Kamis, 11 April 2013

KPK dan Konfusius


KPK dan Konfusius
Mariyadi Faqih  ;  Kandidat Doktor Ilmu Hukum di PPS Unibraw,
Peneliti dan Penulis beberapa buku Ilmu Hukum
SUARA KARYA, 11 April 2013



Dalam tajuk Suara Karya (3 April 2013) disebutkan, bukan mustahil terjadi pengerdilan terhadap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari dulu institusi hukum pemburu koruptor tersebut memang kerap perannya dikecilkan. Kekuatan KPK terus dicoba dipreteli. Tidak mengherankan jika ada yang berupaya menyingkirkan Ketua KPK Abraham Samad, yang dikaitkan dengan bocornya dokumen draf surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) terhadap Ketua Umum Partai Demokrat Anas Urbaningrum.

Terlepas dari adanya kekuatan tertentu, khususnya elit politik dan kekuasaan yang terus menerus melakukan gerilya untuk mereduksi atau mengeroposkan KPK, yang urgen adalah bagaimana KPK tidak tergoyahkan. Atau, tak terseret dalam pusaran kepentingan politik kelompok sindikasi koruptor.
Betapapun besar "penyakit" yang menggerogoti dan melemahkan KPK, jika pimpinannya tetap menunjukkan integritas sebagai pembongkar korupsi, maka koruptor atau kekuatan manapan tidak akan mampu menghancurkannya. Masalahnya, apa-kah KPK sendiri berjihad mengalahkan penyakit internalnya?

Kalau mengacu pada konstitusi, idealnya paradigma a contrario digunakan oleh KPK. Bahwa siapapun orangnya yang tersangkut secara yuridis, wajib dipertanggungjawabkan dengan tidak membedakan kasta, pangkat, ideologi, dan agamanya seharusnya takut berurusan dengan dirinya. Pasalnya, KPK memegang ruh konstitusi yang berintikan pada tuntutan untuk menegakkan akuntabilitas yuridis secara egaliter.

Dalam Pasal 7 Universal Declaration of Human Right (UDHR) disebutkan, semua orang sama di depan hukum dan berhak atas perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang mengarah pada diskriminasi semacam ini. Deklarasi HAM ini juga sudah dibahasakan dalam konstitusi Indonesia, pasal 27 (UUD 45), bahwa segala warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan.

Meski barangkali ada diantara unsur KPK sebelumnya pernah berdekatan dengan elemen partai politik atau berelasi dengan kekuatan politik tertentu, tetapi saat sudah menjadi pilar KPK bahwa kepentingan idealitas egalitarian dan keadilan dalam konstruksi konstitusi yang harus dipanglimakan.Itu artinya, KPK dituntut menjaga idealisme konstitusi, bukan membela orang-orang. Membela orang dekat atau yang pernah berjasa pada elemen KPK, sementara kepentingan keadilan, keadaban, dan kesederajatan yang diantaranya dipercayakan pada KPK, diabaikannya. Ini identik pemandulan dan bahkan penghancuran sakralitas konstitusi.

Ketika Konfusius ditanya apakah yang pertama-tama akan dilakukan jika ia harus mengelola suatu negara, ia menjawab, "tentulah meluruskan bahasa". Orang yang bertanya heran, "mengapa?" Jika bahasa tidak lurus, jawab Konfusius, apa yang dikatakan bukanlah apa yang dimaksudkan; jika apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksudkan, apa yang seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat. Jika tetap tidak diperbuat, moral dan seni merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan pun tidak akan jelas ke mana arahnya; jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat hanya akan dapat berdiri dalam kebingungan yang tidak tertolong.

Ucapan Konfusius itu mengandung filosofi pendidikan hukum (legal education) tentang kebenaran perkataan (pernyataan) dengan tujuannya. Jika tidak ada keserasian antara perkataan seseorang dengan tujuannya, apalagi seseorang ini mengemban amanat strategis maka masyarakat akan tergiring menafsirkan pernyataan itu mengandung misi tertentu seperti mencari sensasi, popularitas, keuntungan uang berlipat, pembelaan buta, dan pemapanan jabatannya.

Penulis buku-buku filsafat hukum dan moral, Franz Magnis Suseno (1994) menyatakan, secara moral politik ada empat alasan utama orang menuntut agar negara diselenggarakan (dijalankan) berdasarkan atas hukum, yakni kepastian hukum, tuntutan perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan tuntutan akal budi.

Pikiran Magnis Suseno itu menunjukkan bahwa jaminan kepastian dan perlakuan yuridis bernafas egaliter sangat diperlukan oleh negara. Negara tak akan dikenal dan dijadikan rumah besar oleh rakyat, ketika penerapan atau penegakan hukum tidak memberikan kepastian dan perlakuan berbasis kesederajatan. Apapun jenis kasus hukum dan siapapun yang terlibat di dalamnya, tidak boleh ada yang dianakemaskan, sementara yang lainnya menempati strata "warga kelas dua" (underprifillege). Praktik menganakemaskan berarti melakukan politik tebang pilih. Politik ini justru lebih dahsyat pengaruhnya dalam menghancurkan jati diri KPK. Kalau dari kekuatan eksternal bermaksud merusak KPK, masih belum seberapa daya destruksinya. Namun, kalau internal KPK yang merusak justru membuat KPK gulung tikar atau mengidap krisis bahkan kematian idealisme.

Rakyat (pencari keadilan) merupakan pilar sakral dan fundamental yang menentukan syarat berdirinya negara. Ketika rakyat tak mendapatkan kepastian yuridis mengenai kasus-kasus yang dialaminya, logis rakyat menunjukkan kekecewaannya yang mendalam pada aparat penegak hukum. Publik sudah berkali-kali mengkritik KPK sebagai institusi yang kurang konsisten dan belum independen. Benteng penegak hukum ini dinilai sedang terperosok dalam kesibukan bermain kata-kata daripada menunjukkan kinerja secara maksimal.

Keragukan dan praduga buruk publik pada kinerja KPK seharusnya dijadikan materi utama oleh pimpinan KPK untuk melakukan instropeksi. Masyrakat yang bersikap demikian tak perlu diberi apologi melalui politik verbalitas berdalil yuridis seperti kesulitan mendapatkan alat/barang bukti. Masyarakat sekarang membutuhkan kinerja empirik atau law in action KPK yang benar-benar mengabdi dan membumikan keadilan untuk semua (justice for all). 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar