Tiap
zaman memiliki ciri khusus dan logika sendiri. Zaman Orde Baru dulu hidup
dipenuhi hegemoni negara terhadap masyarakat.
Kaum muda
bisa disebut salah satu contoh yang hidup dalam kungkungan penguasa.
Jalan pikiran dan kesadaran kritis ditentukan. Kebebasan dibatasi. Corak
ideologi yang harus dianut kaum muda disediakan. Dipilihkan atau
dibuatkan. Banyak kaum muda yang mencoba bertahan pada pendirian dan
sikap politiknya serta melawan hegemoni negara itu dengan segenap
idealismenya, tapi pelan-pelan, satu per satu, mereka kemudian takluk.
Idealisme mereka mati muda.
Sikap militan
yang memiliki ciri resistance terhadap hegemoni penguasa, untuk hidup
secara otonom dan mandiri, tidak ada. Dalam iklim politik yang represif
itu militansi tidak tumbuh dan tak akan pernah tumbuh, apalagi
berkembang. Selebihnya, kaum muda yang enggan berpikir dan enggan
mengembangkan ideologi alternatif, ibaratnya cukup asal pandai “menganga”
lebar-lebar, siap menelan tanpa mengunyah apa yang dikatakan para
penggede negara, yang hakikatnya membunuh kesadaran politik-ideologi kaum
muda. Di zaman itu orang kaya baru bermunculan.
Kemudian
merajalela pula nama-nama yayasan. Sebagian untuk menunjukkan darma bakti
kepada masyarakat sebagai bentuk kerja sosial yang tak mengharapkan
imbalan apa pun. Sebagian lainnya tempat menggelapkan pajakpajak yang
seharusnya mereka bayarkan. Kerja sosial dan darma baktinya kepada
masyarakat secuil kecil. Penggelapan pajaknya, masya Allah, betapa
besarnya. Tapi pada masa itu orang maklum. Penggelapan itu dimaklumi. L
ama-lama diikuti dan diteladani. Hampir semua orang berduit dan menjabat
atau mengelola dunia bisnis raksasa ikut main gelapgelapan itu. Maka, apa
yang sebelumnya haram kini seolah halal belaka.
Center dan Institute
Zaman
berubah. Goro-goro yang mengguncang dunia pada 1998 menandai perubahan
itu. Bumi panas. Air laut panas dan berbisa. Hati manusia juga panas.
Kles, konflik, kerusuhan, kekacauan, saling mengancam, saling melukai,
saling membunuh terjadi di manamana. Sesudah goro-goro reda, orang, para
tokoh, para pemimpin muncul satu per satu ke permukaan. Ada tokoh busuk
dan politisi busuk. Ada tokoh bermasalah dan seharusnya sulit mendapatkan
kembali trust di tengah publik sendiri, tapi mereka gigih untuk tampil
kembali.
Ada tokoh
baik dengan latar belakang baik dan tidak memiliki watak serakah. Tidak
ada tanda ambisius terhadap jabatan. Tidak ada tanda keserakahan terhadap
kekayaan duniawi. Orang dengan segenap masalah dan kegelapan hidupnya,
yang ingin tetap tampil di masyarakat, dan orang-orang baik semua seperti
berebut untuk tampak lebih mentereng. Harus dicatat lebih dulu bahwa
sebagian besar karena kelebihan duit—daripada duit karatan di brankas—,
orang pun segera mendirikan center, center, center.
Pendeknya
center ini centeritu bermunculan. Juga institute, institute,
institutetampak menjamur di masyarakat. Ketika pencalonan ini pencalonan
itu pun muncul—dan orang berbicara mengenai perlunya tokoh penting—, maka
para pemilik yayasan dan institute itu pelan-pelan terangsang untuk
bangkit lagi di panggung politik sambil menoleh kiri-kanan dengan rasa
malu-malu. Kemudian tampil betulan untuk memperpanjang masa jabatannya
yang dulu hanya pendek. Atau memperpanjang masa kekuasaannya yang dulu
sudah panjang agar menjadi lebih panjang lagi.
Satu per satu
mereka rontok. Satu per satu mereka berguguran. Rakyat seolah tak
mengingatnya lagi. Bagi yang masih ingat, mereka menganggap para tokoh
itu tak relevan lagi. Buat apa tokoh yang dulu mempersulit kehidupan
rakyat, dipilih lagi? Buat apa orang yang sombong harus dijadikan
pemimpin lagi?
Kemudian Muncul Pula Biografi
Fenomena lain
yang menarik di masyarakat kita tampak mencolok di toko-toko buku. Di
sana kita jumpai para tokoh— atau mereka yang merasa dirinya
tokoh—memiliki biografi. Hampir semua biografi itu ditulis orang lain.
Tentu saja atas pesanan yang bersangkutan. Barang apa yang bisa berjalan
dengan dua kaki, di Jakarta ini, boleh dikata memiliki biografi. Ada dua
pesan yang dipanggul biografi-biografi tersebut.
Pertama,
untuk mengingatkan publik bahwa dia sudah berbuat banyak bagi negeri
kita. Bisa juga sekadar pamer dengan sikap naif bahwa apa yang
dikerjakannya hampir tak relevan dengan jabatannya. Kedua, untuk
“menjual” diri, menjadi “iklan”, agar namanya dikenang orang sebagai
modal untuk pencalonan apa saja yang layak diikuti di masa depan. Center,
institute, dan biografi itu boleh saja dibuat karena ini zaman kebebasan.
Tidak ada
orang yang melarang. Tidak ada yang bakal membredelnya. Tapi kita harus
tahu, apakah center kita, institute kita, dan biografi kita itu
menyumbangkan sesuatu yang penting dan memberi pencerahan bagi publik.
Adakah kekuatan penting yang dipancarkan dari sana untuk mengajak orang
banyak berpikir mendalam mengenai makna kebebasan? Tampakkah di dalam
center, institute, dan biografi kita sesuatu yang patut dicatat sebagai
tanda kematangan kita berpolitik dan berkebudayaan?
Selebihnya,
adakah suatu cultural legacy di dalam jejak-jejak kita, di center, di
institute atau di biografi yang kelak kita tinggalkan dan akan menjadi
milik publik? Kalau tidak, semua itu hanya cerminan ambisi kita untuk
memuaskan diri kita sendiri. Itu semua, mungkin, hanya sampah-sampah
kebudayaan yang tak cukup berharga dilirik. Center, institute, dan
biografi kita hanya akan membuat orang kecewa. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar