Rentetan konflik dan
kekerasan yang mewarnai sejumlah pemilihan umum kepala daerah (pemilu
kada) memunculkan kekhawatiran kita. Bulu kuduk pun merinding kala
ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilihan dilampiaskan dengan
perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas, baik milik pemerintah,
partai, maupun swasta. Proses demokrasi yang semestinya ditempuh dengan
cara-cara yang damai menjadi ibarat jauh panggang dari api.
Peristiwa itu lagi-lagi terjadi di Kota
Palopo, Sulawesi Selatan. Massa yang beringas merusak dan membakar
sejumlah ruangan di Kantor Wali Kota Palopo dan Kantor Partai Golkar.
Kantor Palopo Pos dan Gedung BNI yang berada di sebelahnya juga tidak
luput dari jilatan api, diserang dan dibakar massa. Kerusuhan bermula
saat massa tak puas setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo
menetapkan pasangan Judas Amir-Akhmad Syarifuddin (JA) sebagai pemenang
pemilu kada putaran kedua dengan perolehan 37.469 suara. Adapun pasangan
Haidir Basir-Thamrin Djufri (Hati) meraup 36.731 suara. Pada putaran
pertama, pasangan Hati unggul dengan raihan suara 24,56%, sedangkan JA
mengantongi suara 24,47%.
Suasana politik memang selalu memanas
menjelang pelaksanaan pemilu. Para politikus dan peserta pemilu
meningkatkan aktivitas dan manuver politik sehingga eskalasi politik kian
meningkat. Mereka benar-benar terlibat dalam persaingan sengit guna
meraih kekuasaan yang diwujudkan dengan kemenangan dalam tradisi lima
tahunan itu. Efek yang muncul, potensi konfl ik menjadi rentan terjadi.
Mengapa konflik menjadi lebih mudah
terjadi? Langkah apa yang bisa sama-sama kita upayakan agar konflik serta
dampaknya bisa diminimalkan? Bagaimana dengan Pemilu 2014 yang sebentar
lagi akan berlangsung?
Lebih Mudah
Pada bangsa Indonesia yang
pluralis memang terkandung potensi konflik yang cukup besar. Ada banyak
hal yang mendukung konflik pemilihan Wali Kota Palopo menjadi sesuatu
yang mudah terjadi. Masyarakat kurang mengolah matang informasi tentang
adanya proses pemilihan yang dianggap tidak sesuai aturan. Hal itu
diperkuat oleh hasil yang berbeda dengan putaran pertama. Orang yang
mengambil kesimpulan salah akan menelurkan keputusan yang salah pula.
Memang, perubahan ke p arah sistem pemilu kada langa sung merupakan
perubahan nilai yang tidak secara mudah disikapi oleh semua pihak hingga
gampang memicu pemaksaan kehendak.
Sebagaimana daerah-daerah lain, di
masyarakat Palopo memang terkandung benihbenih konflik. Banyak kita baca
berita tentang pertentangan antarkelompok masyarakat yang dipicu oleh
hal-hal sepele. Namun, dampak yang ditimbulkannya bisa menjadi sangat
luas, seperti tawuran antarkampung yang kerap terjadi. Artinya, ibarat
benih yang sudah sangat matang atau kering, potensi konflik sangat mudah
tumbuh dan dalam masyarakat kita. Semakin heterogen masyarakat, semakin
besar potensi konflik.
Dalam tataran pelaku, ternyata setiap
elemen masyarakat di Palopo memberi sumbangan bagi terjadinya konflik.
Apalagi persoalan krisis ekonomi yang memunculkan banyak kesulitan pada
segenap elemen masyarakat akan membuat mereka cenderung emosional dan
reaksioner terhadap sesuatu yang terjadi. Persoalan kemiskinan dan
akumulasi kekecewaan akan membawa banyak orang gampang terpancing untuk
bermasalah dengan pihak lain.
Keadaan itu akan semakin panas bila
mendekati event-event politik
seperti pemilu atau juga pemilu kada Palopo. Di bidang politik, potensi
terjadinya konflik di negeri ini bisa bersifat vertikal maupun horizontal
atau bahkan keduanya sekaligus. Apalagi kalau kita lihat deskripsi Arend
Lijphart dalam Consociationalism
Democracy mengatakan bahwa Indonesia termasuk kategori centrifugal democracy, yaitu
keadaan di saat perilaku elitenya sangat kompetitif. Adapun pada tataran political culture, masyarakat
berada dalam keadaan terfragmentasi (fragmented),
yakni keadaan masyarakat dengan peluang konflik sangat besar karena tidak
hanya di pihak elite atau masyarakat, keduanya potensial terjadi konflik.
Kenyataan itu berbeda dengan tiga
kategori lain, yakni depoliticized
democracy yang jauh dari hiruk-pikuk, semisal Jepang. Ada pula consociational democracy, yakni
saat para elite cenderung rukun meskipun masyarakatnya heterogen seperti
di Malaysia atau Italia. Kondisi lainnya, yakni rakyatnya tetap hidup
rukun meskipun konflik elite politik kuat, masuk kategori centripetal democracy.
Keadaan
Indonesia seperti demikian akan memunculkan konsekuensi bahwa massa akar
rumput juga akan mudah terbawa apabila terjadi konflik di pihak elite.
Di saat yang sama, partai politik yang
ada di Palopo sebagai infrastruktur politik, yang salah satu fungsinya
sebagai pengendali konflik, terkadang kurang diperhatikan ketika mereka
sedang berkonsentrasi untuk pemenangan pemilu. Konflik yang sering terjadi
di antara dan antarsimpatisan partai tidak disikapi secara proporsional.
Menyikapi Konflik
Dengan begitu besarnya
potensi konflik dalam pesta demokrasi seperti di Palopo, perlu dipikir
kan beberapa hal untuk menghadapinya. Pertama, kita tentu sepakat akan
adanya pendidikan politik dalam usaha meningkatkan kesadaran politik
rakyat Palopo bahwa masyarakat akan sampai pada sebuah tataran berpolitik
secara rasional. Mereka akan melakukan pilihan berdasarkan
pertimbangan-pertimbangan yang rasional serta menerima kekalahan politik
secara bijak.
Kedua, sehubungan dengan kondisi rakyat
seperti yang telah disebutkan, elite politik (kandidat) dituntut bisa
menampilkan performa yang membuat rakyat Palopo menjadi tenang, bukan
sebaliknya, memancing suasana panas dan menyampaikan hal kontroversial.
Mungkin makna yang disampaikan sama, tetapi memakai bahasa yang
menyejukkan.
Ketiga, bangsa Indonesia hendaknya mulai
belajar untuk dapat memaknai bahwa kekalahan bukan sebagai sesuatu yang
fatal. Kalah dan menang bukan tujuan akhir dan segala-galanya. Yang patut
diingat bahwa tujuan bersama kita ialah terciptanya kehidupan bersama
yang lebih baik. Hal itu bisa dimulai dengan sebuah kesadaran akan
keterbatasan kemampuan kita serta mau menghargai orang lain, sehingga
kita tidak merasa bahwa hanya akulah yang pantas menjadi pemimpin, dan
lainnya tidak. Teladan sikap ini layaknya diberikan dan dimulai dari para
elite yang tingkah lakunya selalu menjadi pusat perhatian publik di
Palopo.
Keempat, sikap bijak terhadap perbedaan
mutlak diperlukan untuk menekan potensi konflik. Kondisi riil bangsa ini
memang sangat heterogen sehingga perbedaan menjadi hal yang sulit ditiadakan.
Namun, kita bisa usahakan untuk menyikapi perbedaan dalam kerangka usaha
mencapai kemajuan bersama dan bukan sebaliknya, untuk dieksploitasi bagi
perpecahan.
Kelima, dibutuhkan jaminan keadilan dan
penegakan hukum dalam berdemokrasi. Jika terjadi pelanggaran ataupun
sengketa pemilu, diselesaikan melalui MK sebagai saluran penyelesaian
hukum yang disepakati bersama. Selain itu, pelaku kerusuhan patut
ditindak secara tegas.
Kita tidak berharap pemilu mendatang akan
diwarnai sejumlah konflik. Akan tetapi, upaya memahaminya sejak sekarang
sebagai langkah antisipasi bukanlah hal yang naif. Tentu kita sepakat
bahwa pengelolaan hidup bersama di negara ini secara damai merupakan
idaman bersama segenap anak bangsa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar