Jumat, 05 April 2013

Mandat Sejarah bagi Otonomi dan PTN Badan Hukum


Mandat Sejarah bagi Otonomi dan PTN Badan Hukum
Bambang Purwanto ;   Guru Besar Ilmu Sejarah UGM
MEDIA INDONESIA, 04 April 2013


PARA pengelola tujuh perguruan tinggi negeri (PTN), yang sedang memperjuangkan status lembaga yang mereka pimpin sebagai perguruan tinggi (PT) negeri badan hukum, hari-hari terakhir ini benar-benar memasuki perangkap kecemasan menunggu keputusan akhir musyawarah para hakim MK yang akan memutuskan nasib UU No 12/ 2012 tentang Pendidikan Tinggi.

Permohonan pengujian kembali secara yuridis atas UU itu, terutama pasal 64, pasal 65 ayat (1), pasal 73, pasal 74 ayat (1), pasal 86 ayat (1), pasal 87, dan pasal 90, yang dilakukan beberapa elemen masyarakat termasuk yang berstatus sebagai mahasiswa dan dosen, sangat merisaukan mereka.
Bagi para pengelola UI, Unair, UPI, USU, IPB, ITB, dan UGM, mereka hanya berharap para hakim menolak secara keseluruhan permohonan peninjauan kembali itu. Jika para hakim membatalkan UU secara keseluruhan maupun hanya pasal-pasal yang dipersoalkan, keputusan itu merupakan palu godam yang akan meluluhlantakkan segala kerja keras yang telah dilakukan selama ini untuk mewujudkan cita-cita yang diyakini mulia.

Status yang Ditabukan

Perjuangan para pengelola tujuh PTN itu didasarkan pada pemikiran bahwa otonomi dan status PT sebagai badan hukum merupakan jalan utama.
Kalau tidak mau menyebutnya sebagai satu-satunya cara agar Indonesia memiliki PT yang mampu merepresentasi daya saing bangsa di era globalisasi dan dapat memberikan manfaat bagi kemajuan dan kesejahteraan bangsa. Akan tetapi, tentu saja tidak semua elemen, baik di dalam pemerintahan maupun masyarakat, percaya dengan pikiran baik itu.

Hal itu karena berbagai fenomena dan kenyataan yang ada selama ini telah membangun citra bahwa otonomi dan status PTN badan hukum bermuara pada komersialisasi pendidikan dan pembatasan akses bagi kelompok marginal, yang berarti bertentangan dengan konstitusi negara.

Kata ‘otonomi’ dan ‘badan hukum’ sudah telanjur dianggap sebagai cara berpikir baru dan asing yang berkembang seiring dengan menguatnya ide-ide dan mentalitas kapitalistik di kalangan para ilmuwan yang mengelola PTN. Segala sesuatu yang berhubungan dengan otonomi PT dan statusnya sebagai badan hukum diposisikan sebagai sesuatu yang tidak memiliki dasar historis sama sekali dalam sejarah bangsa Indonesia sejak kemerdekaan diproklamasikan.

Ironisnya cara berpikir yang sama tidak hanya ada pada para penentang, tapi juga menjiwai peraturan perundang-undangan yang mendasari keberadaan otonomi PT dan statusnya sebagai badan hukum.
Oleh karena itu, tidak mengherankan jika dalam setiap perbincangan dan pernyataan yang mendasari argumen para pendukung UU yang digugat itu tidak begitu tampak sensitivitas historis yang seharusnya dapat memperkuat setiap pendapat. Mereka kurang mengapresiasi arti penting dari kenyataan masa lalu sebagai sumber kekuatan untuk mendukung cara berpikir yang dikemukakan sehingga otonomi dan badan hukum bukan sesuatu yang harus ditabukan.

Mandat Sejarah

Apakah benar otonomi dan status PTN sebagai badan hukum merupakan sesuatu yang baru dan asing dalam sejarah pendidikan tinggi Indonesia?
Tepat satu tahun setelah peris tiwa aksi militer Belanda terhadap Yogyakarta yang berstatus ibu kota RI, pemerintah RI yang telah kembali ke Yogyakarta mendirikan UGM sebagai universitas negeri yang pertama.

Tanggal 19 Desember 1949 sengaja dipilih sebagai waktu pendeklarasian UGM, walaupun peraturan pemerintah tentang hal itu telah ditandatangani oleh Presiden Soekarno pada 16 Desember 1949. Hal itu dilakukan untuk menunjukkan kepada Belanda khususnya dan dunia umumnya bahwa bangsa Indonesia juga merupakan bangsa yang mampu menghadirkan simbol-simbol utama dari sebuah bangsa yang beradab, dan akan berpartisipasi langsung dalam pembentukan peradaban baru dunia.
Universitas negeri pertama itu menikmati kemewahan ide-ide murni dari para pendiri bangsa dalam menyelenggarakan PT untuk mewujudkan cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia.

Dari berbagai ide dasar yang dijabarkan oleh para pendiri bangsa itu, ternyata otonomi PT dan status badan hukum tersurat secara eksplisit di Pasal 7 Peraturan Pemerintah No 37/1950 tertanggal 14 Agustus 1950 tentang Peraturan Sementara tentang UGM. Di dalam peraturan pemerintah itu disebutkan UGM dapat diberi kedudukan badan hukum yang bersifat masyarakat­hukum­ kepentingan, yang merupakan badan otonom yang mempunyai keuangan dan milik sendiri serta mengatur rumah tangga dan kepentingan sendiri.

Khusus dalam hal sumber keuangan disebutkan, selain berasal dari APBN dan uang kuliah serta uang ujian yang dibayar oleh mahasiswa, sumber keuangan lain didapat dari sebuah fonds yang secara khusus dibentuk `oleh dan atau dengan bantuan pemerintah'. Selanjutnya menurut Pasal 24 Peraturan Menteri Pendidikan, Pengajaran, dan Kebudayaan No 6403/A/1950 tertanggal 14 Agustus 1950 tentang Penyelenggaraan UGM, status otonomi dan badan hukum juga disertai dengan kewajiban PT ini untuk membebaskan mahasiswa yang tidak mampu secara ekonomis dari kewajiban membayar uang kuliah. Pembebasan biaya itu diberikan dengan ketentuan, mahasiswa bersangkutan diperkirakan dapat menyelesaikan studi dalam waktu yang telah ditentukan.

Belajar dari sejarah periode itu, sangat sulit untuk berspekulasi bahwa pasal di atas dan ketentuan lain yang mengikutinya dibuat oleh mereka yang memiliki jiwa kebangsaan yang tipis. Atau mereka yang lebih mementingkan keuntungan ekonomis, daripada memberi kesempatan seluas mungkin bagi masyarakat untuk belajar di perguruan tinggi.

Hak otonomi dan status badan hukum pada PT merupakan mandat sejarah dari cita-cita kebangsaan dan kemerdekaan Indonesia untuk menyejahterakan bangsa, bukan wujud dari representasi kepentingan asing atau kekuatan modal yang menjalankan PTN sebagai korporasi.

Berkaca pada kenyataan sejarah itu, persoalan komersialisasi pendidikan tinggi dan keterbatasan akses bagi kelompok marginal untuk mengikuti pendidikan di PT akhir-akhir ini bukan disebabkan oleh hak otonomi yang diberikan dan sifat kelembagaan PT sebagai badan hukum.

Sebaliknya keadaan itu akan lebih mudah dijelaskan sebagai akibat dari menguatnya sebuah cara berpikir dan mentalitas, yang memosisikan penyelenggaraan PT sebagai jembatan emas untuk memuaskan kerakusan ekonomis dan kekuasaan para birokrat, yang sampai batas tertentu termasuk para ilmuwan yang berstatus sebagai pengelola. Kondisi itu semakin diperburuk ketika pemerintah lalai menjalankan secara maksimal fungsinya sebagai pendukung anggaran dan pengawas dalam penyelenggaraan perguruan tinggi.

Otonomi dan status badan hukum pada PTN seharusnya dapat menangkal kepentingan personal para birokrat tertentu di tingkat pusat. Yaitu, mereka yang ingin menjadikan PT secara langsung sebagai arena praktik kekuasaan dan lahan kepentingan ekonomis mereka di tingkat lokal. Dengan memanfaatkan berbagai peraturan perundang-undangan yang sengaja diadakan agar setiap tindakannya sah secara yuridis.

Namun, jika cita-cita para pendiri bangsa yang juga perumus awal prinsip-prinsip dasar penyelenggaraan PTN itu akhirnya ditolak, selamat datang PTN badan layanan umum dan selamat tinggal otonomi dan PTN badan hukum. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar