Pemerintah
kelimpungan mengatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Kalau tak
diantisipasi dengan tepat, tahun ini bakal seperti tahun kemarin.
Anggaran negara bakal jebol karena harus menutupi defisit BBM.
Anehnya, meskipun menyadari krisis BBM mengancam di depan mata, kebijakan
PT Kereta Api Indonesia (KAI) sama sekali tak mendukung pemerintah meminimalkan
penggunaan BBM bersubsidi. PT KAI bakal tak mengoperasiokan lagi kereta
ekonomi yang menjadi andalan rakyat kecil memecahkan persoalan
transportasi mereka.
Pengguna Kereta
Pada
tahap awal, penghapusan kereta ekonomi ditujukan kepada KRL ekonomi yang
yang mengitari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek).
Setelah rencana itu sukses, bisa jadi menyusul penghapusan seluruh
jurusan lain yang menggunakan kereta api ekonomi. Bagi
rakyat kecil, KRL ekonomi identik dengan urat nadi kehidupan.
Para pekerja yang berdomisili di Bogor, namun bekerja di Tangerang,
Jakarta, dan Depok, ataupun sebaliknya, kerap menggunakan kereta sebagai
alat trans- portasi menuju ke tempat pekerjaan. Demikian juga, mahasiswa
dan pelajar yang sedang mengukir masa depan selalu memanfaatkan jasa kereta
api menuju tempat `impian'. Meskipun, berkesan kumuh, pengap, dan pesing,
KRL ekonomi tetap menjadi harapan orang kecil mengantarkan mereka ke
tempat tujuan. Para karyawan, buruh, mahasiswa, dan pelajar sangat
terbantu dengan keberadaannya.
Bayangkan
saja, mayoritas pengguna KRL ekonomi yang ke Jakarta bekerja se bagai
karyawan, seperti di toko dengan gaji Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta per bulan.
Kalau dipaksa naik KRL AC dengan tiket sekali jalan Rp 8.500, lalu mereka
mau makan apa? Sementara itu, KRL ekonomi hanya mematok tiket Rp 2.000. Orang
kecil berpenghasilan segobang seharusnya disubsidi oleh pemerintah,
termasuk subsidi transportasi. Bukan malah ditambah beban baru dengan
mencabut subsidi KRL ekonomi yang biasa mereka nikmati.
Sebenarnya
pun subsidi yang diberikan pemerintah kepada penumpang kereta api masih
tergolong kecil. Perbandingan subsidi negara per penumpang, untuk KA Rp
2.600, Pelni Rp 400 ribu, dan Merpati Rp 240 ribu, menunjukkan rendahnya
perhatian negara kepada kereta api.
Bahkan,
subsidi BBM yang diberikan kepada kereta api hanya Rp 600 miliar, 0,4
persen dari subsidi BBM yang men- capai Rp 300 triliun. Sepanjang tahun
lalu, dua kali pemerintah meminta tambahan kuota BBM bersubsidi. Awalnya,
kuota 40 juta kiloliter (kl) pada APBN 2012, kemudian ditambah 4,04 juta
kl pada APBN Perubahan 2012, dan di pengujung tahun pemerintah minta tambahan
kuota 1,23 juta kl.
Padahal,
dari sekian banyak dana subsidi BBM sekitar 80 persen dinikmati oleh
golongan mampu, yang sesungguhnya tidak berhak atas subsidi tersebut.
Data menunjukkan, di negeri ini jumlah sepeda motor (40 persen), mobil
pribadi (53 persen), angkutan barang (4 persen), dan angkutan publik (3
persen). Orang miskin tak mampu membeli kendaraan bermotor. Jika
pemerintah bertahan tak menghapus subsidi BBM, maka subsidi APBN 2013
sebesar Rp 317,2 triliun yang naik 29,4 persen dari 2012 bakal jebol menembus
Rp 400 triliun. Sekarang pun pemerintah telah menyalakan lampu merah
dengan memberlakukan pembatasan pengguna BBM.
Mulai
bulan depan, para pengguna mobil pribadi dilarang menggunakan premium
bersubsidi agar mampu menekan konsumsi BBM bersubsidi. Jika program
pembatasan tersebut gagal, maka dipastikan anggaran negara bakal jebol
lagi.
Hitung-hitung
untung dan rugi: mempertahankan kereta api ekonomi justru lebih menghemat
anggaran negara dibandingkan moda transportasi lain.
Dengan kemampuan gerbong kereta api yang mampu mengangkat ribuan orang
dalam sekali jalan sudah jelas menghemat anggaran negara. Sebagai
perbandingan, saat ini, dengan lima perjalanan per hari KRL ekonomi mampu
mengangkut 3.339 orang dari Stasiun Bekasi. Seandainya seluruh penumpang
menggunakan kendaraan pribadi, sudah berapa banyak memboroskan anggaran
negara.
Rencana
penghapusan KRL ekonomi merupakan langkah mundur pemerintah memecahkan
persoalan krisis energi yang telah menggerogoti anggaran negara.
Bukannya, meningkatkan jumlah ke reta api yang masih dua persen dibanding
dengan moda transportasi yang lain, malah cenderung direduksi keberadaannya.
Jika
pemerintah konsisten melepaskan Indonesia dari krisis energi, sebaiknya
mengembangkan moda transportasi kereta api sebagai alat transportasi
massal. Di negara yang penduduknya padat, seperti Cina, India, dan Rusia
sudah sejak lama menjadikan kereta api sebagai moda transportasi massal
yang terjangkau masyarakat.
Di
Cina, misalnya, kereta api sudah menjadi alat transportasi utama menggantikan
kendaraan pribadi. Setiap kota di Cina bagai dipatok oleh jalan rel
dengan ikatan stasiun. Ada 1.978 stasiun di seluruh Cina, membentang dari
Beijing, Shanghai, Mongolia sampai Tibet, bahkan sampai ke bawah Tembok
Raksasa Cina. Tarif kereta api di sana murah dan efesien. Untuk
kereta api subway harga tiket 2 RMB (yuan) atau Rp 2.850. Dengan uang
segitu, penumpang bebas ke mana saja mengelilingi Cina asal tidak keluar
stasiun. Kereta apinya bersih, modern, dan nyaman. Begitu juga stasiunnya.
Bagi orang Cina, naik kereta api sudah menjadi gaya hidup. Mereka lebih bangga
menggunakan kereta api ketimbang mobil pribadi.
Dana
pengembangan perkeretaapian nasional bukan tidak dapat diusahakan
pemerintah. Paling tidak, dana subsidi BBM yang sebesar Rp 300 triliun
lebih itu dapat dialokasikan mengembangkan sektor perkeretapian nasional.
Bukan seperti selama ini, dana itu tetap dipertahankan untuk menyumbang
kebutuhan BBM orang kaya yang seharusnya tak pantas dibantu.
Sebagai
salah satu negara yang mempunyai beban terhadap persoalan subsidi BBM
yang kerap membebani anggaran negara, pemerintah seharusnya menjadikan
kereta api alat transportasi massal yang murah, meriah, dan megah. Bukan
malah sebaliknya, menjadikannya moda transportasi yang tak memihak rakyat
kecil dengan memberangus KRL ekonomi menjadi komersial. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar