Kamis, 11 April 2013

Sindrom Politik Pragmatis di Negeri Demokratis


Sindrom Politik Pragmatis di Negeri Demokratis
Abd Hannan ;  Anggota Tim Riset Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Budaya
Universitas Trunojoyo Madura
SINAR HARAPAN, 11 April 2013
  

Istilah sindrom politik di Indonesia sudah terlebih dahulu disinggung oleh FX Mudji Sutrisno, SJ, rohaniwan sekaligus budayawan negeri.

Dalam tulisannya, Mudji mengatakan makna sindrom dimengerti dalam deskripsi kecenderungan bawah sadar yang muncul ke atas dalam pengulangan pemenuhan obsesi yang berkait dengan kehendak berkuasa (the will to power) yang tak terwujudkan karena hambatan-hambatan dalam struktur kepribadian orang, tetapi terus saja menghantuinya dan memberinya obsesi buat mencapainya meskipun realitas tak menolongnya untuk perwujudannya.

Dalam dunia akademik, sindrom ini dikenal sebagai kumpulan dari beberapa ciri-ciri klinis, tanda-tanda, fenomena, atau karakter yang sering muncul bersamaan. Sindrom lumrahnya dijadikan gejala atas adanya krisis, dan bisa pula dijadikan dasar untuk mendiagnosis suatu kelompok atau perorangan.

Karena itu, seseorang yang positif mengidap suatu sindrom (politik pragmatis) haruslah menjalani perawatan dan pengobatan agar penyakit yang ia alami tidak menjalari dan membahayakan orang di sekitarnya atau paling tidak bagi dirinya sendiri. Geliat politik yang cenderung menampakkan dinamika persaingan “tidak sehat” menjadi satu bukti bagaimana sindrom politik pragmatis dalam negeri kita betul-betul berada pada kondisi akut.

Politisasi sebagai media mempertahankan dominasi sudah mulai menyusupi setiap sendi struktural kenegaraan. Akibatnya, demokrasi tidak berjalan sebagaimana diharapkan lantaran sistem kenegaraan dihadapkan pada wilayah-wilayah politik.

Isu sindrom politik pragmatis semakin menguat di saat mesin-mesin politik—dalam hal ini adalah partai politik—terjangkit krisis identitas. Partai politik yang sejatinya sebagai wahana pelindung bangsa masih terjebak pada problem-problem klasik yang serius dan fundamental.

Problem korupsi di internal partai dan keterlibatan anggota partai politik dalam praktik korupsi sudah umum menguak di kalangan publik. Hal itu terjadi karena sistem dan budaya politik di negara kita masih belum cukup dewasa mendaftarkan diri sebagai basis pergerakan rakyat.

Karena itu, tak sedikit parpol yang keberadaannya tidak bersahabat dengan rakyat dan belum cukup amanah mewakili kebutuhan-kebutuhan rakyat. Mereka hanya datang saat menjelang pemilu untuk berkampanye, membawa sempalan-sempalan janji yang enak didengar. Namun itu hanya musiman, setelah masa-masa pemilu usai sesigap mungkin parpol menghilang. Janji tinggal janji, sedangkan rakyat gelisah menanti.

Sampai di sini, kehadiran parpol sebagai mesin politik telah gagal dalam menjalankan fungsi-fungsi yang semestinya mereka jalankan dengan baik, yaitu menjadi wahana bagi warga negara untuk berpartisipasi dalam pengelolaan kehidupan bernegara dan memperjuangkan kepentingannya dihadapan penguasa (Budiardjo, 2008: 405).

Isu Personal

Mengarahnya komunikasi politik pada merebaknya isu-isu personal menunjukkan bahwa konsep pembangunan politik yang kita terapkan selama ini belum betul-betul berangkat atas kesadaran berbangsa dan bernegara.

Dengan demikian, apa yang muncul adalah semakin menggeliatnya parpol yang kehadirannya tidak lagi mengusung kepentingan rakyat. Mereka lebih menyoroti kisi-kisi kepartaian atau isu-isu personal para tokohnya, ketimbang mengedepankan isu-isu yang lebih “penting”, seperti ekonomi atau kesejahteraan masyarakat.

Oleh karena itu, tidak mengherankan manakala mayoritas aktor politik kita lebih dikenal ketimbang para pahlawan. Sepak terjang mereka pun lebih mendapat perhatian media ketimbang harus menyoroti keberadaan rakyat.

Akibatnya, pemberitaan perihal dinamika kebangsaan kian memudar, tereduksi oleh manuver politik yang diperagakan para aktor yang pandai berakting. Ketika mencuat kabar tentang tokoh politikus, sesigap mungkin media menyoroti. Dikejar-kejar, bahkan didewa-dewakan sebagai topik utama pemberitaan.

Isu personal kepartaian dewasa ini menjadi pemandangan lazim kita temui. Mengitari lingkup aktivitas keseharian publik yang sengaja ditransformasikan melalui media-media besar. Tak jarang rakyat dibuat gempar lantaran info yang disampaikan dimodifikasi secara unik dan bombastis. Disimulasikan secara luar biasa sehingga mengalahkan isu-isu vital kebangsaan.

Manipulasi Politik

Hal lain yang mengidentitas dalam sindrom politik pragmatis adalah maraknya manipulasi politik yang kian marak dipraktikkan politisi kelas elite. Bukan saja di dataran internal partai, praktik ini meluas hingga menyentuh pada status mereka sebagai pejabat dan atau wakil rakyat. Modus manipulasinya pun beragam, ada yang berprofesi sebagai mafia anggaran, penggelapan dana, dan ada pula yang menjadi pengatur proyek.

Kecenderungan para pejabat yang kebanyakan berangkat dari fraksi partai untuk melakukan kongkalikong tidak lepas dari model perekrutan politik. Proses perekrutan kader yang masih menggunakan model transaksi, atau dalam istilah populernya disebut mahar, harus diakui menjadi satu indikator kuat. Mencalonkan diri sebagai anggota parlemen di Senayan tidak serta-merta direkrut hanya berdasarkan kapabilitas dan kapasitas. Namun harus pula dibarengi pemberian mahar politik yang bukan main mahalnya.

Inilah sebenarnya sumber besar penyebab kenapa wakil rakyat kita kerap kali melakukan anomali dengan membajak kekayaan rakyat. Sistem bagi untung yang mengorbankan pihak tak bersalah: rakyat. Ini tentu sangat mencederai semangat sifat demokratis yang selama ini didengung-dengungkan.
Karena itu, di samping kita membangun komunikasi politik yang baik, perbaikan lain perihal sektor perekrutan politik perlu dipertegas, bahkan kalau bisa diadakan perubahan agar praktik bagi untung antara parpol dan kadernya bisa diminimalisasi; syukur-syukur dibabat habis.

Jika bangsa kita terus saja dihadapkan pada dinamika politik seperti ini, bukan tidak mungkin bila pada saat tertentu kepercayaan rakyat terhadap aparat negara akan memudar lantaran kian tumbuhnya politikus nakal yang doyan membajak kekayaan negara. Sampai di sini, saya mulai khawatir puisi romatika tentang good government sebagai semangat pembangunan era demokrasi adalah isapan jempol semata. Tapi semoga saja tidak!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar