Kamis, 11 April 2013

Memudarnya Sekolah-Sekolah Tua


Memudarnya Sekolah-Sekolah Tua
Rhenald Kasali  ;  Ketua Program MM UI 
KORAN SINDO, 11 April 2013
  

Tak dapat dimungkiri sekolah-sekolah kita menghadapi banyak masalah. Dan, bangsa yang besar sudah pasti perlu meresponsnya. Tapi bagaimana caranya? Mendiknas Moh Nuh dan wakilnya, Musliar Kasim, melihat suasana belajar yang dihadapi anak-anak kita sudah tidak kondusif. 

Beban mata pelajaran sudah berlebihan, anak-anak semakin hari semakin stres. Memperbarui gedung saja tak cukup untuk mengusir hantu-hantu yang membuat anak-anak sering kesurupan menjelang ujian nasional (UN). Anies Baswedan, Rektor Universitas Paramadina yang aktif dalam perubahan sosial, membantu secara sukarela dengan program Indonesia Mengajar yang luar biasa. 

Tetapi sebagian besar guru-guru besar memilih berpolemik di koran. Anies bukan tak menghadapi kendala. Puluhan anak Universitas Indonesia (UI) yang ikut mengabdi dalam program Indonesia Mengajar melihat fenomena yang sama: masih banyak sekolah yang metodenya sudah tidak fun. 

Banyak mahasiswa saya yang sudah siap dengan gitar dan suling hanya bisa bermain sendiri dalam kesepian. Mengapa demikian? Jawabannya, karena guru-guru sekolah di daerah terpencil lebih ingin “guru-guru baru” itu membantu agar anak-anak siap menghadapi UN. Jadi, ketimbang mengajak mereka bermain atau menumbuhkan “kecerdasan-kecerdasan relasionalnya”, lebih baik mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, fisika, dan bahasa Inggris. 

Jadi Apa yang Mau Diubah? 

Yang mau diubah jelas suasananya. Lalu bagaimana caranya? Dibuka-buka ternyata sumbernya ada banyak. Salah satunya jumlah mata pelajaran itu. Apa solusinya? Yang satu bilang: Hapus saja mata pelajaran yang tidak penting-penting. Tetapi begitu hal itu ditawarkan, reaksi pun bermunculan. Seperti membagi warisan, mengubah kurikulum itu tak ada yang mau dikurangi. Tak ada yang mau mata ajarannya dihapus. 

Yang lain membuka Undang-Undang Sisdiknas (UU Nomor 20/2003) dan menemukan constrain lain. Di undang-undang itu disebutkan kurikulum pendidikan nasional harus mencakup apa saja. Jadi kalau ada mata ajaran yang disebut dalam UU “tidak dicantumkan” dalam draf kurikulum, bisa jadi masalah besar. Ia bisa kandas di Mahkamah Konstitusi (MK). Jadilah ramuan gado-gado yang dibiarkan sakral. 

Orang lain mengatakan, “Kalau tidak bisa dikurangi, metodenya saja kita ubah.” Ide ini terkesan brilian, maka mereka menuju arah itu. Dari metode mengajar elementer, yang parsial dibuat terpisah-pisah, digabung menjadi pendekatan integratif. Seorang ilmuwan senior sepengetahuan saya berucap sangat dalam, “Jika perlu, mata pelajaran di SD digabung saja menjadi satu.” Lho kok hanya satu? “Ya,” katanya, “Kita beri saja judul: Manusia dan Alam Sekitarnya.
Kalau ini jadi kenyataan, anak-anak Indonesia pasti akan senang. Tapi bagaimana guru-gurunya? Bagaimana pebisnis buku? Belum lagi orang-orang yang senang unjuk kehebatan berpolemik. Padahal Moh Nuh dan Musliar Kasim hanya punya waktu yang terbatas: satu tahun lagi kabinet berakhir. It’s now or never. Apa Anda yakin Mendiknas masa depan berani dan mau diolok-olok tidak bernalar seperti yang terjadi sekarang? 

Penglihatan Tidak Sama 

Kemarin, saya mengajak guru-guru di yayasan yang saya asuh untuk merundingkan itu. Tetapi bukannya saya didengar, guru-guru yang rata-rata orang kampung yang sederhana itu malah menertawakan saya. Mereka bilang begin,: “Lha, Bapak, itu kan (pendekatan integratif) yang sudah kami lakukan dari dulu.” Apakah buat anak-anak cukup jelas? “Iya Pak, itu justru yang membuat anak-anak kita lebih cerdas, lebih assertive, lebih respek pada alam dan sesamanya. Lebih artikulatif,” lanjut mereka.
Saya pun tertegun. Pagi ini sebelum menulis saya pun observasi di PAUD-TK Kutilang yang diasuh istri saya. Mata saya bersinar-sinar. Saya tertegun bagaimana anak seorang tukang siomay keliling bisa menjelaskan biji-bijian dengan detail. Seorang anak tukang ojek langganan anak saya bisa membangun gedung tinggi dari balok-balok yang tersedia dengan menjelaskan cara berpikir yang indah. Logika keaksaraan yang menjadi modal bagi ilmu matematika mereka kuasai dengan baik. 

Kata istri saya, anak-anak diajak “recalling”, bernegosiasi dengan kelompoknya, menahan amarah, membaca realita dan mengungkapkan bahasa-bahasa positif. Apakah ini namanya semua? “Ini metode. Isinya sama, tetapi metodenya berbeda.” Apakah diperlukan guru-guru yang S-2 atau S-3? “Tidak Pak, kami juga bisa, ini malah lebih simpel,” ujar guru-guru itu. Istri saya tersenyum. Di belakang mereka, dialah mentor bagi guru-guru itu. 

Sekolah-Sekolah Tua Bermasalah 

Hari-hari ini saya hanya mendengar keluhan demi keluhan tentang kurikulum baru. Tetapi harus kita akui, niat baik Mendiknas itu memang belum menghasilkan karya seperti yang diinginkan. Orang-orang yang terlibat dalam diskusi internal bersama kementerian banyak bercerita di sosial media betapa amburadulnya kesimpulan- kesimpulan yang ditarik. Dan, itu sudah cukup bagi sebagian orang untuk menilai layak atau tidaknya sebuah kurikulum. 

Entah apa yang terjadi di sana, sepertinya banyak gagasan-gagasan hebat yang terputus atau sulit diterjemahkan. Berbagai pihak yang menguliti kurikulum itu menceritakan segala masalah dan kejanggalan-kejanggalan. Ya, seperti itulah masalah bangsa kita ini. Kita semua dibentuk dalam sistem pendidikan yang tidak artikulatif, tidak mampu menerjemahkan isi pikiran kita ke dalam tulisan-tulisan yang menyatukan gagasan-gagasan hebat. 

Apa yang tertulis, mencerminkan kemampuan kita berekspresi. Jadinya serba kacau dan lebih mudah dikritik daripada dipasarkan. Kalau Anda pernah membuat kajian untuk mengikuti akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional, pasti Anda juga pernah mengalami hal serupa. Kajian dan laporan yang dibuat anak buah yang berpendidikan tinggi sekalipun ternyata tidak diartikulasikan dengan baik. 

Akibatnya akreditasi buruk. Padahal saat presentasi lisan, bisa dijelaskannya dengan baik. Ini fenomena Indonesia yang merata di mana-mana. Dan tanpa bermaksud membela kurikulum baru, saya justru menemukan jurang itu: tuduhan-tuduhan pada pengkritik yang saya cross kepada Kemendiknas ternyata banyak yang tak sesuai. Sebaliknya, apa yang dipikirkan Mendiknas dan tim perumus ternyata tidak sama dengan yang diterima sejumlah elite. 

Benar saja, apa yang diungkapkan itu pun menjadi umpatan dan kritik tajam di media massa. Semuanya bersuara sama: Tunda saja, atau Batalkan! Suasananya mengingatkan saya saat MMUI mengubah metode belajarnya, dan dosen-dosen yang menentang minta ditunda. Sementara saya merasa kita sudah sangat ketinggalan. Kita jadi terperangkap dalam semangat melawan. Sedikit sekali orang yang bisa diajak kembali pada tujuan awal, yaitu: persekolahan kita harus diperbaiki. 

Belajar harus dibuat lebih menyenangkan. Para pengkritik menuding Mendiknas keras kepala. Mendiknas pun meregangkan: cukup 10% saja dulu SD yang ikut kurikulum baru. Tetapi para pengkritik yang tidak mau, tidak ingin masuk dalam kategori yang 90%. Mereka tetap bilang: harus ditunda! (Tetapi kalau masuk yang 90%, sesungguhnya sudah ditunda, bukan?) Kata ditunda secara implisit bermakna minta “dibatalkan”. Kita terperangkap antara “I” dengan “You”. 

Padahal, mana ada pembaruan yang langsung hebat? Maaf, tidak ada. Tetapi kalau itu dikatakan pada mereka, dengan tangkas akan segera dijawab: pendidikan bukan kelinci percobaan! Padahal jelas sekali ribuan sekolah lama, yang jadi kebanggaan kita dulu, kini tengah menjadi museum: tua, angker, kelihatan berwibawa, namun satu per satu alumnusnya urung mengirim anak-anaknya ke sana. Mereka punya pilihan sekolah-sekolah baru yang metode belajarnya jauh lebih baik. 

Dilema bukan? Yang baru belum bagus, yang lama sudah ditolak. Syukur kalau ini dipahami, tetapi ternyata tidak. Semua hanya disangkal. Persis seperti kisah yang dihadapi para rasul dalam kitab suci. Sekali lagi tidak ada pembaharuan yang instan. Pembaruan itu prosesnya dari penghancuran dahulu, lalu kekacauan, baru pertobatan dan perbaikan-perbaikan. 

Pionir yang berani, ya jalan dulu, mereka bisa dapat keahlian, tapi yang lain bisa belajar dari kekurangannya. Seperti kata pepatah: “In the end everything will be okay”. Lantas, bagaimana kalau saat ini “tidak oke”. Ah, itu artinya “it’s not the end yet”. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar