Jumat, 05 April 2013

Antisipasi Konflik dalam Pemilu (Kada)


Antisipasi Konflik dalam Pemilu (Kada)
Suyatno ;   Dosen FISIP Universitas Terbuka, Alumnus Pascasarjana Ilmu Politik UGM
MEDIA INDONESIA, 04 April 2013


Rentetan konflik dan kekerasan yang mewarnai sejumlah pemilihan umum kepala daerah (pemilu kada) memunculkan kekhawatiran kita. Bulu kuduk pun merinding kala ketidakpuasan terhadap proses dan hasil pemilihan dilampiaskan dengan perusakan dan pembakaran sejumlah fasilitas, baik milik pemerintah, partai, maupun swasta. Proses demokrasi yang semestinya ditempuh dengan cara-cara yang damai menjadi ibarat jauh panggang dari api.

Peristiwa itu lagi-lagi terjadi di Kota Palopo, Sulawesi Selatan. Massa yang beringas merusak dan membakar sejumlah ruangan di Kantor Wali Kota Palopo dan Kantor Partai Golkar. Kantor Palopo Pos dan Gedung BNI yang berada di sebelahnya juga tidak luput dari jilatan api, diserang dan dibakar massa. Kerusuhan bermula saat massa tak puas setelah Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kota Palopo menetapkan pasangan Judas Amir-Akhmad Syarifuddin (JA) sebagai pemenang pemilu kada putaran kedua dengan perolehan 37.469 suara. Adapun pasangan Haidir Basir-Thamrin Djufri (Hati) meraup 36.731 suara. Pada putaran pertama, pasangan Hati unggul dengan raihan suara 24,56%, sedangkan JA mengantongi suara 24,47%.

Suasana politik memang selalu memanas menjelang pelaksanaan pemilu. Para politikus dan peserta pemilu meningkatkan aktivitas dan manuver politik sehingga eskalasi politik kian meningkat. Mereka benar-benar terlibat dalam persaingan sengit guna meraih kekuasaan yang diwujudkan dengan kemenangan dalam tradisi lima tahunan itu. Efek yang muncul, potensi konfl ik menjadi rentan terjadi.
Mengapa konflik menjadi lebih mudah terjadi? Langkah apa yang bisa sama-sama kita upayakan agar konflik serta dampaknya bisa diminimalkan? Bagaimana dengan Pemilu 2014 yang sebentar lagi akan berlangsung?

Lebih Mudah

Pada bangsa Indonesia yang pluralis memang terkandung potensi konflik yang cukup besar. Ada banyak hal yang mendukung konflik pemilihan Wali Kota Palopo menjadi sesuatu yang mudah terjadi. Masyarakat kurang mengolah matang informasi tentang adanya proses pemilihan yang dianggap tidak sesuai aturan. Hal itu diperkuat oleh hasil yang berbeda dengan putaran pertama. Orang yang mengambil kesimpulan salah akan menelurkan keputusan yang salah pula. Memang, perubahan ke p arah sistem pemilu kada langa sung merupakan perubahan nilai yang tidak secara mudah disikapi oleh semua pihak hingga gampang memicu pemaksaan kehendak.

Sebagaimana daerah-daerah lain, di masyarakat Palopo memang terkandung benihbenih konflik. Banyak kita baca berita tentang pertentangan antarkelompok masyarakat yang dipicu oleh hal-hal sepele. Namun, dampak yang ditimbulkannya bisa menjadi sangat luas, seperti tawuran antarkampung yang kerap terjadi. Artinya, ibarat benih yang sudah sangat matang atau kering, potensi konflik sangat mudah tumbuh dan dalam masyarakat kita. Semakin heterogen masyarakat, semakin besar potensi konflik.

Dalam tataran pelaku, ternyata setiap elemen masyarakat di Palopo memberi sumbangan bagi terjadinya konflik. Apalagi persoalan krisis ekonomi yang memunculkan banyak kesulitan pada segenap elemen masyarakat akan membuat mereka cenderung emosional dan reaksioner terhadap sesuatu yang terjadi. Persoalan kemiskinan dan akumulasi kekecewaan akan membawa banyak orang gampang terpancing untuk bermasalah dengan pihak lain.

Keadaan itu akan semakin panas bila mendekati event-event politik seperti pemilu atau juga pemilu kada Palopo. Di bidang politik, potensi terjadinya konflik di negeri ini bisa bersifat vertikal maupun horizontal atau bahkan keduanya sekaligus. Apalagi kalau kita lihat deskripsi Arend Lijphart dalam Consociationalism Democracy mengatakan bahwa Indonesia termasuk kategori centrifugal democracy, yaitu keadaan di saat perilaku elitenya sangat kompetitif. Adapun pada tataran political culture, masyarakat berada dalam keadaan terfragmentasi (fragmented), yakni keadaan masyarakat dengan peluang konflik sangat besar karena tidak hanya di pihak elite atau masyarakat, keduanya potensial terjadi konflik.

Kenyataan itu berbeda dengan tiga kategori lain, yakni depoliticized democracy yang jauh dari hiruk-pikuk, semisal Jepang. Ada pula consociational democracy, yakni saat para elite cenderung rukun meskipun masyarakatnya heterogen seperti di Malaysia atau Italia. Kondisi lainnya, yakni rakyatnya tetap hidup rukun meskipun konflik elite politik kuat, masuk kategori centripetal democracy
Keadaan Indonesia seperti demikian akan memunculkan konsekuensi bahwa massa akar rumput juga akan mudah terbawa apabila terjadi konflik di pihak elite.

Di saat yang sama, partai politik yang ada di Palopo sebagai infrastruktur politik, yang salah satu fungsinya sebagai pengendali konflik, terkadang kurang diperhatikan ketika mereka sedang berkonsentrasi untuk pemenangan pemilu. Konflik yang sering terjadi di antara dan antarsimpatisan partai tidak disikapi secara proporsional.

Menyikapi Konflik

Dengan begitu besarnya potensi konflik dalam pesta demokrasi seperti di Palopo, perlu dipikir kan beberapa hal untuk menghadapinya. Pertama, kita tentu sepakat akan adanya pendidikan politik dalam usaha meningkatkan kesadaran politik rakyat Palopo bahwa masyarakat akan sampai pada sebuah tataran berpolitik secara rasional. Mereka akan melakukan pilihan berdasarkan pertimbangan-pertimbangan yang rasional serta menerima kekalahan politik secara bijak.

Kedua, sehubungan dengan kondisi rakyat seperti yang telah disebutkan, elite politik (kandidat) dituntut bisa menampilkan performa yang membuat rakyat Palopo menjadi tenang, bukan sebaliknya, memancing suasana panas dan menyampaikan hal kontroversial. Mungkin makna yang disampaikan sama, tetapi memakai bahasa yang menyejukkan.

Ketiga, bangsa Indonesia hendaknya mulai belajar untuk dapat memaknai bahwa kekalahan bukan sebagai sesuatu yang fatal. Kalah dan menang bukan tujuan akhir dan segala-galanya. Yang patut diingat bahwa tujuan bersama kita ialah terciptanya kehidupan bersama yang lebih baik. Hal itu bisa dimulai dengan sebuah kesadaran akan keterbatasan kemampuan kita serta mau menghargai orang lain, sehingga kita tidak merasa bahwa hanya akulah yang pantas menjadi pemimpin, dan lainnya tidak. Teladan sikap ini layaknya diberikan dan dimulai dari para elite yang tingkah lakunya selalu menjadi pusat perhatian publik di Palopo.

Keempat, sikap bijak terhadap perbedaan mutlak diperlukan untuk menekan potensi konflik. Kondisi riil bangsa ini memang sangat heterogen sehingga perbedaan menjadi hal yang sulit ditiadakan. Namun, kita bisa usahakan untuk menyikapi perbedaan dalam kerangka usaha mencapai kemajuan bersama dan bukan sebaliknya, untuk dieksploitasi bagi perpecahan.

Kelima, dibutuhkan jaminan keadilan dan penegakan hukum dalam berdemokrasi. Jika terjadi pelanggaran ataupun sengketa pemilu, diselesaikan melalui MK sebagai saluran penyelesaian hukum yang disepakati bersama. Selain itu, pelaku kerusuhan patut ditindak secara tegas.

Kita tidak berharap pemilu mendatang akan diwarnai sejumlah konflik. Akan tetapi, upaya memahaminya sejak sekarang sebagai langkah antisipasi bukanlah hal yang naif. Tentu kita sepakat bahwa pengelolaan hidup bersama di negara ini secara damai merupakan idaman bersama segenap anak bangsa. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar