PARA pengelola tujuh
perguruan tinggi negeri (PTN), yang sedang memperjuangkan status lembaga
yang mereka pimpin sebagai perguruan tinggi (PT) negeri badan hukum,
hari-hari terakhir ini benar-benar memasuki perangkap kecemasan menunggu
keputusan akhir musyawarah para hakim MK yang akan memutuskan nasib UU No
12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi.
Permohonan pengujian kembali secara
yuridis atas UU itu, terutama pasal 64, pasal 65 ayat (1), pasal 73,
pasal 74 ayat (1), pasal 86 ayat (1), pasal 87, dan pasal 90, yang
dilakukan beberapa elemen masyarakat termasuk yang berstatus sebagai
mahasiswa dan dosen, sangat merisaukan mereka.
Bagi para pengelola UI, Unair, UPI, USU,
IPB, ITB, dan UGM, mereka hanya berharap para hakim menolak secara
keseluruhan permohonan peninjauan kembali itu. Jika para hakim
membatalkan UU secara keseluruhan maupun hanya pasal-pasal yang
dipersoalkan, keputusan itu merupakan palu godam yang akan
meluluhlantakkan segala kerja keras yang telah dilakukan selama ini untuk
mewujudkan cita-cita yang diyakini mulia.
Status
yang Ditabukan
Perjuangan para pengelola tujuh PTN itu
didasarkan pada pemikiran bahwa otonomi dan status PT sebagai badan hukum
merupakan jalan utama.
Kalau tidak mau menyebutnya sebagai satu-satunya cara agar Indonesia
memiliki PT yang mampu merepresentasi daya saing bangsa di era
globalisasi dan dapat memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan
bangsa. Akan tetapi, tentu saja tidak semua elemen, baik di dalam
pemerintahan maupun masyarakat, percaya dengan pikiran baik itu.
Hal itu karena berbagai fenomena dan
kenyataan yang ada selama ini telah membangun citra bahwa otonomi dan
status PTN badan hukum bermuara pada komersialisasi pendidikan dan
pembatasan akses bagi kelompok marginal, yang berarti bertentangan dengan
konstitusi negara.
Kata ‘otonomi’ dan ‘badan hukum’ sudah telanjur
dianggap sebagai cara berpikir baru dan asing yang berkembang seiring
dengan menguatnya ide-ide dan mentalitas kapitalistik di kalangan para
ilmuwan yang mengelola PTN. Segala sesuatu yang berhubungan dengan
otonomi PT dan statusnya sebagai badan hukum diposisikan sebagai sesuatu
yang tidak memiliki dasar historis sama sekali dalam sejarah bangsa
Indonesia sejak kemerdekaan diproklamasikan.
Ironisnya cara berpikir yang sama tidak
hanya ada pada para penentang, tapi juga menjiwai peraturan perundang-undangan
yang mendasari keberadaan otonomi PT dan statusnya sebagai badan hukum.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika
dalam setiap perbincangan dan pernyataan yang mendasari argumen para
pendukung UU yang digugat itu tidak begitu tampak sensitivitas historis
yang seharusnya dapat memperkuat setiap pendapat. Mereka kurang
mengapresiasi arti penting dari kenyataan masa lalu sebagai sumber
kekuatan untuk mendukung cara berpikir yang dikemukakan sehingga otonomi
dan badan hukum bukan sesuatu yang harus ditabukan.
Mandat
Sejarah
Apakah benar otonomi dan status PTN
sebagai badan hukum merupakan sesuatu yang baru dan asing dalam sejarah
pendidikan tinggi Indonesia?
Tepat satu tahun setelah peris tiwa aksi militer Belanda terhadap
Yogyakarta yang berstatus ibu kota RI, pemerintah RI yang telah kembali
ke Yogyakarta mendirikan UGM sebagai universitas negeri yang pertama.
Tanggal 19 Desember 1949 sengaja dipilih
sebagai waktu pendeklarasian UGM, walaupun peraturan pemerintah tentang
hal itu telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember
1949. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan kepada Belanda khususnya dan
dunia umumnya bahwa bangsa Indonesia juga merupakan bangsa yang mampu
menghadirkan simbol-simbol utama dari sebuah bangsa yang beradab, dan
akan berpartisipasi langsung dalam pembentukan peradaban baru dunia.
Universitas negeri pertama itu menikmati
kemewahan ide-ide murni dari para pendiri bangsa dalam menyelenggarakan
PT untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.
Dari berbagai ide dasar yang dijabarkan
oleh para pendiri bangsa itu, ternyata otonomi PT dan status badan hukum
tersurat secara eksplisit di Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 37/1950
tertanggal 14 Agustus 1950 tentang Peraturan Sementara tentang UGM. Di
dalam peraturan pemerintah itu disebutkan UGM dapat diberi kedudukan
badan hukum yang bersifat masyarakathukum kepentingan, yang merupakan
badan otonom yang mempunyai keuangan dan milik sendiri serta mengatur
rumah tangga dan kepentingan sendiri.
Khusus dalam hal sumber keuangan
disebutkan, selain berasal dari APBN dan uang kuliah serta uang ujian
yang dibayar oleh mahasiswa, sumber keuangan lain didapat dari sebuah
fonds yang secara khusus dibentuk `oleh dan atau dengan bantuan
pemerintah'. Selanjutnya menurut Pasal 24 Peraturan Menteri Pendidikan,
Pengajaran, dan Kebudayaan No 6403/A/1950 tertanggal 14 Agustus 1950
tentang Penyelenggaraan UGM, status otonomi dan badan hukum juga disertai
dengan kewajiban PT ini untuk membebaskan mahasiswa yang tidak mampu
secara ekonomis dari kewajiban membayar uang kuliah. Pembebasan biaya itu
diberikan dengan ketentuan, mahasiswa bersangkutan diperkirakan dapat
menyelesaikan studi dalam waktu yang telah ditentukan.
Belajar dari sejarah periode itu, sangat
sulit untuk berspekulasi bahwa pasal di atas dan ketentuan lain yang
mengikutinya dibuat oleh mereka yang memiliki jiwa kebangsaan yang tipis.
Atau mereka yang lebih mementingkan keuntungan ekonomis, daripada memberi
kesempatan seluas mungkin bagi masyarakat untuk belajar di perguruan
tinggi.
Hak otonomi dan status badan hukum pada
PT merupakan mandat sejarah dari cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan
Indonesia untuk menyejahterakan bangsa, bukan wujud dari representasi
kepentingan asing atau kekuatan modal yang menjalankan PTN sebagai korporasi.
Berkaca pada kenyataan sejarah itu,
persoalan komersialisasi pendidikan tinggi dan keterbatasan akses bagi
kelompok marginal untuk mengikuti pendidikan di PT akhir-akhir ini bukan
disebabkan oleh hak otonomi yang diberikan dan sifat kelembagaan PT
sebagai badan hukum.
Sebaliknya keadaan itu akan lebih mudah
dijelaskan sebagai akibat dari menguatnya sebuah cara berpikir dan
mentalitas, yang memosisikan penyelenggaraan PT sebagai jembatan emas
untuk memuaskan kerakusan ekonomis dan kekuasaan para birokrat, yang
sampai batas tertentu termasuk para ilmuwan yang berstatus sebagai
pengelola. Kondisi itu semakin diperburuk ketika pemerintah lalai
menjalankan secara maksimal fungsinya sebagai pendukung anggaran dan
pengawas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi.
Otonomi dan status badan hukum pada PTN
seharusnya dapat menangkal kepentingan personal para birokrat tertentu di
tingkat pusat. Yaitu, mereka yang ingin menjadikan PT secara langsung
sebagai arena praktik kekuasaan dan lahan kepentingan ekonomis mereka di
tingkat lokal. Dengan memanfaatkan berbagai peraturan perundang-undangan
yang sengaja diadakan agar setiap tindakannya sah secara yuridis.
Namun,
jika cita-cita para pendiri bangsa yang juga perumus awal prinsip-prinsip
dasar penyelenggaraan PTN itu akhirnya ditolak, selamat datang PTN badan
layanan umum dan selamat tinggal otonomi dan PTN badan hukum. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar