Kamis, 11 April 2013

Jiwa Korsa di Cebongan


Jiwa Korsa di Cebongan
Marwan Mas  ;  Guru Besar Ilmu Hukum Universitas 45, Makassar 
KORAN SINDO, 11 April 2013

  
Terungkapnya penyerangan Lembaga Pemasyarakatan (Lapas) Cebongan, Sleman yang menewaskan empat tahanan titipan Polda Daerah Istimewa Yogyakarta yang sebelumnya diperkirakan akan sulit diungkap ternyata sudah ada titik terang. 

Tim Investigasi TNI Angkatan Darat (AD) berhasil mengungkap perilaku hukum rimba itu. Sebelas oknum anggota Komando Pasukan Khusus (Kopassus) Grup 2 Kandang Menjangan, Kartasura, Solo diduga terlibat dalam penyerangan dan pembunuhan itu. Menurut Ketua Tim Investigasi TNI AD Brigjen TNI Unggul Yudhoyono (SINDO, 5/3/2013), para pelaku mengakui perbuatan mereka secara jujur dan kesatria dengan alasan “solidaritas jiwa korsa” untuk membela kehormatan kesatuan. 

Para pelaku merasa terpanggil untuk melakukan reaksi atas pembunuhan rekan satu korps, Serka Heru, dan pembacokan mantan anggota Kopassus, Sertu Sriyono, oleh sekelompok preman yang sementara ditahan. Tetapi apa pun alasannya, tindakan itu harus diproses dan dijatuhi sanksi sesuai hukum yang berlaku. 

Kesigapan TNI AD menangkap pelaku penyerangan bisa disebut sebagai langkah maju yang mencerminkan keterbukaan di tubuh TNI. Apalagi setelah penyerangan, para petinggi TNI AD di Jawa Tengah justru menjamin tidak ada anggota TNI yang terlibat, bahkan menyebut tidak ada anggota Kopassus yang terlibat dalam penyerangan itu. Malah terkesan menyudutkan gerombolan preman bersenjata yang tidak dikenal sehingga sempat membuat publik ragu kalau kasus ini akan berbias arah. 

Jangan Kalah 

Kekejian atas perlakuan yang menyebabkan anggota Kopassus meninggal dunia telah mengusik jiwa korsa beberapa rekannya. Sayangnya, jiwa korsa digunakan bukan pada tempatnya sebab empat tahanan sudah diproses hukum. Jiwa korsa mestinya dipakai untuk membantu dan menolong teman yang menghadapi kesulitan saat operasi militer atau semacamnya. 

Jiwa korsa tidak boleh dipakai dengan me-lakukan penghakiman sendiri yang justru melanggar hukum. Penyerangan bersenjata ini menambah panjang kasus kekerasan yang mencoreng kewibawaan hukum di negeri ini. Sebelumnya terjadi penyerangan bersenjata di Polres Ogan Komering Ulu (OKU), Sumatera Selatan, penembakan aparat TNI di Papua, dan serangan bersenjata di Poso. Bagi masyarakat, kejadian demi kejadian ini bisa dimaknai sebagai situasi bahwa negara sedang tidak aman. 

Aksi tersebut merupakan tragedi kemanusiaan yang kesekian kalinya yang dilakukan secara membabi buta, bahkan mengejutkan dan meresahkan warga Yogyakarta yang selama ini hidup dalam suasana tenang dan damai. Betapa tidak, aksi dilakukan secara rapi dan profesional. Dugaan motif jiwa korsa sebaiknya tidak berhenti sampai di situ. Perlu diungkap secara terang benderang kemungkinan ada kepentingan lain di balik penyerangan itu sebab masih menyisakan pertanyaan yang harus segera dijawab dan diungkap agar tidak berkembang menjadi isu liar untuk memprovokasi masyarakat. 

Negara tidak boleh kalah oleh aksi kekerasan ilegal. Indonesia selaku negara hukum harus bebas dari praktik “hukum rimba” untuk menyelesaikan suatu persoalan. Dalam hukum rimba, kekerasanlah yang akan mengontrol kekuasaan yang sah. Semua peraturan perundang-undangan yang berlaku tidak menjadi acuan yang menyebabkan penyelenggaraan negara bergantung pada kehendak pemegang hukum rimba. Adanya kecurigaan yang beredar di ruang publik bahwa aparat melawan aparat tentu menjadi ujian bagi negara untuk mengungkapnya tanpa pandang bulu. Tidak ada yang boleh menerapkan hukum rimba, apa pun alasannya. 

Sikap Kesatria 

Ketegasan pimpinan Kopassus untuk bertanggung jawab penuh atas tragedi berdarah yang diduga dilakukan anggotanya patut diapresiasi positif. Inilah ciri khas militer yang tidak melulu menyalahkan anak buah, tetapi ikut bertanggung jawab atas perilaku sang anak buah. Selaku pasukan khusus yang paling disegani, tanggung jawab Danjen Kopassus atas perbuatan anak buahnya patut menjadi catatan tersendiri dalam sejarah TNI. 

Selama ini penyelidikan kasus semacam ini tidak terbuka, bahkan tidak ketahuan ujung pangkalnya. Niat baik TNI menuntaskan kasus ini sampai ke pengadilan militer tentu patut didukung. Tetapi, harus tetap diawasi karena masih banyak kalangan dalam masyarakat yang meragukan objektivitas peradilan militer dalam memeriksa dan menjatuhkan putusan. 

Apalagi para pelaku bisa digiring pada pelanggaran HAM berat jika ditemukan bukti bahwa penyerangan sebagai “kejahatan terhadap kemanusiaan” yang dilakukan sebagai bagian dari serangan yang meluas atau sistematik dan diketahui bahwa serangan ditujukan secara langsung terhadap warga sipil seperti dimaksud dalam Pasal 7 huruf-b UU Nomor 26/ 2000 tentang Pengadilan HAM. Tetapi, yang penting jadi perhatian, bagaimana mengungkap akar masalah kenapa pembunuhan dan penganiayaan anggota Kopassus terjadi yang memicu solidaritas jiwa korps. 

Premanisme harus diberantas karena meresahkan ma-syarakat. Jangan sampai dikait-kaitkan dengan seteru lama antara TNI dan Polri yang acapkali pecah. Sikap kesatria dan penuh tanggung jawab jajaran pimpinan TNI patut dijadikan contoh positif bagi institusi lain yang lebih sering lepas tangan atas perilaku jahat anak buahnya. 

Tetapi, kita juga berharap kiranya solidaritas jiwa korsa yang salah tempat di Cebongan dijadikan pelajaran berharga. Para pimpinan satuan TNI perlu lebih aktif melakukan pengawasan dengan memberikan pemahaman bagaimana penggunaan jiwa korsa. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar