiri dari tetangga 8 orang, keluarga atau orang dekat 7 orang, teman 4 orang, ayah kandung 3 orang dan ayah tiri 2 orang.

IPW mendata, maraknya angka perkosaan ini karena semakin mudahnya masyarakat mengakses film-film porno, baik melalui internet maupun lewat ponsel. Memang, sebagian besar pelaku perkosaan kepada polisi mengaku mereka melakukan aksinya karena terangsang setelah melihat film-film porno.Politik Perempuan.

Partisipasi politik perempuan telah menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Sejak keluarnya UU No. 2 Tahun 2008 tentang kewajiban bagi Partai Politik agar memberi kuota 30% bagi calon lagislatif perempuan, sejatinya perempuan mulai memiliki ruang yang jelas dalam politik. Secara regulasi, perempuan tidak hanya diproyeksikan menunaikan kerja-kerja domestik, rumah tangga semata, tetapi juga mendapat kesempatan untuk memasuki dunia politik. Selain ikut serta menentukan kebijakan publik, mereka praktis ikut pula menentukan perbaikan nasib perempuan.

Memang UU No 12 Tahun 2003 tentang Pemilu hanya memperhatikan kuota 30% tetapi pada UU No. 2 Tahun 2008 sudah mulai ada angin segar karena jelas tercantum dalam 2 ayat 2: Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pada pasal 2 ayat 5 dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Sedangkan pada Pasal 20 dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19 ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%, yang diatur dalam AD dan ART partai politik masing-masing. Kehadiaran UU No. 2 Tahun 2008 tersebut setidaknya dapat menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian dalam pencalonan legislatif. Sebenarnya, seberapa penting perempuan harus menjadi anggota legislatif?

Semuanya berawal pada kesadaran bersama akan pentingnya kebijakan yang mewakili kepentingan perempuan di ruang pengambil kebijakan, yaitu Legislatif. Tuntutan komitmen partai politik ditegaskan pada pasal 8 ayat (1) poin B d bahwa untuk menjadi peserta pemilu, partai politik harus mencantumkan surat keterangan dari pengurus pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan sekurang-kurangnya 30%. Sedangkan penekanan pada KPU berbunyi pada pasal 58 ayat (2). Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya 30% keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar calon tersebut, walaupun tidak ada sanksi yang tegas untuk menjerat parpol jika tidak memuat kuota 30%. Dalam hal ini, KPU harus bersikap tegas atas komitmennya mendukung keterwakilan perempuan di legislatif. Begitupun dari seluruh lapisan masyarakat, harus ada komitmen bersama. Pertama, masyarakat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk duduk di legislatif. Kedua, harus ada kontrol kebijakan oleh seluruh lapisan masyarakat - terutama aktivis perempuan - atas kerja-kerja anggota legislatif perempuan, tanpa lelah mendampingi mereka untuk merumuskan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender.

Akhirnya banyak perempuan mengira bahwa mengikuti style dan gaya hidup materialistis merupakan ciri perempuan modern dan emansipatif. Padahal, Kartini bukan memperjuangkan budaya materialistis, konsumtif, dan gaya hidup serba wah, tetapi berjuang untuk meningkatkan kualitas perempuan untuk terus berkarya dan partisipatif dalam berbagai bidang, agar dapat menyumbangkan manfaat besar bagi bangsa.

Bagaimanapun peringatan Hari Kartini harus dimaknai sesuai dengan konteks masa kini dengan tetap berpegang teguh pada nilai-nilai karakter bangsa. Perjuangan Kartini harus menjadi ide bagi perubahan bangsa, bukan sekedar sebagai bahan diskusi, seminar dan lokakarya, tetapi harus diwujudkan dalam aksi konkrit yang berpihak pada kamaslahatan perempuan Indonesia.

Masih banyaknya perempuan menghadapi masalah yang kompleks menuntut negara dan pemerintah agar bertindak cepat, sistematis dan berkelanjutan untuk memberikan perlindungan terhadap perempuan. Pemerintah pun perlu menumbuhkan kultur yang lebih adil dan setara, mengenai peran perempuan dan laki-laki.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar