Dalam tajuk Suara Karya (3
April 2013) disebutkan, bukan mustahil terjadi pengerdilan terhadap
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Dari dulu institusi hukum pemburu
koruptor tersebut memang kerap perannya dikecilkan. Kekuatan KPK terus
dicoba dipreteli. Tidak mengherankan jika ada yang berupaya menyingkirkan
Ketua KPK Abraham Samad, yang dikaitkan dengan bocornya dokumen draf
surat perintah dimulainya penyidikan (sprindik) terhadap Ketua Umum
Partai Demokrat Anas Urbaningrum.
Terlepas dari adanya
kekuatan tertentu, khususnya elit politik dan kekuasaan yang terus
menerus melakukan gerilya untuk mereduksi atau mengeroposkan KPK, yang
urgen adalah bagaimana KPK tidak tergoyahkan. Atau, tak terseret dalam
pusaran kepentingan politik kelompok sindikasi koruptor.
Betapapun besar
"penyakit" yang menggerogoti dan melemahkan KPK, jika
pimpinannya tetap menunjukkan integritas sebagai pembongkar korupsi, maka
koruptor atau kekuatan manapan tidak akan mampu menghancurkannya.
Masalahnya, apa-kah KPK sendiri berjihad mengalahkan penyakit
internalnya?
Kalau mengacu pada
konstitusi, idealnya paradigma a
contrario digunakan oleh KPK. Bahwa siapapun orangnya yang tersangkut
secara yuridis, wajib dipertanggungjawabkan dengan tidak membedakan
kasta, pangkat, ideologi, dan agamanya seharusnya takut berurusan dengan
dirinya. Pasalnya, KPK memegang ruh konstitusi yang berintikan pada
tuntutan untuk menegakkan akuntabilitas yuridis secara egaliter.
Dalam Pasal 7 Universal Declaration of Human Right
(UDHR) disebutkan, semua orang sama di depan hukum dan berhak atas
perlindungan hukum yang sama tanpa diskriminasi. Semua berhak atas
perlindungan yang sama terhadap setiap bentuk diskriminasi yang
bertentangan dengan deklarasi ini, dan terhadap segala hasutan yang
mengarah pada diskriminasi semacam ini. Deklarasi HAM ini juga sudah
dibahasakan dalam konstitusi Indonesia, pasal 27 (UUD 45), bahwa segala
warga negara berkedudukan sama di depan hukum dan pemerintahan.
Meski barangkali ada
diantara unsur KPK sebelumnya pernah berdekatan dengan elemen partai
politik atau berelasi dengan kekuatan politik tertentu, tetapi saat sudah
menjadi pilar KPK bahwa kepentingan idealitas egalitarian dan keadilan
dalam konstruksi konstitusi yang harus dipanglimakan.Itu artinya, KPK
dituntut menjaga idealisme konstitusi, bukan membela orang-orang. Membela
orang dekat atau yang pernah berjasa pada elemen KPK, sementara
kepentingan keadilan, keadaban, dan kesederajatan yang diantaranya dipercayakan
pada KPK, diabaikannya. Ini identik pemandulan dan bahkan penghancuran
sakralitas konstitusi.
Ketika Konfusius ditanya
apakah yang pertama-tama akan dilakukan jika ia harus mengelola suatu
negara, ia menjawab, "tentulah
meluruskan bahasa". Orang yang bertanya heran, "mengapa?" Jika bahasa
tidak lurus, jawab Konfusius, apa yang dikatakan bukanlah apa yang
dimaksudkan; jika apa yang dikatakan bukan apa yang dimaksudkan, apa yang
seharusnya diperbuat tetaplah tidak diperbuat. Jika tetap tidak diperbuat,
moral dan seni merosot. Jika moral dan seni merosot, keadilan pun tidak
akan jelas ke mana arahnya; jika keadilan tidak jelas arahnya, rakyat
hanya akan dapat berdiri dalam kebingungan yang tidak tertolong.
Ucapan Konfusius itu
mengandung filosofi pendidikan hukum (legal
education) tentang kebenaran perkataan (pernyataan) dengan tujuannya.
Jika tidak ada keserasian antara perkataan seseorang dengan tujuannya,
apalagi seseorang ini mengemban amanat strategis maka masyarakat akan
tergiring menafsirkan pernyataan itu mengandung misi tertentu seperti
mencari sensasi, popularitas, keuntungan uang berlipat, pembelaan buta,
dan pemapanan jabatannya.
Penulis buku-buku filsafat
hukum dan moral, Franz Magnis Suseno (1994) menyatakan, secara moral
politik ada empat alasan utama orang menuntut agar negara diselenggarakan
(dijalankan) berdasarkan atas hukum, yakni kepastian hukum, tuntutan
perlakuan yang sama, legitimasi demokrasi, dan tuntutan akal budi.
Pikiran Magnis Suseno itu
menunjukkan bahwa jaminan kepastian dan perlakuan yuridis bernafas
egaliter sangat diperlukan oleh negara. Negara tak akan dikenal dan
dijadikan rumah besar oleh rakyat, ketika penerapan atau penegakan hukum
tidak memberikan kepastian dan perlakuan berbasis kesederajatan. Apapun
jenis kasus hukum dan siapapun yang terlibat di dalamnya, tidak boleh ada
yang dianakemaskan, sementara yang lainnya menempati strata "warga kelas dua" (underprifillege). Praktik
menganakemaskan berarti melakukan politik tebang pilih. Politik ini
justru lebih dahsyat pengaruhnya dalam menghancurkan jati diri KPK. Kalau
dari kekuatan eksternal bermaksud merusak KPK, masih belum seberapa daya
destruksinya. Namun, kalau internal KPK yang merusak justru membuat KPK
gulung tikar atau mengidap krisis bahkan kematian idealisme.
Rakyat (pencari keadilan)
merupakan pilar sakral dan fundamental yang menentukan syarat berdirinya
negara. Ketika rakyat tak mendapatkan kepastian yuridis mengenai
kasus-kasus yang dialaminya, logis rakyat menunjukkan kekecewaannya yang
mendalam pada aparat penegak hukum. Publik sudah berkali-kali mengkritik
KPK sebagai institusi yang kurang konsisten dan belum independen. Benteng
penegak hukum ini dinilai sedang terperosok dalam kesibukan bermain
kata-kata daripada menunjukkan kinerja secara maksimal.
Keragukan dan praduga buruk
publik pada kinerja KPK seharusnya dijadikan materi utama oleh pimpinan
KPK untuk melakukan instropeksi. Masyrakat yang bersikap demikian tak
perlu diberi apologi melalui politik verbalitas berdalil yuridis seperti
kesulitan mendapatkan alat/barang bukti. Masyarakat sekarang membutuhkan
kinerja empirik atau law in action
KPK yang benar-benar mengabdi dan membumikan keadilan untuk semua (justice for all). ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar