Selasa, 02 April 2013

SBY dan Masa Depan Demokrat Pasca-KLB


SBY dan Masa Depan Demokrat Pasca-KLB
Burhanuddin Muhtadi  ;  Direktur Eksekutif Indikator Politik Indonesia,
Peneliti Senior Lembaga Survei Indonesia
MEDIA INDONESIA, 01 April 2013


SBY akan dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan perhatian untuk kepentingan partai.

KONGRES luar biasa (KLB) Par tai Demokrat di Bali berakhir antiklimaks. Perseteruan antar faksi memperebutkan kursi ketua umum pascaditinggalkan Anas Urbaningrum mulai meredup setelah ada rapat di Cikeas sepekan sebelum KLB. Dalam rapat tersebut, muncul kebulatan tekad para ketua dewan pimpinan daerah (DPD) yang `meminta' Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) agar `turun gunung' memimpin langsung apa yang disebut sebagai penyelamatan partai.

Dengan demikian, KLB hanyalah formalitas dari kesepakatan Cikeas. KLB sudah selesai jauh sebelum perhelatan resminya dimulai di Bali. Indikasi `kesediaan' SBY turun kelas menjadi ketua umum ialah dari layanan pesan singkat (SMS) dia yang ditujukan kepada Marzuki Alie sebagai teguran atas `manuver' mengumpulkan DPD dan DPC di Jakarta sebelum KLB. Dalam SMS itu SBY mengatakan, “Sudah cukup lama saya menahan diri. Sekarang tidak bisa lagi. Demi Partai Demokrat yang kita cintai, saya akan mengambil segala risiko.“

Hal itu dipertegas dalam pidato pertamanya pascadipilih secara aklamasi sebagai ketua umum. SBY mengatakan, meski dengan risiko mempertaruhkan citra dan dikritik serta digugat banyak kalangan karena bersedia menjadi ketua umum, dia rela asalkan Partai Demokrat bisa selamat dalam menghadapi Pemilu 2014. Perebutan menuju Demokrat-1 praktis berakhir sejak SBY menyatakan kesediannya. Pertarungan penuh warna yang terjadi dalam kongres di Bandung tidak terulang. Pada saat itu, terjadi empat jenis `perang' yang dilakukan tiap kubu Anas Urbaningrum, Marzuki Alie, dan Andi Malarangeng, yakni perang citra, perang propaganda, perang survei, dan perang memperebutkan restu SBY.

Kesediaan SBY dipilih sebagai ketua umum ibarat sutradara film yang langsung turun gunung menjadi pemain. Calon-calon ketua umum lainnya sudah pasti mundur secara teratur dari gelanggang. Ruang kompetisi praktis tertutup bagi calon lain. Modal sosial, historis, politis, dan elektoral antara SBY dan bakal calon yang lain sangat tidak seimbang. SBY memiliki dua kapital yang tak tertandingi oleh kader lainnya. Pertama, kapital kesejarahan. Bagaimanapun, Partai Demokrat diinisiasi dan didirikan SBY. Kedua, kapital elektoral. Postur Partai Demokrat yang menjelma sebagai pemenang pemilu pada 2009 tak bisa dilepaskan dari peran SBY sebagai pengepul suara.

Krisis Terbesar

Apa yang mendasari kesediaan SBY menerima `pinangan' peserta KLB sebagai ketua umum? Harus diakui, saat ini Partai Demokrat mengalami krisis terbesar dan terberat sejak didirikan pada 9 September 2001. Krisis tersebut bersumber pada tiga hal, yakni krisis soliditas, krisis elektabilitas, dan krisis figur. Sejak dua tahun terakhir, Partai Demokrat mengalami faksionalisasi tajam antarfaksi. Manajemen konflik tak terkelola dengan baik. Strategi komunikasi publik partai berantakan tak keruan. Tiaptiap elite mempertontonkan `aurat politik' partai di depan publik. Ibarat pasangan yang berantem urusan domestik, mereka melakukannya di depan teras rumah sambil teriakteriak ke tetangga agar bertepuk tangan dan bersorak-sorai atas keributan yang mereka bikin sendiri. Kontrol bencana (damage control) tak terkendali.

Akibat mengalami krisis soliditas, Partai Demokrat limbung menghadapi efek Nazaruddin. Setiap faksi bernyanyi sendiri tanpa irama. Muruah partai dipertaruhkan. Satu per satu elite partai terkena efek Nazaruddin. Meski secara faktual, menurut data Kementerian Dalam Negeri dan riset Indonesia Corruption Watch (ICW), rekor korupsi Partai Demokrat masih kalah jauh di bawah Golkar terutama bila dilihat dari sisi keterlibatan kader-kader mereka, Demokrat di mata publik dipersepsi sebagai partai paling korup. Data survei Lembaga Survei Indonesia menemukan, dalam dua tahun terakhir, rata-rata 50% masyarakat menilai Demokrat ialah partai yang paling banyak korupsinya.

Kesenjangan antara data faktual dan persepsi itu dimungkinkan beberapa sebab. Pertama, dari segi teori peran harapan (role expectation), ekspektasi publik terhadap Demokrat dalam memberantas korupsi berbeda jauh ketimbang terhadap Golkar. Jika Golkar melakukan korupsi, `toleransi' publik mungkin lebih rendah karena Golkar sudah dianggap terbiasa melakukan korupsi. Hal itu berbeda dengan Demokrat yang berkoarkoar menjadikan antikorupsi sebagai selling point dalam kampanye Pemilu 2009 lalu, tapi faktanya justru banyak elite partai tersebut yang tersandung kasus korupsi.

Kedua, kasus-kasus korupsi yang mendera Demokrat melibatkan banyak petinggi teras partai seperti Anas Urbaningrum, Andi Mallarangeng, Nazaruddin, Angelina Sondakh, dan Hartati Murdaya. Hal itu berbeda dengan partai lain yang tingkat resonansi kasus korupsinya lebih kecil karena hanya menyangkut kader-kader di tingkat bawah sehingga tidak memiliki nilai berita yang besar. Karena kasus korupsi yang melibatkan elite Demokrat memiliki nilai berita besar dan posisi mereka sebagai the ruling party, tak mengherankan jika media memberi porsi pemberitaan yang tinggi.

Akibatnya, bisa diduga, elektabilitas Partai Demokrat terjun bebas hingga tinggal 8,3% menurut temuan Saiful Mujani Research and Consulting (SMRC) pada Desember 2012. Meski Anas sudah mundur dari kursi ketua umum, elektabilitas Demokrat belum menunjukkan tanda-tanda pulih kembali, setidaknya menurut survei terakhir Lembaga Survei Indonesia. Tampaknya publik menunggu hasil KLB di Bali dan langkah-langkah perbaikan yang dilakukan Demokrat.

Jangankan kader selain SBY, bahkan SBY sendiri pun belum tentu memberi jaminan mampu menyelamatkan Demokrat dari krisis soliditas dan elektabilitas. Namun, setidaknya SBY merupakan kader paling populer di mata publik sehingga masih bisa diharapkan mampu menyelamatkan Demokrat dari tubir jurang. SBY juga masih didengar semua kubu yang bertikai di internal Demokrat sehingga mampu menyamakan barisan partai dalam menyambut Pemilu 2014 yang ada di depan mata.

Ekspresi Keputusasaan

Dari sisi pragmatis dan jangka pendek, pilihan terhadap SBY sebagai ketua umum memang memiliki rasionalisasi yang kuat. Meski demikian, sulit dimungkiri, penempatan SBY sebagai ketua umum merupakan ekspresi keputusasaan, rasa frustrasi, dan kepanikan luar biasa di kalangan internal Demokrat dalam menghadapi badai soliditas dan elektabilitas yang tak kunjung berlalu. Karena sadar opsi yang tersedia makin menyempit, sedangkan pemilu sudah di ambang pintu, SBY yang seharusnya fokus mengurusi negara akhirnya harus dipaksa turun kelas menjadi part-timer ketua umum.

Selain itu, pemilihan SBY sebagai ketua umum mengonfirmasi bahwa Demokrat mengalami krisis kaderisasi dan figur. Terbukti, Demokrat mengalami kemampatan sistem reproduksi kepemimpinan sehingga harus menarik-narik SBY terjun ke gelanggang secara langsung. Tanpa sadar, Demokrat mengakui mereka gagal melahirkan `superstar' baru. Sudah lebih satu dekade partai itu berdiri, tetapi masih juga bergantung pada karisma personal dan magnet elektoral SBY.

Di atas segalanya, ada harga yang harus dibayar mahal oleh SBY karena kesediaan menjadi ketua umum. SBY akan dinilai tidak konsisten dengan ucapannya yang sebelumnya dalam rapat kabinet meminta jajarannya fokus mengurusi negara dan tidak mencurahkan perhatian untuk kepentingan partai. SBY akan dinilai menjilat air ludahnya sendiri. Lagi pula fokus SBY untuk memberikan warisan terbaik di akhir periode kepresidenan nanti akan terganggu oleh urusan kepartaian, apalagi menjelang Pemilu 2014. Jika SBY dianggap kurang maksimal, Demokrat juga akan terkena getahnya karena dianggap menjadi penyebab kinerja pemerintah kurang positif.

Komitmen SBY untuk memimpin Demokrat hanya sampai 2015 tentu harus terus diawasi agar dalam jangka panjang Demokrat mampu menerjemahkan personal appeal SBY ke institutional appeal. Pendekatan sentrifugal seharusnya diinisiasi SBY dengan cara memendarkan kekuatan elektoral yang awalnya berpusat di tubuhnya menjadi kekuatan institusi partai yang dia di rikan. SBY bisa memodifikasi hukum kekekalan energi. Dalam ilmu alam, kekekalan energi tidaklah hilang, tapi hanya berubah menjadi energi dalam bentuk lain. Ketika SBY menularkan kekuatan elektoralnya kepada kader-kader yang lain, energinya tidaklah hilang, tapi justru akan bertransformasi ke dalam energi-energi baru melalui kekuatan institusional Partai Demokrat dan lahirnya magnet-magnet elektoral baru. 

Tidak ada komentar:

Posting Komentar