Sekali lagi, kekerasan dalam
rumah tangga merupakan persoalan kompleks akibat ketimpangan gender,
hukum yang lemah dan budaya patriarkhi. Untuk mengatasinya dibutuhkan
kesadaran bersama dari seluruh elemen masyarakat, kaum intelektual,
praktisi, akademisi, budayawan dan agamawan agar menempatkan kasus KDRT
sebagai musuh bersama. Sebuah kesepakatan bahwa kekerasan apa pun
bentuknya, termasuk KDRT merupakan kejahatan HAM yang bertentangan dengan
prinsip-prinsip kemanusiaan dan ketuhanan. Kasus lain yang cukup
memprihatinkan menimpa kaum perempuan adalah perkosaan. Kasus ini bahkan
terus melonjak di Indonesia. Pada Januari 2013 terjadi 25 kasus perkosaan
dan dua kasus pencabulan. Jumlah korbannya 29 orang dan jumlah pelaku
mencapai 45 orang. Tragisnya, pada Januari 2013 telah terjadi lima kasus
perkosaan, tiga di antaranya dilakukan sejumlah pelajar terhadap gadis
teman sekolahnya.
Data Indonesia Police Watch (IPW) menyebutkan, sebagian besar
korban perkosaan berusia 1-16 tahun sebanyak 23 orang dan usia 17-30 tahun
sebanyak enam orang. Sedangkan pelaku perkosaan berusia 14-39 sebanyak 32
orang. Pelaku berusia 40-70 tahun (12 orang). Lokasi perkosaan sebagian
besar terjadi di rumah korban (21 kasus) dan 6 kasus terjadi di jalanan.
Data ini menunjukkan rumah sendiri ternyata tidak aman bagi korban.
Sebab, pelaku perkosaan terdiri dari tetangga 8 orang, keluarga atau
orang dekat 7 orang, teman 4 orang, ayah kandung 3 orang dan ayah tiri 2
orang.
IPW mendata, maraknya angka
perkosaan ini karena semakin mudahnya masyarakat mengakses film-film
porno, baik melalui internet maupun lewat ponsel. Memang, sebagian besar
pelaku perkosaan kepada polisi mengaku mereka melakukan aksinya karena
terangsang setelah melihat film-film porno.Politik Perempuan.
Partisipasi politik perempuan
telah menjadi fenomena tersendiri di negeri ini. Sejak keluarnya UU No. 2
Tahun 2008 tentang kewajiban bagi Partai Politik agar memberi kuota 30%
bagi calon lagislatif perempuan, sejatinya perempuan mulai memiliki ruang
yang jelas dalam politik. Secara regulasi, perempuan tidak hanya
diproyeksikan menunaikan kerja-kerja domestik, rumah tangga semata,
tetapi juga mendapat kesempatan untuk memasuki dunia politik. Selain ikut
serta menentukan kebijakan publik, mereka praktis ikut pula menentukan
perbaikan nasib perempuan.
Memang UU No 12 Tahun 2003
tentang Pemilu hanya memperhatikan kuota 30% tetapi pada UU No. 2 Tahun
2008 sudah mulai ada angin segar karena jelas tercantum dalam 2 ayat 2:
Pendirian dan pembentukan partai politik sebagaimana dimaksud pada ayat
(1) menyertakan 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan. Pada
pasal 2 ayat 5 dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik tingkat pusat
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) disusun dengan menyertakan
sekurang-kurangnya 30% (tiga puluh perseratus) keterwakilan perempuan.
Sedangkan pada Pasal 20 dinyatakan bahwa kepengurusan partai politik
tingkat provinsi dan kabupaten/kota sebagaimana dimaksud dalam pasal 19
ayat (2) dan ayat (3) disusun dengan memperhatikan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%, yang diatur dalam AD dan ART partai politik
masing-masing. Kehadiaran UU No. 2 Tahun 2008 tersebut setidaknya dapat
menjadi jembatan bagi perempuan untuk turut ambil bagian dalam pencalonan
legislatif. Sebenarnya, seberapa penting perempuan harus menjadi anggota
legislatif?
Semuanya berawal pada
kesadaran bersama akan pentingnya kebijakan yang mewakili kepentingan
perempuan di ruang pengambil kebijakan, yaitu Legislatif. Tuntutan
komitmen partai politik ditegaskan pada pasal 8 ayat (1) poin B d bahwa
untuk menjadi peserta pemilu, partai politik harus mencantumkan surat
keterangan dari pengurus pusat tentang penyertaan keterwakilan perempuan
sekurang-kurangnya 30%. Sedangkan penekanan pada KPU berbunyi pada pasal
58 ayat (2). Dalam hal daftar bakal calon tidak memuat sekurang-kurangnya
30% keterwakilan perempuan, KPU, KPU provinsi, dan KPU kabupaten/kota
memberikan kesempatan kepada partai politik untuk memperbaiki daftar
calon tersebut, walaupun tidak ada sanksi yang tegas untuk menjerat parpol
jika tidak memuat kuota 30%. Dalam hal ini, KPU harus bersikap tegas atas
komitmennya mendukung keterwakilan perempuan di legislatif. Begitupun
dari seluruh lapisan masyarakat, harus ada komitmen bersama. Pertama,
masyarakat memberikan kesempatan seluas-luasnya kepada perempuan untuk
duduk di legislatif. Kedua, harus ada kontrol kebijakan oleh seluruh
lapisan masyarakat - terutama aktivis perempuan - atas kerja-kerja
anggota legislatif perempuan, tanpa lelah mendampingi mereka untuk
merumuskan kebijakan-kebijakan yang sensitif gender.
Akhirnya banyak perempuan
mengira bahwa mengikuti style dan gaya hidup materialistis merupakan ciri
perempuan modern dan emansipatif. Padahal, Kartini bukan memperjuangkan
budaya materialistis, konsumtif, dan gaya hidup serba wah, tetapi
berjuang untuk meningkatkan kualitas perempuan untuk terus berkarya dan
partisipatif dalam berbagai bidang, agar dapat menyumbangkan manfaat
besar bagi bangsa.
Bagaimanapun peringatan Hari
Kartini harus dimaknai sesuai dengan konteks masa kini dengan tetap
berpegang teguh pada nilai-nilai karakter bangsa. Perjuangan Kartini
harus menjadi ide bagi perubahan bangsa, bukan sekedar sebagai bahan
diskusi, seminar dan lokakarya, tetapi harus diwujudkan dalam aksi
konkrit yang berpihak pada kamaslahatan perempuan Indonesia.
Masih banyaknya perempuan
menghadapi masalah yang kompleks menuntut negara dan pemerintah agar
bertindak cepat, sistematis dan berkelanjutan untuk memberikan
perlindungan terhadap perempuan. Pemerintah pun perlu menumbuhkan kultur
yang lebih adil dan setara, mengenai peran perempuan dan laki-laki. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar