Istilah
sindrom politik di Indonesia sudah terlebih dahulu disinggung oleh FX
Mudji Sutrisno, SJ, rohaniwan sekaligus budayawan negeri.
Dalam
tulisannya, Mudji mengatakan makna sindrom dimengerti dalam deskripsi
kecenderungan bawah sadar yang muncul ke atas dalam pengulangan pemenuhan
obsesi yang berkait dengan kehendak berkuasa (the will to power) yang tak terwujudkan karena hambatan-hambatan
dalam struktur kepribadian orang, tetapi terus saja menghantuinya dan
memberinya obsesi buat mencapainya meskipun realitas tak menolongnya
untuk perwujudannya.
Dalam dunia akademik, sindrom ini dikenal sebagai
kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, fenomena, atau
karakter yang sering muncul bersamaan. Sindrom lumrahnya dijadikan gejala
atas adanya krisis, dan bisa pula dijadikan dasar untuk mendiagnosis
suatu kelompok atau perorangan.
Karena itu, seseorang yang positif mengidap suatu sindrom
(politik pragmatis) haruslah menjalani perawatan dan pengobatan agar
penyakit yang ia alami tidak menjalari dan membahayakan orang di
sekitarnya atau paling tidak bagi dirinya sendiri. Geliat politik yang
cenderung menampakkan dinamika persaingan “tidak sehat” menjadi satu
bukti bagaimana sindrom politik pragmatis dalam negeri kita betul-betul
berada pada kondisi akut.
Politisasi sebagai media mempertahankan dominasi
sudah mulai menyusupi setiap sendi struktural kenegaraan. Akibatnya,
demokrasi tidak berjalan sebagaimana diharapkan lantaran sistem
kenegaraan dihadapkan pada wilayah-wilayah politik.
Isu sindrom politik pragmatis semakin menguat di saat
mesin-mesin politik—dalam hal ini adalah partai politik—terjangkit krisis
identitas. Partai politik yang sejatinya sebagai wahana pelindung bangsa
masih terjebak pada problem-problem klasik yang serius dan fundamental.
Problem korupsi di internal partai dan keterlibatan
anggota partai politik dalam praktik korupsi sudah umum menguak di
kalangan publik. Hal itu terjadi karena sistem dan budaya politik di
negara kita masih belum cukup dewasa mendaftarkan diri sebagai basis
pergerakan rakyat.
Karena itu, tak sedikit parpol yang keberadaannya
tidak bersahabat dengan rakyat dan belum cukup amanah mewakili kebutuhan-kebutuhan
rakyat. Mereka hanya datang saat menjelang pemilu untuk berkampanye,
membawa sempalan-sempalan janji yang enak didengar. Namun itu hanya
musiman, setelah masa-masa pemilu usai sesigap mungkin parpol menghilang.
Janji tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.
Sampai di sini, kehadiran parpol sebagai mesin
politik telah gagal dalam menjalankan fungsi-fungsi yang semestinya
mereka jalankan dengan baik, yaitu menjadi wahana bagi warga negara untuk
berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan
kepentingannya dihadapan penguasa (Budiardjo, 2008: 405).
Isu Personal
Mengarahnya komunikasi politik pada merebaknya
isu-isu personal menunjukkan bahwa konsep pembangunan politik yang kita
terapkan selama ini belum betul-betul berangkat atas kesadaran berbangsa
dan bernegara.
Dengan demikian, apa yang muncul adalah semakin
menggeliatnya parpol yang kehadirannya tidak lagi mengusung kepentingan
rakyat. Mereka lebih menyoroti kisi-kisi kepartaian atau isu-isu personal
para tokohnya, ketimbang mengedepankan isu-isu yang lebih “penting”,
seperti ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.
Oleh karena itu, tidak mengherankan manakala
mayoritas aktor politik kita lebih dikenal ketimbang para pahlawan. Sepak
terjang mereka pun lebih mendapat perhatian media ketimbang harus
menyoroti keberadaan rakyat.
Akibatnya, pemberitaan perihal dinamika kebangsaan
kian memudar, tereduksi oleh manuver politik yang diperagakan para aktor
yang pandai berakting. Ketika mencuat kabar tentang tokoh politikus, sesigap
mungkin media menyoroti. Dikejar-kejar, bahkan didewa-dewakan sebagai
topik utama pemberitaan.
Isu personal kepartaian dewasa ini menjadi
pemandangan lazim kita temui. Mengitari lingkup aktivitas keseharian
publik yang sengaja ditransformasikan melalui media-media besar. Tak
jarang rakyat dibuat gempar lantaran info yang disampaikan dimodifikasi
secara unik dan bombastis. Disimulasikan secara luar biasa sehingga
mengalahkan isu-isu vital kebangsaan.
Manipulasi Politik
Hal lain yang mengidentitas dalam sindrom politik
pragmatis adalah maraknya manipulasi politik yang kian marak dipraktikkan
politisi kelas elite. Bukan saja di dataran internal partai, praktik ini
meluas hingga menyentuh pada status mereka sebagai pejabat dan atau wakil
rakyat. Modus manipulasinya pun beragam, ada yang berprofesi sebagai
mafia anggaran, penggelapan dana, dan ada pula yang menjadi pengatur
proyek.
Kecenderungan para pejabat yang kebanyakan berangkat
dari fraksi partai untuk melakukan kongkalikong tidak lepas dari model
perekrutan politik. Proses perekrutan kader yang masih menggunakan model
transaksi, atau dalam istilah populernya disebut mahar, harus diakui
menjadi satu indikator kuat. Mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di
Senayan tidak serta-merta direkrut hanya berdasarkan kapabilitas dan
kapasitas. Namun harus pula dibarengi pemberian mahar politik yang bukan
main mahalnya.
Inilah sebenarnya sumber besar penyebab kenapa wakil
rakyat kita kerap kali melakukan anomali dengan membajak kekayaan rakyat.
Sistem bagi untung yang mengorbankan pihak tak bersalah: rakyat. Ini
tentu sangat mencederai semangat sifat demokratis yang selama ini
didengung-dengungkan.
Karena itu, di samping kita membangun komunikasi
politik yang baik, perbaikan lain perihal sektor perekrutan politik perlu
dipertegas, bahkan kalau bisa diadakan perubahan agar praktik bagi untung
antara parpol dan kadernya bisa diminimalisasi; syukur-syukur dibabat
habis.
Jika bangsa kita terus saja dihadapkan pada dinamika
politik seperti ini, bukan tidak mungkin bila pada saat tertentu
kepercayaan rakyat terhadap aparat negara akan memudar lantaran kian
tumbuhnya politikus nakal yang doyan membajak kekayaan negara. Sampai di
sini, saya mulai khawatir puisi romatika tentang good government
sebagai semangat pembangunan era demokrasi adalah isapan jempol semata.
Tapi semoga saja tidak! ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar