Kebijakan pemerintah tentang
perubahan sistem penyiaran televisi terestrial dari analog ke digital
masih jadi perdebatan seru.
Masalah utama adalah dasar hukum
Peraturan Menteri (Permen) Kominfo Nomor 22 Tahun 2011 tentang
Penyelenggaraan Penyiaran Televisi Digital Terestrial. Juga arah kebijakan
yang dinilai sejumlah pihak sebagai tidak adil, tidak transparan,
cenderung otoriter, dan manipulatif.
Untuk memperoleh gambaran ideal
tentang kebijakan penyiaran digital, baru-baru ini saya membuat studi
tentang kebijakan digitalisasi di beberapa negara demokrasi (Inggris,
Perancis, Swedia, Jerman, Italia, Amerika Serikat, Kanada, Australia,
Jepang) dan membandingkannya dengan kebijakan yang berlaku di Indonesia.
Studi tersebut merupakan bagian
dari studi tentang digitalisasi televisi di Indonesia yang diselenggarakan
Pemantau Regulasi dan Regulator Media bekerja sama dengan Yayasan TIFA.
Hasil studi yang diluncurkan pada 18 Maret 2013 di Universitas Atma Jaya
Jakarta itu menunjukkan sejumlah perbedaan mendasar.
Pertama, keputusan beralih dari
sistem penyiaran analog ke digital di negara-negara tersebut diambil oleh
parlemen. Di Jerman, parlemen berwenang membuat keputusan yang
berhubungan dengan kebebasan berekspresi, ranah publik dan kepentingan
umum, termasuk penyiaran. Di Perancis, debat sengit rencana digitalisasi
terjadi di parlemen sejak 1996, sebelum gagasan tersebut diterima dan
diundangkan tahun 2000. Sementara di Indonesia, penetapan kebijakan
digitalisasi telah melangkahi supremasi kedaulatan rakyat karena dibuat
oleh menteri.
Kedua, kebijakan digitalisasi
diarahkan untuk menjamin pluralisme dan menekan munculnya dominasi dan
diskriminasi. Inggris yang kuat dengan tradisi public service
broadcasting melakukan kontrol ketat terhadap market entry melalui
mekanisme perizinan penyelenggaraan penyiaran digital untuk menghindari
dominasi televisi komersial.
Negara ini memisahkan secara
tegas antara lembaga penyelenggara penyiaran dan lembaga penyelenggara
multipleks untuk menjamin keberagaman isi siaran dan kepemilikan. Di
negara ini pun distribusi program di setiap multipleks diatur berdasarkan
genre untuk menjamin ketersediaan variasi isi siaran.
Di Perancis, untuk menjamin
kebebasan berekspresi dan akses publik terhadap penyiaran digital,
regulator mendikte penempatan saluran ke dalam kelompok multipleks. Di
Indonesia, ada pemisahan antara lembaga penyelenggara penyiaran dan
lembaga penyelenggara multipleks. Namun, yang berhak jadi penyelenggara
multipleks adalah penyelenggara penyiaran yang saat ini eksis. Kebijakan
ini berpotensi melanggengkan konsentrasi kepemilikan yang sudah ada.
Distribusi isi siaran di dalam multipleks pun belum diatur.
Ketiga, eksistensi lembaga
penyiaran publik, lokal, komunitas, serta penyedia isi siaran yang
independen dilindungi. Di Inggris, multipleks dialokasikan secara seimbang
untuk lembaga penyiaran publik dan komersial, dengan tujuan menjaga
posisi lembaga penyiaran publik di pasar digital. Di Jerman, pengajuan
izin penyelenggaraan penyiaran digital mensyaratkan adanya komitmen untuk
menjamin kepentingan lokal dan minoritas.
Di Italia, 40 persen kapasitas
penyiaran digital yang dikelola lembaga penyiaran publik dan komersial
dicadangkan untuk penyedia isi siaran independen, sepertiga dari total
kapasitas penyiaran digital untuk penyiaran lokal, dan lembaga
penyelenggara siaran yang sama tidak boleh bersiaran lebih dari 20 persen
dari keseluruhan program televisi digital. Di Kanada, adopsi digital
bersifat sukarela dan tidak ada pembatasan waktu yang baku untuk switch off, kecuali 28 stasiun
yang dimandatkan.
Sementara di Indonesia, alokasi
multipleks cenderung mengutamakan lembaga penyiaran komersial (menguasai
lima dari enam multipleks yang tersedia). Lembaga penyiaran publik yang
hanya memiliki jatah satu multipleks harus berbagi dengan lembaga
penyiaran publik lokal dan komunitas. Toleransi waktu untuk beralih
teknologi bagi penyiaran lokal dan komunitas sangat minim. Lembaga
penyelenggara penyiaran pun belum jelas pengaturannya.
Keempat, independent regulatory body memiliki posisi penting dengan
kewenangan yang semakin kompleks. Di Inggris, Office of Communications (Ofcom) memiliki fungsi dan tanggung
jawab yang luas dan vital. Mulai dari mengontrol penggunaan spektrum,
kualitas penyiaran, menjaga kemajemukan, hingga memberikan perlindungan
untuk pemirsa terhadap materi berbahaya, tak adil, atau pelanggaran
privasi. Di Indonesia, berdasarkan permen di atas, pemerintah memegang
kendali terhadap izin penyelenggaraan penyiaran digital, penetapan
penyelenggara multipleks, evaluasi dan pengawasan, serta pemberian sanksi
tanpa menyinggung posisi Komisi Penyiaran Indonesia.
Kelima, sosialisasi televisi
digital dan perlindungan konsumen dilakukan secara intensif dan
beriringan. Di Swedia, Jepang, dan Australia, sosialisasi dilakukan lewat
beragam saluran dan dikomunikasikan secara gencar. Di Inggris, Ofcom
tidak sebatas ”mempromosikan” digitalisasi, tetapi juga mengantisipasi
ledakan informasi dan hiburan dengan melakukan literasi media kepada
masyarakat dan menindaklanjuti pengaduan penonton.
Di AS, switch off diberlakukan jika 85 persen keluarga dapat
mengakses siaran digital. Guna memenuhi target itu pemerintah memberikan
subsidi pengadaan set-top box
kepada keluarga kurang mampu. Di Swedia, 99,8 persen masyarakat harus
dapat menerima transmisi dari televisi digital sebagai syarat switch off. Di Indonesia,
sosialisasi oleh pemerintah belum maksimal, masih seadanya.
Sebaiknya digitalisasi televisi
dijalankan setelah semua persoalan di atas dibahas dan dimasukkan ke
dalam UU Penyiaran yang baru. Dengan begitu, proses digitalisasi dapat
memecah konsentrasi, menciptakan keanekaragaman, partisipasi terjadi, dan
demokrasi berjalan sehat serta masyarakat menjadi sejahtera. Jika tidak,
negara ini sebenarnya memberikan legitimasi untuk dikuasai oleh kapital
dan segelintir orang yang akhirnya akan membunuh demokrasi. ●
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar