Indonesia
dikenal sebagai negara maritim karena luas wilayah lautnya yang besar,
yaitu mencapai 5,8 juta km dari total luas wilayah Indonesia. Di samping
itu, jumlah pulaunya mencapai 17.508 dan panjang garis pantai sekitar 81.000
km, membuat Indonesia dikenal sebagai negara kepulauan terbesar di dunia.
Bahkan,
Indonesia memiliki pulau-pulau kecil yang berada di posisi terdepan
dengan jumlah 92 pulau dan 67 pulau di antaranya berbatasan langsung
dengan negara tetangga, seperti Malaysia, Thailand, Singapura, Vietnam,
Australia, India, Timor Leste, Filipina, dan Papua Nugini. Karena itu,
tidak salah jika pemerintah mengoptimalkan pengelolaan sumber daya alam
yang ada, karena sebagai negara kepulauan berarti kekuatan ekonomi berada
pada wilayah pesisir dan laut.
Laut dan
pulau ini wajib diperhatikan atau diberi perhatian khusus, sebab masa
depan ekonomi maritim cukup menjanjikan bila dikelola dan dimanfaatkan
dengan baik. Wajar jika Indonesia yang dikenal dengan negara maritim ini
memiliki potensi dalam berbagai hal dan banyak pihak merasa
berkepentingan terutama bagi “tamu” tak diundang yang sering menyatroni
sumber daya alam laut, seperti ikan.
Meski ada
penjagaan yang ketat, namun karena berbagai pendukung masih kurang, wajar
saja jika pencuri ikan ini tetap ada. Keberadaan pulau-pulau terluar itu
juga merupakan tempat persinggahan yang nyaman bagi kapal asing yang
menyusup ke perairan Indonesia, sehingga laut sangat perlu ditingkatkan
penjagaannya.
Lantaran
salah sedikit, mereka selalu mengincar berbagai keuntungan di dalamnya
seakan tidak pernah berhenti melakukan berbagai hal, mulai dari pencurian
ikan hingga melakukan berbagai transaksi penjualan di tengah laut. Bukan
hanya itu, pulau dan laut juga berpotensi menjadi lahan subur transaksi
barang haram seperti narkoba. Saat ini wajar jika jalur-jalur seperti
bandara dan pelabuhan laut diperketat penjagaannya.
Namun
demikian, ketatnya penjagaan ini bagi pengedar atau bandar narkoba bukan
suatu halangan. Mereka tetap memanfaatkan situasi atau kesempatan agar
barangnya dapat tersalurkan kepada pemesan. Salah satu contoh adalah
jalur laut yang dianggap aman dan berpotensi untuk memperlancar pasokan
narkoba ke Indonesia. Para penjahat ini banyak akal sehingga transaksi
narkoba bisa dilakukan di tengah laut seperti halnya dengan penjualan
ikan yang dilakukan kapal asing.
Peredaran
narkoba saat ini semakin dipersempit ruang lingkupnya oleh petugas, namun
mereka tidak pernah menyerah dan berbagai cara dilakukan. Bahkan, muncul
kesan, semakin ketat penjagaan semakin banyak pula beredar narkoba di
Indonesia, termasuk di Sulsel. Apalagi tak jarang oknum pejabat ikut
terlibat di dalamnya. Akhirnya Sulsel menjadi daerah yang berpotensi
menjadi lahan subur bagi bandar narkoba.
Sebagai
contoh, salah oknum polisi berpangkat AKP ditangkap di Sidrap karena
diduga terlibat peredaran narkoba. Padahal, polisi sebagai pengayom
masyarakat tidak seharusnya melakukan itu. Pengguna narkoba di Sulsel
terbilang tinggi. Data terakhir sesuai hasil penelitian Badan Narkotika
Nasional (BNN) bekerja sama dengan Pusat Penelitian Kesehatan Universitas
Indonesia, pengguna narkoba di daerah ini mencapai ratusan ribu jiwa.
Berdasarkan
angka tersebut pertumbuhan jumlah pengguna narkoba di Sulsel sangat
signifikan. Pada 2008 misalnya, pengguna narkoba hanya 103.849. Artinya,
dalam empat tahun terakhir terjadi lonjakan pengguna hingga 21.881 orang.
Di mana pada 2008 sebanyak 103.849 menjadi 121.773. Lalu mencapai 125.730
pada 2011. Pada 2012 pengguna mencapai 131.200.
Tidak salah
jika Sulsel disebut sebagai surga atau tempat yang cukup aman dan nyaman
bagi pengguna dan peredaran narkoba. Apabila permasalahan narkoba ini
tidak ditangani secara serius, kerugian bukan hanya pada terancamnya
generasi, melainkan juga kerugian ekonomi. Ditaksir di Indonesia pada
2013, kerugian ekonomi akibat penyalahgunaan narkoba sebesar Rp 57
triliun dengan jumlah penyalahgunaan sebanyak 3.826.974 orang.
Sebanyak
136.671 orang penyalahgunaan ini berada di Sulawesi Selatan. Hasil penelitian
2012, prevalensi penyalahgunaan narkoba di Sulsel pada 2011 sebanyak 1,9
% atau setara dengan 115.056 orang. Total kerugian ekonomi yang
ditimbulkan sebesar Rp 1.9 triliun. Adapun tersangka yang berhasil
ditangkap dan diajukan ke proses peradilan oleh Polda Sulsel dan
jajarannya pada 2011 sebanyak 926 orang.
Jumlah
pecandu dari Sulsel yang telah mengikuti program rehabilitasi sebanyak
117 orang. Dengan fakta jumlah pengguna dan kerugian yang terus
meningkat, maka peredaran narkoba di daerah ini sudah masuk taraf sangat
mengkhawatirkan, terutama bagi generasi muda. Tantangan menjadi semakin
berat lantaran banyak orang yang tinggi kedudukannya, tapi terlibat
menjadi bandar atau pengedar, dan berdiri di belakang mereka yang
mengedarkan narkoba.
Ini pula yang
membuat petugas yang berpangkat rendah tidak mampu meringkus bandar
besarnya. Meski diakui bahwa beberapa bandar besar sudah diamankan, tapi
masih banyak yang berkeliaran. Untuk itu, pengawasan narkoba perlu
ditingkatkan, terutama pintu masuk lewat jalur laut yang memang menjadi
jalur aman bagi pengedar. Apalagi keberadaan pulau terluar yang
berbatasan langsung dengan negara tetangga sebagai pulaupulau kecil
perbatasan menjadi celah masuknya narkoba ke Indonesia.
Kita tahu
Malaysia merupakan negara tetangga yang cukup besar andilnya dalam
perdagangan narkoba di Tanah Air. Bahkan pulau yang tak berpenghuni juga
perlu diwaspadai lantaran bisa saja kapal-kapal asing mengangkut narkoba
mampir dulu di pulau tersebut sambil melihat situasi yang aman sebelum
melanjutkan perjalanannya.
Ini menuntut
perhatian aparat untuk diperangi. Jangan sampai kita hanya terfokus pada
pengedar yang ada di daratan, sementara di laut kita abaikan. Padahal
laut ini jauh lebih besar dibanding peredaran melalui daratan.
Kita semua
berharap agar peredaran narkoba di Sulsel dapat diredam atau
diminimalisasikan agar generasi muda tidak terjerumus dalam kenikmatan
semu yang berdampak pada penderitaan sepanjang masa. Semoga. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar