Tak dapat dimungkiri sekolah-sekolah kita
menghadapi banyak masalah. Dan, bangsa yang besar sudah pasti perlu
meresponsnya. Tapi bagaimana caranya? Mendiknas Moh Nuh dan wakilnya, Musliar
Kasim, melihat suasana belajar yang dihadapi anak-anak kita sudah tidak
kondusif.
Beban mata
pelajaran sudah berlebihan, anak-anak semakin hari semakin stres.
Memperbarui gedung saja tak cukup untuk mengusir hantu-hantu yang membuat
anak-anak sering kesurupan menjelang ujian nasional (UN). Anies Baswedan,
Rektor Universitas Paramadina yang aktif dalam perubahan sosial, membantu
secara sukarela dengan program Indonesia
Mengajar yang luar biasa.
Tetapi
sebagian besar guru-guru besar memilih berpolemik di koran. Anies bukan
tak menghadapi kendala. Puluhan anak Universitas Indonesia (UI) yang ikut
mengabdi dalam program Indonesia
Mengajar melihat fenomena yang sama: masih banyak sekolah yang
metodenya sudah tidak fun.
Banyak
mahasiswa saya yang sudah siap dengan gitar dan suling hanya bisa bermain
sendiri dalam kesepian. Mengapa demikian? Jawabannya, karena guru-guru
sekolah di daerah terpencil lebih ingin “guru-guru baru” itu membantu agar anak-anak siap menghadapi
UN. Jadi, ketimbang mengajak mereka bermain atau menumbuhkan “kecerdasan-kecerdasan relasionalnya”,
lebih baik mengajarkan matematika, bahasa Indonesia, fisika, dan bahasa
Inggris.
Jadi Apa yang Mau Diubah?
Yang mau
diubah jelas suasananya. Lalu bagaimana caranya? Dibuka-buka ternyata
sumbernya ada banyak. Salah satunya jumlah mata pelajaran itu. Apa
solusinya? Yang satu bilang: Hapus saja mata pelajaran yang tidak
penting-penting. Tetapi begitu hal itu ditawarkan, reaksi pun
bermunculan. Seperti membagi warisan, mengubah kurikulum itu tak ada yang
mau dikurangi. Tak ada yang mau mata ajarannya dihapus.
Yang lain
membuka Undang-Undang Sisdiknas (UU Nomor 20/2003) dan menemukan constrain lain. Di undang-undang
itu disebutkan kurikulum pendidikan nasional harus mencakup apa saja.
Jadi kalau ada mata ajaran yang disebut dalam UU “tidak dicantumkan”
dalam draf kurikulum, bisa jadi masalah besar. Ia bisa kandas di Mahkamah
Konstitusi (MK). Jadilah ramuan gado-gado yang dibiarkan sakral.
Orang lain
mengatakan, “Kalau tidak bisa
dikurangi, metodenya saja kita ubah.” Ide ini terkesan brilian, maka
mereka menuju arah itu. Dari metode mengajar elementer, yang parsial
dibuat terpisah-pisah, digabung menjadi pendekatan integratif. Seorang
ilmuwan senior sepengetahuan saya berucap sangat dalam, “Jika perlu, mata pelajaran di SD
digabung saja menjadi satu.” Lho kok hanya satu? “Ya,” katanya, “Kita
beri saja judul: Manusia dan Alam Sekitarnya.”
Kalau ini jadi kenyataan, anak-anak
Indonesia pasti akan senang. Tapi bagaimana guru-gurunya? Bagaimana
pebisnis buku? Belum lagi orang-orang yang senang unjuk kehebatan
berpolemik. Padahal Moh Nuh dan Musliar Kasim hanya punya waktu yang
terbatas: satu tahun lagi kabinet berakhir. It’s now or never. Apa Anda yakin Mendiknas masa depan berani
dan mau diolok-olok tidak bernalar seperti yang terjadi sekarang?
Penglihatan Tidak Sama
Kemarin, saya
mengajak guru-guru di yayasan yang saya asuh untuk merundingkan itu.
Tetapi bukannya saya didengar, guru-guru yang rata-rata orang kampung
yang sederhana itu malah menertawakan saya. Mereka bilang begin,: “Lha, Bapak, itu kan (pendekatan
integratif) yang sudah kami lakukan dari dulu.” Apakah buat anak-anak
cukup jelas? “Iya Pak, itu justru
yang membuat anak-anak kita lebih cerdas, lebih assertive, lebih respek
pada alam dan sesamanya. Lebih
artikulatif,” lanjut mereka.
Saya pun tertegun. Pagi ini sebelum
menulis saya pun observasi di PAUD-TK Kutilang yang diasuh istri saya.
Mata saya bersinar-sinar. Saya tertegun bagaimana anak seorang tukang
siomay keliling bisa menjelaskan biji-bijian dengan detail. Seorang anak
tukang ojek langganan anak saya bisa membangun gedung tinggi dari
balok-balok yang tersedia dengan menjelaskan cara berpikir yang indah.
Logika keaksaraan yang menjadi modal bagi ilmu matematika mereka kuasai
dengan baik.
Kata istri
saya, anak-anak diajak “recalling”,
bernegosiasi dengan kelompoknya, menahan amarah, membaca realita dan
mengungkapkan bahasa-bahasa positif. Apakah ini namanya semua? “Ini metode. Isinya sama, tetapi
metodenya berbeda.” Apakah diperlukan guru-guru yang S-2 atau S-3? “Tidak Pak, kami juga bisa, ini malah
lebih simpel,” ujar guru-guru itu. Istri saya tersenyum. Di belakang
mereka, dialah mentor bagi guru-guru itu.
Sekolah-Sekolah Tua Bermasalah
Hari-hari ini
saya hanya mendengar keluhan demi keluhan tentang kurikulum baru. Tetapi
harus kita akui, niat baik Mendiknas itu memang belum menghasilkan karya
seperti yang diinginkan. Orang-orang yang terlibat dalam diskusi internal
bersama kementerian banyak bercerita di sosial media betapa amburadulnya
kesimpulan- kesimpulan yang ditarik. Dan, itu sudah cukup bagi sebagian
orang untuk menilai layak atau tidaknya sebuah kurikulum.
Entah apa
yang terjadi di sana, sepertinya banyak gagasan-gagasan hebat yang
terputus atau sulit diterjemahkan. Berbagai pihak yang menguliti
kurikulum itu menceritakan segala masalah dan kejanggalan-kejanggalan.
Ya, seperti itulah masalah bangsa kita ini. Kita semua dibentuk dalam
sistem pendidikan yang tidak artikulatif, tidak mampu menerjemahkan isi
pikiran kita ke dalam tulisan-tulisan yang menyatukan gagasan-gagasan
hebat.
Apa yang
tertulis, mencerminkan kemampuan kita berekspresi. Jadinya serba kacau
dan lebih mudah dikritik daripada dipasarkan. Kalau Anda pernah membuat
kajian untuk mengikuti akreditasi dari Badan Akreditasi Nasional, pasti
Anda juga pernah mengalami hal serupa. Kajian dan laporan yang dibuat
anak buah yang berpendidikan tinggi sekalipun ternyata tidak
diartikulasikan dengan baik.
Akibatnya
akreditasi buruk. Padahal saat presentasi lisan, bisa dijelaskannya
dengan baik. Ini fenomena Indonesia yang merata di mana-mana. Dan tanpa
bermaksud membela kurikulum baru, saya justru menemukan jurang itu:
tuduhan-tuduhan pada pengkritik yang saya cross kepada Kemendiknas ternyata banyak yang tak sesuai.
Sebaliknya, apa yang dipikirkan Mendiknas dan tim perumus ternyata tidak
sama dengan yang diterima sejumlah elite.
Benar saja,
apa yang diungkapkan itu pun menjadi umpatan dan kritik tajam di media
massa. Semuanya bersuara sama: Tunda
saja, atau Batalkan! Suasananya mengingatkan saya saat MMUI mengubah
metode belajarnya, dan dosen-dosen yang menentang minta ditunda.
Sementara saya merasa kita sudah sangat ketinggalan. Kita jadi
terperangkap dalam semangat melawan. Sedikit sekali orang yang bisa
diajak kembali pada tujuan awal, yaitu: persekolahan kita harus diperbaiki.
Belajar harus
dibuat lebih menyenangkan. Para pengkritik menuding Mendiknas keras
kepala. Mendiknas pun meregangkan: cukup 10% saja dulu SD yang ikut
kurikulum baru. Tetapi para pengkritik yang tidak mau, tidak ingin masuk
dalam kategori yang 90%. Mereka tetap bilang: harus ditunda! (Tetapi
kalau masuk yang 90%, sesungguhnya sudah ditunda, bukan?) Kata ditunda
secara implisit bermakna minta “dibatalkan”. Kita terperangkap antara “I”
dengan “You”.
Padahal, mana
ada pembaruan yang langsung hebat? Maaf, tidak ada. Tetapi kalau itu
dikatakan pada mereka, dengan tangkas akan segera dijawab: pendidikan
bukan kelinci percobaan! Padahal jelas sekali ribuan sekolah lama, yang
jadi kebanggaan kita dulu, kini tengah menjadi museum: tua, angker,
kelihatan berwibawa, namun satu per satu alumnusnya urung mengirim anak-anaknya
ke sana. Mereka punya pilihan sekolah-sekolah baru yang metode belajarnya
jauh lebih baik.
Dilema bukan?
Yang baru belum bagus, yang lama sudah ditolak. Syukur kalau ini
dipahami, tetapi ternyata tidak. Semua hanya disangkal. Persis seperti
kisah yang dihadapi para rasul dalam kitab suci. Sekali lagi tidak ada
pembaharuan yang instan. Pembaruan itu prosesnya dari penghancuran
dahulu, lalu kekacauan, baru pertobatan dan perbaikan-perbaikan.
Pionir yang
berani, ya jalan dulu, mereka bisa dapat keahlian, tapi yang lain bisa
belajar dari kekurangannya. Seperti kata pepatah: “In the end everything will be okay”. Lantas, bagaimana kalau
saat ini “tidak oke”. Ah, itu
artinya “it’s not the end yet”. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar