Rabu, 10 April 2013

Mencabut Nyawa Rakyat demi Kehormatan


Mencabut Nyawa Rakyat demi Kehormatan
Ansel Alaman ;  Pengajar Unika Atma Jaya Jakarta
MEDIA INDONESIA, 09 April 2013
  

“Serangan yang berakibat pembunuhan empat anggota preman tersebut bermotif tindakan reaktif karena kuatnya rasa jiwa korsa serta membela kehormatan Satuan.” Demikian bagian pernyataan pers Ketua Tim Investigasi TNI-AD Brigjen Unggul K Yudhoyono (4/4) terkait dengan pembantaian empat tahanan di Lembaga Pemasyarakatan (LP) Cebongan, Yogyakarta.

Sepantasnya kita memberi apresiasi atas kejujuran dan ketegasan TNI. Namun, pernyataan itu menimbulkan pro dan kontra. Apakah demi korps (jiwa korsa) dan kehormatan, TNI yang merupakan alat negara seperti diatur UU No 34/2004 tentang TNI boleh membunuh rakyatnya sewenang-wenang? Itu bukan jiwa korsa sesungguhnya, bukan pula kehormatan TNI.

Itu ‘hukum rimba’, jauh dari jiwa kesatria seorang prajurit Sapta Marga. Jiwa korsa dan kehormatan korps mutlak dijaga apalagi jika dalam kondisi ketika rakyat/negara wajib dibela. Itulah doktrin moral yang dikobarkan Bapak TNI Jenderal Soedirman. Celakanya, eksekutor di LP Cebongan yang berinisial ‘U’ itu justru datang dengan nafsu membayar ‘utang nyawa’ pada atasannya, Sertu Heru Santoso.

Padahal, seharusnya hidup mati prajurit demi rakyat! Jika rakyat salah atau jahat, seharusnya prajurit negarawan bersama penegak hukum lain seperti Polri membina dan memberi teladan perbaikan. Kenyataannya, rakyat terus dikalahkan, baik karena memang salah atau juga ditumbalkan (victims) setelah mereka diberi black-label sebagai ‘preman’ atau penjahat.

Padahal sejarah menuturkan bahwa preman berawal dari faksi di tubuh militer atau polisi. Jasa preman digunakan untuk kepentingan mereka, dan untuk mengamankan pengusaha kakap yang menjadi ‘ATM’ alias sumber dana bagi militer, Polri, atau institusi lain. Itu tidak berarti kita membiarkan kehadiran preman. Sebaliknya, preman harus dilenyapkan, tetapi perilaku preman pada pejabat militer, polisi, birokrat, dan politisi harus terlebih dahulu dibasmi.

Kita kembali ke skandal LP Cebongan dan mendesak pembentukan penyidik gabungan TNI, Polri, Komnas HAM, atau lembaga swadaya seperti Kontras, akademisi yang diawasi media dan rakyat. Penting untuk merekonstruksi detail skandal Cebongan mulai dari kejadian Hugo’s Café pada 19 Maret. Penelusuran detail itu akan menemukan apakah benar Sertu Heru Santoso (alm) malam itu berada di sana ada kaitan dengan urusan kedinasan di satuannya atau pengunjung biasa? Apakah juga ia berperilaku sebagai pasukan elite berjiwa kesatria dan tidak mudah terpancing emosi? Apakah keempat korban yang dieksekusi di LP Cebongan benar-benar pelaku utama pembunuhan dengan rencana sistematis? Bagaimana kita menyandingkan pisau dapur yang menusuk seorang pasukan elite negara dengan senjata otomatis kaliber AK-47?

Semua variabel itu penting dalam penelusuran terutama untuk menempatkan kompetensi dan kewenangan (yurisdiksi) penyidangan apakah di lingkungan peradilan militer ataukah peradilan umum, selain menimbang taraf kerugian yang diakibatkan. Seluruh proses harus di bawah rezim keadilan dan kemanusiaan sesuai UU No 31/1997 tentang Peradilan Militer (PM), UU No 4/2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (KK), UU No 34/2004 tentang TNI, maupun UU No 14/1985 tentang Mahkamah Agung (MA).

Harus Peradilan Umum

Keempat UU tersebut tentu saja tidak dilawankan dengan konstitusi (UUD 1945). Pasal 24 dan 24A, misalnya, mengatur kekuasaan kehakiman, yang dilakukan Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi (ayat 2). Sementara di sisi lain, Pasal 27 ayat (1), 28D ayat (1)dan Pasal 28I ayat(1) UUD 1945 mengatur hak warga negara mendapatkan keadilan, sebagai kesamaan dasar tiap warga negara di depan hukum.

Kesamaan kedudukan di depan hukum dalam konstitusi itu justru dikaburkan oleh ketidakkonsistenan UU di bawahnya, khususnya UU PM berhadapan dengan UU TNI dan UU KK. Semua memang berawal dari Ketetapan MPR No VI/MPR/2000 tentang Pemisahan TNI dan Polri dari semula ABRI, dan Tap MPR No VII/MPR/2000 tentang Peran TNI dan Polri. Kedua produk MPR itu mengubah paradigma tugas berikut fungsi, organisasi, doktrin, termasuk sistem peradilan TNI dan Polri.

Kekaburan yurisdiksi setidaknya dalam 3 (tiga) hal, yakni berkaitan dengan ‘pelaku’ (jurisdiction over the person), berkaitan dengan ‘tindak kejahatan’/ akibat yang diderita (jurisdiction over the offense), dan dengan perkara koneksitas (Hari Prihatono, Penataan Kerangka Regulasi Keamanan Nasional, 2006). Yurisdiksi berdasarkan kompetensi yang diatur dalam Pasal 9 UU No 31/1997 tentang PM menyatakan bahwa subjek hukum (person) yang diadili dalam tindak pidana militer ialah prajurit dan mereka yang berdasarkan UU ‘dipersamakan’ dengan prajurit.

Untuk mengadili mereka, Pasal 24 UU KK mengatur bahwa “...diperiksa dan diadili oleh pengadilan dalam lingkungan peradilan umum, kecuali dalam ‘keadaan tertentu’ menurut keputusan Mahkamah Agung diperiksa dan diadili oleh pengadilan di lingkungan peradilan militer’.

Yang dimaksud dengan ‘keadaan tertentu’ ialah titik berat kerugian yang ditimbulkan. Jika pada kepentingan militer, tentu saja diadili dalam peradilan militer. Jika kerugian berat pada kepentingan umum, jelas harus diadili dalam lingkungan peradilan umum.

Pertanyaannya, apakah membunuh keempat manusia (rakyat) itu demi kepentingan militer dan bangsa keseluruhan atau sekadar balas dendam atau bahasa prajurit ‘jiwa korsa dan kehormatan’? Bagi kita jelas, kematian seorang Kopassus tidak bisa dianggap lebih ‘berat’ (gradasi akibat kejahatan dalam konteks jurisdiction over the offense) daripada empat korban pembantaian di LP. Baik itu karena hak hidup mereka sebagai manusia tidak boleh dicabut siapa pun, apalagi sewenang-wenang.

Itu premis yang determinis sekalipun Tim Investigasi TNI menuduh keempat korban ialah `preman', yang tidak semua benar. Sebab dua di antaranya tercatat sebagai mahasiswa, seorang karyawan tidak tetap, dan seorang baru terpecat dari anggota Polri. Dari kualifikasi itu dalam jurisdiction over the person, sepantasnya yang mengadili ialah yang memiliki kompetensi di lingkungan peradilan umum, bukan peradilan militer. Apalagi bila kehadiran prajurit Sertu Heru Santoso di kafe itu bukan untuk urusan kedinasan atau mewakili kesatuannya, sebagaimana diatur Pasal 9 UU PM.

Begitu pula pembantaian itu sendiri bukan berkaitan dengan urusan TNI/Kopassus sebagai institusi. Hal itu sejalan dengan Pasal 65 ayat (2) UU TNI yang mengatur bahwa `Prajurit tunduk kepada kekuasaan peradilan militer dalam hal pelanggaran hukum pidana militer dan tunduk pada kekuasaan peradilan umum dalam hal pelanggaran hukum pidana umum yang diatur dengan undang-undang'.

Pembunuhan sadis di Hugo's Café dan pembantaian di LP bukan kategori tindak pidana militer, melainkan pidana umum. Karena tidak ada kepentingan militer, sepantasnyalah pelaku diadili di peradilan umum. Untuk itu, publik, kalangan media, dan masyarakat madani mendesak agar Presiden mengeluarkan Perppu atas UU PM untuk memperjelas duduknya soal dan yurisdiksi bagi badan peradilan yang dimandat negara demi menciptakan keadilan yang tidak direkayasa, demi jiwa korsa dan kehormatan TNI.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar