Kamis, 04 April 2013

Kereta Api dan Subsidi


Kereta Api dan Subsidi
Arfanda Siregar  ;   Dosen Manajemen Industri Politeknik Negeri Medan 
REPUBLIKA, 01 April 2013


Pemerintah kelimpungan mengatasi penggunaan bahan bakar minyak (BBM). Kalau tak diantisipasi dengan tepat, tahun ini bakal seperti tahun kemarin. Anggaran negara bakal jebol karena harus menutupi defisit BBM.
Anehnya, meskipun menyadari krisis BBM mengancam di depan mata, kebijakan PT Kereta Api Indonesia (KAI) sama sekali tak mendukung pemerintah meminimalkan penggunaan BBM bersubsidi. PT KAI bakal tak mengoperasiokan lagi kereta ekonomi yang menjadi andalan rakyat kecil memecahkan persoalan transportasi mereka.

Pengguna Kereta

Pada tahap awal, penghapusan kereta ekonomi ditujukan kepada KRL ekonomi yang yang mengitari Jakarta, Bogor, Depok, Tangerang, Bekasi (Jabodetabek). Setelah rencana itu sukses, bisa jadi menyusul penghapusan seluruh jurusan lain yang menggunakan kereta api ekonomi. Bagi rakyat kecil, KRL ekonomi identik dengan urat nadi kehidupan.

Para pekerja yang berdomisili di Bogor, namun bekerja di Tangerang, Jakarta, dan Depok, ataupun sebaliknya, kerap menggunakan kereta sebagai alat trans- portasi menuju ke tempat pekerjaan. Demikian juga, mahasiswa dan pelajar yang sedang mengukir masa depan selalu memanfaatkan jasa kereta api menuju tempat `impian'. Meskipun, berkesan kumuh, pengap, dan pesing, KRL ekonomi tetap menjadi harapan orang kecil mengantarkan mereka ke tempat tujuan. Para karyawan, buruh, mahasiswa, dan pelajar sangat terbantu dengan keberadaannya.

Bayangkan saja, mayoritas pengguna KRL ekonomi yang ke Jakarta bekerja se bagai karyawan, seperti di toko dengan gaji Rp 1,2 juta-Rp 1,5 juta per bulan. Kalau dipaksa naik KRL AC dengan tiket sekali jalan Rp 8.500, lalu mereka mau makan apa? Sementara itu, KRL ekonomi hanya mematok tiket Rp 2.000. Orang kecil berpenghasilan segobang seharusnya disubsidi oleh pemerintah, termasuk subsidi transportasi. Bukan malah ditambah beban baru dengan mencabut subsidi KRL ekonomi yang biasa mereka nikmati.

Sebenarnya pun subsidi yang diberikan pemerintah kepada penumpang kereta api masih tergolong kecil. Perbandingan subsidi negara per penumpang, untuk KA Rp 2.600, Pelni Rp 400 ribu, dan Merpati Rp 240 ribu, menunjukkan rendahnya perhatian negara kepada kereta api.

Bahkan, subsidi BBM yang diberikan kepada kereta api hanya Rp 600 miliar, 0,4 persen dari subsidi BBM yang men- capai Rp 300 triliun. Sepanjang tahun lalu, dua kali pemerintah meminta tambahan kuota BBM bersubsidi. Awalnya, kuota 40 juta kiloliter (kl) pada APBN 2012, kemudian ditambah 4,04 juta kl pada APBN Perubahan 2012, dan di pengujung tahun pemerintah minta tambahan kuota 1,23 juta kl.

Padahal, dari sekian banyak dana subsidi BBM sekitar 80 persen dinikmati oleh golongan mampu, yang sesungguhnya tidak berhak atas subsidi tersebut.
Data menunjukkan, di negeri ini jumlah sepeda motor (40 persen), mobil pribadi (53 persen), angkutan barang (4 persen), dan angkutan publik (3 persen). Orang miskin tak mampu membeli kendaraan bermotor. Jika pemerintah bertahan tak menghapus subsidi BBM, maka subsidi APBN 2013 sebesar Rp 317,2 triliun yang naik 29,4 persen dari 2012 bakal jebol menembus Rp 400 triliun. Sekarang pun pemerintah telah menyalakan lampu merah dengan memberlakukan pembatasan pengguna BBM.

Mulai bulan depan, para pengguna mobil pribadi dilarang menggunakan premium bersubsidi agar mampu menekan konsumsi BBM bersubsidi. Jika program pembatasan tersebut gagal, maka dipastikan anggaran negara bakal jebol lagi.

Hitung-hitung untung dan rugi: mempertahankan kereta api ekonomi justru lebih menghemat anggaran negara dibandingkan moda transportasi lain.
Dengan kemampuan gerbong kereta api yang mampu mengangkat ribuan orang dalam sekali jalan sudah jelas menghemat anggaran negara. Sebagai perbandingan, saat ini, dengan lima perjalanan per hari KRL ekonomi mampu mengangkut 3.339 orang dari Stasiun Bekasi. Seandainya seluruh penumpang menggunakan kendaraan pribadi, sudah berapa banyak memboroskan anggaran negara.

Rencana penghapusan KRL ekonomi merupakan langkah mundur pemerintah memecahkan persoalan krisis energi yang telah menggerogoti anggaran negara. Bukannya, meningkatkan jumlah ke reta api yang masih dua persen dibanding dengan moda transportasi yang lain, malah cenderung direduksi keberadaannya.

Jika pemerintah konsisten melepaskan Indonesia dari krisis energi, sebaiknya mengembangkan moda transportasi kereta api sebagai alat transportasi massal. Di negara yang penduduknya padat, seperti Cina, India, dan Rusia sudah sejak lama menjadikan kereta api sebagai moda transportasi massal yang terjangkau masyarakat.

Di Cina, misalnya, kereta api sudah menjadi alat transportasi utama menggantikan kendaraan pribadi. Setiap kota di Cina bagai dipatok oleh jalan rel dengan ikatan stasiun. Ada 1.978 stasiun di seluruh Cina, membentang dari Beijing, Shanghai, Mongolia sampai Tibet, bahkan sampai ke bawah Tembok Raksasa Cina. Tarif kereta api di sana murah dan efesien. Untuk kereta api subway harga tiket 2 RMB (yuan) atau Rp 2.850. Dengan uang segitu, penumpang bebas ke mana saja mengelilingi Cina asal tidak keluar stasiun. Kereta apinya bersih, modern, dan nyaman. Begitu juga stasiunnya. Bagi orang Cina, naik kereta api sudah menjadi gaya hidup. Mereka lebih bangga menggunakan kereta api ketimbang mobil pribadi.

Dana pengembangan perkeretaapian nasional bukan tidak dapat diusahakan pemerintah. Paling tidak, dana subsidi BBM yang sebesar Rp 300 triliun lebih itu dapat dialokasikan mengembangkan sektor perkeretapian nasional. Bukan seperti selama ini, dana itu tetap dipertahankan untuk menyumbang kebutuhan BBM orang kaya yang seharusnya tak pantas dibantu.

Sebagai salah satu negara yang mempunyai beban terhadap persoalan subsidi BBM yang kerap membebani anggaran negara, pemerintah seharusnya menjadikan kereta api alat transportasi massal yang murah, meriah, dan megah. Bukan malah sebaliknya, menjadikannya moda transportasi yang tak memihak rakyat kecil dengan memberangus KRL ekonomi menjadi komersial. ●

Tidak ada komentar:

Posting Komentar